Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 40 Benang Kusut Yang Terurai (3)

Virgo

Selama kelas siang ini, aku tidak bisa berhenti memikirkan Yvonne yang tiba-tiba pergi. Apa mungkin dia tidak mengingatku? Tidak, melihat ekspresinya tadi, sudah jelas kalau dia pun sudah sadar dari mana takdir kami dimulai.

"Aku—nggak tahu kalau kamu mengingatku."

Lalu ia hanya berkata, "Maaf."

Bukan kata itu yang ingin kudengar. Aku tahu kondisinya—mungkin jika kami bertemu lima belas tahun yang lalu, aku tidak akan mengerti. Akan tetapi, kini aku tahu kondisinya. Pasti buta wajah itu yang membuat kesaksiannya ditolak.

Sejak menginjakkan kaki di Malang ini, aku sudah berencana mencari tahu siapa pun yang berhubungan dengan kecelakaan bunda secara diam-diam. Namun, pertemuanku dengan Pram membuat ingatanku tentang semua kejadian di masa lalu begitu jelas.

Melalui Tegar—sahabat kecilku yang masih di sini—aku memintanya mencari tahu apa pun tentang Yvonne. Aku ingin memastikan bahwa ingatanku tentang gadis itu benar. Aku tidak salah orang. Dan ternyata memang benar.

Awalnya aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa gadis kecil yang dulu diam-diam mengunjungiu dan menggantungkan sekantong buah apel di depan pintu kamar rawat adalah Yvonne. Aku tidak bisa menerima Yvonne yang menjadi saksi dan menghilang begitu saja itu. Syok membuatku jatuh sakit.

Namun, ditengah kebimbangan dia justru datang menjenguk. Kedatangannya dan obrolan kala itu membuatku lebih bisa menerima kesalahpahaman di masa lalu.

"Aku mengingatmu, Vonne," gumamku tanpa sadar. Namun, aku sudah tidak menyalahkanmu. Aku harus menemui gadis itu sepulang dari sini.

Sorenya, aku benar-benar berkunjung ke Bon Appetit. Namun, ia tidak di sana. Aku pun ke rumahnya. Untunglah hari ini memang tidak ada jadwal praktek sore. Hanya sampai siang tadi. Namun, harapanku kandas. Vonne juga tidak di rumah.

Besok. Besok aku harus menemuinya sebelum berangkat kerja.

***

Yvonne

"Bonjour," sapaku begitu memasuki ruang produksi. Hanya ada Opie di sana dan satu lagi suara yang sangat familiar.

"Bonjour, Vonne."

"Sophie?" tebakku. Suara itu kini terkekeh.

"Oui, ini aku."

Aku menghela napas. Pantes saja dia tidak terlihat saat sarapan di rumah tadi. "Apa yang kau lakukan di sini?" keluhku sembari menggantungkan kemeja yang kugunakan sebagai outer ke tempat gantung jaket. Kini, aku hanya mengenakan kaos putih dan jins saja. Namun, tanganku segera meraih padding coat dan memasang zipper-nya hingga menutupi leher.

"J'ai décidé."

"Memutuskan apa?" tanyaku sambil menarik pintu besi ruang frozen. Sebelum kututup lagi, Sophie sudah menyelinap masuk. Aku memperhatikan pakaiannya yang—hanya selembar kemeja berbahan silky dipadu dengan celana hitam bahan spandek premium.

"Kamu nggak pakai padding coat?"

"Aku suka dingin," celetuk Sophie.

Aku menyipitkan mata. "Terus kenapa nggak ke kutub aja sekalian? Kenapa harus ke sini?"

"Pardon?"

Aku tidak menanggapinya dan segera membuka penutup alat penggiling adonan kroisan. Alatnya mirip ampia yang biasanya digunakan untuk membuat kue bawang atau keripik bawang. Hanya saja ukurannya lebih besar. Mungkin sekitar dua atau tiga kali lipat.

Aku mengeluarkan adonan yang sudah kusiapkan semalam dari tray yang tertutup plastik bening dan mulai menggiling untuk memipihkannya sama rata sebelum memotong dan membentuknya kecil-kecil dengan berbagai macam bentuk.

"Aku sudah dengar kalau bulan depan kamu akan kekurangan orang."

"Lalu?" tanyaku dengan sedikit menggigil.

"Setelah berpikir semalaman, aku pun memutuskan untuk kerja di sini."

Gerakanku terhenti. "Hah? Bukannya kamu harus balik ke Paris?"

"Sampai kamu dapat karyawan tetap. Je m'ennuie à mourir. Aku lebih suka di sini, belajar membuat kue-kue, sekalian agar bahasa Indonesiaku lebih lancar lagi."

"Memangnya kamu punya alasan apa mau memperlancar bahasa Indonesia? Mau nikah sama orang Malang?" Aku bingung, biasanya orang Prancis paling malas menyibukkan diri untuk hal-hal seperti ini. Mereka lebih suka bermalas-malasan, menikmati waktu. Kenapa Sophie harus berbeda dan sangat merepotkan?

"Pas moi. (bukan aku.)"

"Donc qui? (Terus siapa?)"

"Tu. (Kamu.)"

"Hah?"

"Kamu sama Virgo. Kalian ... serasi. Kalian ... pacaran, kan?"

Aku terhenyak. Semalaman, aku memikirkan Virgo.

"Tu est plus joli couple avec Virgo qu'Edo. (Kamu lebih serasi dengan Virgo daripada Edo.)" Sophie sedikit berbisik.

"Hei, Edo itu laki-laki baik. Dia sahabatku."

Sophie mengangkat kedua tangannya. "Entahlah, aku hanya merasa ada yang aneh darinya."

"Aneh maksudnya? Sebentar, kamu sejak kapan bisa lancar bahasa Indonesia? Belum juga dua minggu di sini."

Belum sempat Sophie menjawab, seseorang ikut menyambung pembicaraan kami. "Iya, sepertinya memang ada yang aneh, Miss."

Aku terlalu asik berbicara dengan Sophie sampai tidak menyadari kalau pintu ruang freezer tadi terbuka dan Opie—karena hanya kami bertiga di sini jadi aku langsung mengenali postur tubuhnya—sudah di dalam.

"Apa maksudmu, Opie?"

Opie mengulangi cerita Rani kemarin. Kebetulan saat kejadian, Opie dan Rani sedang hendak bertukar shift.

"Kamu tahu siapa laki-laki itu?" tanyaku.

"Dia sempat mengenalkan diri saat pertama kali ke sini dan aku masih ingat penampilannya yang begitu mudah dikenali. Apalagi, awalnya dia tanya Miss Vonne, tapi kemudian lebih sering cari Edo."

"Siapa, Opie?"

"Hm, kalau nggak salah namanya ... Pram. Iya, dia juga tanya tentang Madame Risma saat pertama ke sini. bilang kalau namanya Pram."

Jantungku berdegup dengan kencang. Om Pram ke sini? Jadi, orang yang katanya berselisih paham dengan Edo itu, Om Pram? Tapi ....

"Tapi—apa hubungannya dengan Edo?"

"Aku sempat dengar Edo panggil dia—ayah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro