Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4: Pemakaman

Hai, hai pembaca yang penuh cinta. Jangan lupa vote, komen, dan masukin cerita ini ke reading list kamu yah. Big Love

-Tane-

YVonne

"Apa yang harus kulakukan?"

Mataku mengedarkan pandangan dengan panik. Kenapa malam ini begitu sepi? Tidak ada satu pun mobil melintas di jalur ini. Apa ada banjir, tanah longsor atau gempa yang memutuskan jalan sampai-sampai mereka tidak juga melewati jalur ini?

Mataku menangkap kotak telepon yang berdiri tidak jauh dari mobil ini terdampar. Segera kularikan badan ke kotak telepon.

Mama! Semoga mama masih di toko!

Aku menekan nomor telepon Bon Appetite. Suaranya di seberang masih nada tersambung. Ayolah, Mama! Bantu aku. Apa yang harus kulakukan?

"Halo, Bon Appetite."

"Mama!"

"Vonne?" Suara Mama terdengar terkejut.

"Mama, ada kecelakaan!"

"Kecelakaan? Di mana? Ya Allah, kamu nggak apa-apa, Vonne? Ada yang luka? Mama bilang hati-hati bawa sepedanya. Kenapa kamu nggak dengerin Mama?"

"Bukan ... bukan aku, Ma."

"Apa? Bukan kamu? Lalu siapa?"

"Om Pram. Om Pram nabrak orang!"

"Om Pram?" Ada keheningan di seberang sana untuk sesaat. "Sekarang kamu di mana?"

Aku menyebutkan lokasiku dengan terbata-bata.

"Ya udah, Mama panggil ambulance. Kamu tunggu di situ. Jangan macam-macam, Mama nggak mau sesuatu terjadi sama kamu."

Aku mengangguk.

"Kamu dengar Mama, Vonne?"

"Iya, Ma. Tadi Vonne 'kan udah mengangguk."

"Aduh, kamu ini. Mana Mama bisa lihat? Sekarang tarik napas dulu."

Aku mengikuti kata-kata Mama.

"Lalu hembuskan perlahan."

Lagi-lagi aku menurut.

"Sekarang, matikan telepon dan jangan lakukan apa-apa."

Dan itu juga kulakukan.

Hening.

Sekarang aku harus apa? Menunggu ambulance yang Mama panggil datang? Diam saja? Tidak melakukan apa-apa?

Jantungku tidak berhenti bergemuruh. Darahku seperti mengalir dari ujung kaki ke ujung kepala sejak menyaksikan peristiwa naas yang menimpa keluarga jas putih itu. Aku menggigit bibir dan memejamkan mata. Berusaha untuk menenangkan diri. Hanya sedetik kemudian tubuhku sudah kembali melesat ke mobil tadi.

Aku melongok ke dalam mobil. Semoga saja mobil ini tidak meledak atau semacamnya seperti di film-film James Bond, Rambo, atau mission imposibble. Dengan sangat hati-hati dan penuh keraguan, aku melepaskan seat belt orang ini. Ujung tangannya masih bergerak-gerak seolah ingin menggapai sesuatu.

Haruskah kugenggam? Siapa tahu dia sama paniknya denganku. Bodoh! Sudah pasti dia panik ... dan kesakitan!

Lagi-lagi dengan keraguan, jemariku meraih jari-jari itu sebelum akhirnya menggenggamnya. Entah dia mendapat kekuatan dengan begini atau tidak, setidaknya aku melakukan sesuatu. Kelopak matanya masih bergerak-gerak. Ada air mata di sudut mata itu.

Aku bisa melihat itu.

"Tolong bertahan, sebentar lagi ambulance datang." Sebisa mungkin, suara kubuat setenang mungkin. Papa selalu melakukannya jika aku sakit, beda dengan Mama yang menyembuhkan dengan menyelipkan omelan.

Aku menoleh pada sosok lain di belakang kemudi. Wajahnya buram. Aku tidak yakin apa dia juga menggerakkan kelopak mata seperti korban yang tangannya sedang kugenggam ini. Aku berharap ada keajaiban untuk mereka.

"Hei, jangan mati dulu! Ayo buka matamu lagi!" Aku semakin panik saat korban yang kugenggam tangannya mulai memejamkan mata dan tidak membukanya lagi. Seperti tertidur. Genggaman tangannya juga melemah.

Bagaimana ini?

Kalau bisa, aku ingin mengeluarkan mereka dari mobil ini. Tapi tidak mungkin. Niat baik dari orang yang tidak tahu cara melakukannya hanya akan membahayakan korban. Aku pernah menonton acara medis tentang pertolongan pertama yang ditayangkan di salah satu stasiun TV. Begitu katanya.

Beruntung, suara sirine ambulance terdengar semakin mendekat.

***

#POV Virgo

Aku berdiri di depan tanah merah yang basah karena guyuran gerimis beberapa saat yang lalu. Cat yang menuliskan nama Merliana Malik masih begitu jelas. Setiap hurufnya menggoreskan luka mendalam. Suara gemuruh di langit seperti mewakili teriakan yang sulit untuk kulepaskan. Air yang diturunkan di sela-sela kumpulan awan menemani air mataku.

"Virgo, kamu tahu kenapa otak dilindungi oleh pericranium, loose areolar tissue, aponeurosis, connective tissue, skin, scalp?"

Aku menggelengkan kepala..

"Karena otak itu pusat kendali seluruh organ tubuh manusia. Itulah pusat saraf yang menggerakkan semua bagian tubuh manusia. Wajib dijaga dengan baik dan dipakai. Jangan cuma dicantolin saja menyumbang 2% ke berat tubuh kamu. Gunakan semaksimal mungkin."

"Virgo gunain kok, Bun. Pas main PS juga pakai otak kalau nggak, bakalan cepat kalah dari Tegar. Kan malu, masa anak dokter kalah main PS sama anak tukang parkir rumah sakit."

"Hush! Mau anak dokter, anak tukang parkir, tetap saja namanya masih 'anak'. Tugasnya tetap nurut sama orang tua, belajar. Jangan main PS terus. Kamu harusnya bersyukur dikasih Tuhan otak yang cerdas, seperti bunda."

Lalu otak bunda terluka parah. Mesin kendali pikiran, gerakan, dan kesadaran itu berhenti bekerja. Saraf-sarafnya enggan menyampaikan pesan dari satu bagian ke bagian lain. Aku masih ingat kata demi kata yang mbok Asih ceritakan di malam itu. Malam saat aku dan bunda berusaha diselamatkan dan ayah yang pucat pasi dalam tengadah doa.

Hasilnya, hanya aku yang berhasil kembali hidup.

Tanganku mengepal. Apa yang udah aku lakukan? Anak macam apa yang menyebabkan ibunya sendiri meninggal? Kalau ada yang harus disalahkan atas kepergian bunda, itu aku. Aku yang membuat ayah ditinggal oleh wanitanya. Aku yang membuat diriku sendiri piatu. Aku yang membuat tanah merah ini menyimpan jasad bunda.

Aku!

"Jadilah dokter yang tulus merawat pasienmu. Banyak harapan yang menyertai pasien menemui dokter. Tuhan sering menitipkan jawaban doa pasien pada tangan seorang dokter."

Tulisan di buku medis saat bunda menempuh pendidikan kedokteran yang diturunkan padaku masih erat tergenggam. Mendekapnya erat. Takut hujan akan membawa tintanya pergi seperti bunda. Bagaimana aku bisa jadi dokter jika bundaku sendiri pergi karena aku?

Aku ingin jadi dokter karena bunda. Bundalah yang ingin kubanggakan dengan berpakaian jas putih berkalung stetoskop. Wajah bangga bunda yang paling kusayangi itu yang kuharapkan ada saat mengantar kepergianku menimba ilmu sampai akhirnya nanti disumpah profesi. Bukan sebaliknya.

"Virgo, ayo kita pulang." Tangan kekar ayah merengkuh bahuku.

Entah, apa hati ayah juga sekekar itu? Sekuat itu melihat orang yang dicintainya kini terkubur di bawah nisan? Kenapa ayah masih bisa merangkulku? Seharusnya dia marah. Seharusnya dia mencercaku dengan semua kepahitan ini.

Tidak ada yang mengatakan apa pun setiba di mobil. Bahkan ayah belum menyalakan mesinnya. Di luar, gerimis mulai naik pangkat menjadi hujan. Suaranyalah yang menjadi jembatan kehilangan kami.

"Berhenti merasa bersalah." Ada getir dalam suara ayah.

Aku semakin menunduk.

Ayah menghela napas. "Kamu benar-benar lihat pengemudinya?" Beliau bertanya dengan hati-hati. Suara beratnya penuh tekanan. Aku tahu ada emosi tertahan. Ayah tidak jago acting, beda dengan bunda.

Perlahan kepalaku mengangguk masih tertunduk. Mengutuk kenapa saat itu bukan aku yang mengendarai mobil padahal aku sudah punya SIM A. Kenapa setelah dari toko kue itu aku meminta bunda mampir ke toko buku hanya untuk membeli komik terbaru kesukaanku yang ternyata sudah tutup. Kenapa kami tidak langsung pulang seperti kata Bunda.

Dalam sedu yang berbiak, dua laki-laki ditinggalkan oleh perempuan hebat yang kami sayangi. Siapa yang akan menghibur siapa?

"Kata polisi, ada saksi lain juga yang melihatnya."

Tangisku terjeda. Kepala terangkat. Menoleh dengan penuh tanda tanya pada ayah. Aku tidak ingat ada orang lain selain aku, bunda dan pengemudi kendaraan yang menabrak kami. Siapa?

Otakku berusaha keras mengingatnya. Ada suara desingan yang membuat kepalaku semakin sakit, tetapi kemudian menghadirkan ingatan lain.

Orang beraroma manis itu! Diakah? Detak jantungku tiba-tiba terdengar semakin jelas. Apa kali ini polisi akan bisa menangkap pelakunya? Mereka bilang kesaksianku masih kurang.

Aku menemukan angin segar.

"Tapi kita nggak bisa berharap banyak. Dia enggan membantu bersaksi untuk menguatkan kesaksianmu."

Rasa sakit di sekujur badan kembali kurasa. Namun, rasa sakitnya kini bertambah di hati.

"Kenapa, Yah?" Seperti ada perekat di bibir. Susah sekali untuk bicara.

Ayah menggelengkan kepala. "Entahlah, Ayah cari tahu lewat kenalan ayah di kepolisian. Ayah juga sudah berusaha menghubunginya, tapi dia tetap bersikeras nggak mau bertemu dengan Ayah. Anaknya ... anaknya yang menyaksikan kecelakaan itu." Ayah menghela napas.

"Saat Ayah memaksa bertemu, ibunya bilang dia sedang bersama ayahnya di luar kota. Sangat tidak masuk akal."

Luar kota?

Kenapa hatiku terasa sakit? Kenapa anak itu enggan bersaksi untuk kepergian bunda? Aku memejamkan mata. Kepalaku terasa sangat pusing. Namun, masih bisa kudengar suara helaan napas ayah.

"Ayo kita kembali ke rumah sakit. Kamu harus sudah sembuh kalau mau tetap berangkat ke Depok minggu depan seperti keinginan bundamu. Kamu sudah kasih kesaksian, biar ayah yang mengurus di sini."

Ayah, aku tidak ingin lagi jadi dokter.

Ingin sekali kalimat itu kuutarakan. Bahkan ketegasan suara ayah juga kebih terdengar sangat tidak rela melepaskanku pergi. Aku paham. Seperti ayah yang membutuhkan seseorang, aku pun butuh ayah di masa-masa seperti ini. Nyatanya kami malah harus berpisah. Dan di kemudian hari aku menyadarinya bahwa itulah obrolan terakhir dari hati ke hati antara aku dan ayah.

Kepergian bunda telah memberikan kami hubungan baru bernama jarak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro