Chapter 39 Benang Kusut Yang Terurai (2)
Yvonne
Pram ... Pram ... Om Pram? Benarkah dia yang dimaksud Virgo? Kalau itu benar ... berarti Virgo adalah ... cowok itu?
Aku tidak bisa mengontrol detak jantung yang kian menderu. Ingatan tentang kegagalan bersaksi atas kecelakaan itu kembali muncul. Saat kesaksianku diragukan oleh pihak kepolisian. Gara-gara itu, aku mengetahui satu fakta tentang kelainan pada saraf di otakku.
Aku terhenyak.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mengakui bahwa akulah saksi yang tiba-tiba menghilang itu? Mama langsung membawaku ke Surabaya, Jakarta, bahkan ke Singapore untuk pengobatanku begitu tahu aku memiliki kelainan yang kemudian kami sama-sama menyadari bahwa tidak ada jalan untuk menyembuhkan kelainan ini. Satu-satunya cara agar aku bisa hidup normal hanyalah satu, beradaptasi.
Karena mencemaskanku, mama memblokir semua komunikasiku dengan dunia luar untuk beberapa bulan. Dari orang-orang terdekat mengabari ada orang yang terus menerus mencariku. Di kemudian hari aku tahu kalau orang itu adalah suami korban kecelakaan itu—dan sekarang aku juga tahu kalau dia adalah ayah Virgo. Begitu kembali ke kota ini, dia tidak pernah lagi datang.
"Begitu pindah dari kota ini, Ayahku sudah mengikhlaskan kepergian bunda. Beliau tida pernah lagi menyinggung tentang kecelakaan itu. Kalau sekarang aku mengungkitnya karena bertemu dengan Pram sedangkan tidak ada satu pun saksi yang bisa membantuku, bukankah itu hanya akan membuka luka lama ayah dan juga diriku?"
Aku sedikit memiringkan wajah agar rautnya tak bisa dibaca oleh Virgo.
"Menurutmu, apa keputusanku ini—benar?" Pertanyaan Virgo begitu membuatku bingung.
"Vonne?"
Aku gelagapan.
"Kenapa?" tanyanya lagi. "Apa—karena Pram?"
"Hah?"
"Tadinya aku nggak mau kasih tahu karena mungkin saja kamu atau mama kamu punya hubungan dekat dengannya—dulu aku ketemu dia di Bon Appetit dan terlihat begitu."
Kata-kata Virgo membuatku buru-buru membantah. "Bukan begitu!" Sadar suaraku terlalu meninggi, aku pun segera menenangkan diri. "Maksudku, aku memang mengenal Om Pram. Begitu juga dengan mama, tapi kami sama sekali nggak dekat. Dia sebatas ... langganan di Bon Appetit. Itu saja."
"Benarkah?"
Aku mengangguk meyakinkan.
"Oh, syukurlah. Aku takut kamu merasa bersalah atau tertekan karena hubungan masa lalu yang rumit ini."
Aku menggigit bibir dengan perasaan berkecamuk.
"Lalu, kamu kenapa? Kamu terlihat pucat. Kamu sakit?" Tangan Virgo sudah menyentuh dahiku.
Tanpa sadar, aku menarik diri.
"A—aku, aku nggak apa-apa, kok."
Tidak ada suara apa pun dari Virgo. Melihat posisi duduk dan postur tubuhnya yang lurus ke arahku, aku bisa membayangkan tatapan yang tidak puas atas jawaban tadi.
"Katakan saja, Vonne." Virgo kembali bersuara.
Aku melirik jam di pergelangan tangan. "Bukankah kamu sudah harus masuk kelas?" Aku mengingatkan.
"Masih ada—dua puluh menit lagi. Dari sini ke ruangannya cuma sepuluh menit."
Virgo meraih kedua tanganku dan itu membuatku terkejut. "Virgo, ini kampus. Nanti kalau mahasiswa di kelas kamu lihat gimana?" tegurku dengan pelan.
"Biarpun ini di pinggir jalan, kebanyakan mahasiswa nggak akan repot-repot melirik ke tempat ini. Saat masuk ke kedai ini tadi kamu mungkin nggak lihat kalau tempat parkirnya kebanyakan buat para dosen."
"Terus kalau ada dosen yang lihat?" celetukku.
"Lihat saja ke sekeliling."
Aku mengedarkan pandangan ke sekililing kedai dengan dinding full kaca dan baru sadar kalau di sini sangat sepi.
"Aku sengaja pilih makan di sini karena beberapa kali ke sini, kedai ini cukup sepi di siang hari. Padahal makanan di sini enak-enak. Memang sih kalau untuk kantong mahasiswa, kurang cocok." Virgo mengucapkan kata terakhir dengan berbisik.
"Jadi, apa yang mengganggumu?" tanya Virgo lagi.
Aku bimbang. Kupejamkan mata sejenak, lalu menatapnya. Wajah yang seperti lukisan meleleh itu mungkin sedang menatapku juga.
"Seandainya—kamu bertemu saksi itu, tetapi dia tetap bisa membantumu. Bagaimana?" tanyaku dengan susah payah.
Virgo tidak langsung menjawab. Aku menantinya dengan cemas. "Kamu—"
"Jangan tanyakan pertanyaan senadainya, Vonne. Aku nggak menyukainya." Kata-kata Virgo membuatku terkejut. Ini pertama kalinya, pria itu mengucapkan sesuatu dengan serius, tegas, dan dingin.
"Maafkan aku."
Kudengar Virgo menghela napas.
"Maafkan aku," ucapku lagi.
"Jangan minta maaf, aku nggak marah. Oke?"
"Tapi kamu terdengar begitu. Aku—"
Kedua tangan Virgo kembali meraih tanganku dan menggenggamnya. "Aku nggak bisa marah sama kamu, Vonne. Jadi, jangan minta maaf. Tadi aku hanya—hanya terkejut karena kamu menanyakan itu."
Aku balas menggengam tangannya.
"Aku sudah mengatakan kata seandainya beribu-ribu kali sejak kejadian itu."
Aku hendak minta maaf lagi, tetapi urung. Yang kulakukan hanya semakin menggenggam erat tangannya.
"Aku hanya berpikir mungkin saja saksi itu punya kesulitan untuk melakukan yang seharusnya dia lakukan. Aku ingat dia tidak lebih tua dariku. Masih jauh lebih muda. Aku ingat dia kebingungan saat menolongku dan bunda. Aku ingat saat di ambulance, dialah yang menggenggam tanganku sampai semuanya menggelap."
Aku menahan genangan air mata begitu tahu Virgo bisa mengingat sedetail itu.
"Sekalipun kesaksiannya tidak diterima ketika itu oleh kepolisian, aku sudah bersyukur karena dia—sudah berusaha menolongku dan bunda malam itu. Jika dia nggak memanggil ambulance saat itu, mungkin ayahku bukan saja kehilangan bunda, tetapi juga aku. Atau mungkin aku telat ditangani dokter dan cacat."
Rasa sedih dan haru menjalar di sekujur tubuhku mendengar setiap kata yang Virgo ucapkan.
"Bahkan aku ingat dia mengunjungiku di rumah sakit saat itu, mengintip dari pintu dan meninggalkan sekantong apel di gagang pintu."
Keningku mengerut. Aku merasakan genggaman tangan Virgo semakin erat dan wajahnya semakin mendekat.
"Aku ingat semuanya, Vonne. Bahkan wajahnya."
Deg.
Tanpa kusadari, tangan Virgo yang kugenggam terlepas.
"Aku—mengingatmu, Vonne."
***
Aku mendorong pintu Bon Appetit seperti orang linglung. Ingatanku masih tertinggal di kedai kampus tadi. Fakta bahwa Virgo mengingat semuanya, bahkan tahu kalau akulah saksi itu membuat seluruh tubuh ini melemas.
Kenapa aku tidak pernah berpikir kalau Virgo ingat Om Pram, bukan mustahil baginya untuk mengingat saksi itu, yakni aku.
Kenapa aku begitu bodoh? Bagaimana caraku menghadapi Virgo setelah ini? Apa yang harus kulakukan?
Belum selesai kebingungan yang berkelindan di dalam otak ini, Rani datang menyerbu kedatanganku dan menarik lengan ini ke dapur melalui pintu belakang bar.
"Miss Vonne!" Suara Rani penuh penekanan yang tertahan.
Aku belum meresponnya dengan baik.
"Tadi Mas Edo berantem sama bapak-bapak. Baru saja!"
Aku menatap Rani dengan bingung.
"Iya, Miss. Tadi ada bapak-bapak nyari Miss Vonne. Entah bagaimana ceritanya, Mas Edo langsung tarik keluar kafe dan—"
"Berantem?" Aku memotong cerita Rani dengan pikiran semakin berkecamuk. Edo berantem? Sejak tamat SMA dia sudah tidak pernah lagi berantem.
"Ng, sebenarnya nggak berantem tonjok-tonjokkan sih, Miss. Tapi dari ekspresi keduanya terlihat kalau mereka berselisih paham." Rani kali ini menceritakannya dengan lebih tenang.
"Berselisih paham? Maksudnya? Dan siapa bapak-bapak itu?" Aku masih tetap bingung.
"Sebenarnya bapak-bapak itu sudah sering ke sini cariin Miss Vonne. Hm, sejak Madame Risma masuk rumah sakit seingat saya. Dia tanya-tanya Madame Risma juga, tapi lebih seringnya tanya tentang Miss Vonne. Mas Edo selalu usir dia, tapi tadi si bapak-bapak itu udah kelewatan. Kayak orang mabuk. Mas Edo ikutan ngamuk."
"Lalu sekarang Edo di mana, Rani?"
"Pulang."
"Hah?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro