Chapter 38 Benang Kusut Yang Terurai (1)
Virgo
"Kamu masih memikirkan Edo?" tanyaku begitu mendapati Yvonne yang sedang melamun. "Sepertinya dia sudah baik-baik saja. Kamu tadi dengar, kan kalau dia sudah bersikap biasa saja?" tambahku.
"Apa dia beneran baik-baik saja?" tanya Yvonne.
Aku mengangguk. "Hm, mungkin saja kalau dilihat dari ekspresinya."
"Apa maksudmu?" tanya Yvonne lagi.
"Dengarkan aku, Vonne." Aku berpindah tempat duduk di sampingnya. Dengan sedikit memiringkan tubuh, menatap gadis itu. "Aku tahu apa yang kamu cemaskan. Tapi kamu nggak bisa berbuat apa-apa kali ini. Hanya dia yang bisa mengatasi patah hatinya." Aku menatap dalam bola mata Yvonne meskipun faktanya, dia tidak akan tahu itu.
"Pelan-pelan, dia akan sadar kalau yang kamu suka itu aku," kataku dengan sedikit bercanda.
Kali ini Yvonne memutar kedua bola matanya. Aku tersenyum melihat ekspresi kesal yang tiba-tiba muncul di wajahnya.
"Bisa kita makan sekarang?" tanyanya sambil menatap piring berisi nasi pecel.
"Silakan, Madame." Jawabanku mendatangkan cubitan darinya. Lagi-lagi aku hanya bisa meringis.
"Jadi, setelah ini kamu ada jadwal mengajar di sini?" tanya Yvonne sebelum menyuapkan sesendok nasi pecel ke dalam mulut.
"He'em. Begitulah." Aku menjawab singkat saja sebelum ikut menyuapkan makanan.
"Aku baru tahu kalau kamu juga jadi dosen," celetuk Yvonne.
"Aku hanya undangan. Hm, mungkin dalam satu semester itu aku hanya muncul di kampus dua atau tiga kali."
"Tapi kalau setelah ini kamu mengajar, berarti aku pulang sendiri, dong?" tanya Yvonne lagi.
"Siapa bilang? Kamu nanti pulangnya tetap sama aku."
"Tapi kamu 'kan mengajar? Masa aku tungguin sampai selesai?" protes Yvonne.
"Kenapa kamu nggak mau lihat aku mengajar?"
Aku melihat kerutan di kening Yvonne. gadis itu menoleh. "Aku nggak segabut itu, Monsiuer. Pengusaha itu lebih sibuk dari yang kamu pikirkan."
"Tapi 'kan kamu punya karyawan yang mengurusi semuanya."
"Mengurusi semuanya dengan bagian yang berbeda-beda. Artinya, yang benar-benar mengurus semuanya adalah aku. Lagi pula, aku ada janji dengan Sophie sore ini." Yvonne mengucapkan nama itu dengan enggan.
"Masih susah menerima keberadaannya?" tanyaku sambil tersenyum.
Yvonne menghela napas. "Nggak juga. Hanya saja dia agak merepotkan."
"Aku dengar dia mau melepaskan bisnis ayahmu dan menjadi penyiar radio. Bukankah itu terlalu beresiko?" Aku menyeruput es teh manis yang tidak terlalu manis.
"Oh, kalian semakin dekat," sindir Yvonne.
Aku buru-buru menangkisnya. "Aku hanya tahu karena mengobrol pertama kali dulu. Dia sangat ramah sampai-sampai aku merasa tahu semua cerita hidupnya."
Yvonne melirikku dengan ekspresi yang menurutku sedang cemburu dan itu menggemaskan. "Lupakan soal Sophie kalau kamu nggak suka."
"Aku hanya merasa dia merepotkan," ralat Yvonne. Aku tersenyum melihat wajah cemberut itu.
"Oh ya, hm ... tentang ceritamu tempo hari."
"Yang mana?" tanyaku setelah menyeruput es teh untuk terakhir kalinya. Sejujurnya, meskipun dokter, aku menyukai makanan ala "pinggir jalan" begini. Meskipun tidak setiap hari karena bisa saja profesi dokterku dipertanyakan.
Yvonne tampak ragu.
"Katakan saja." Aku tersenyum padanya meskipun gadis itu tidak akan pernah menyadari senyuman tulus dariku ini.
"Mengenai ... orang yang bersalah padamu dan ibumu dulu."
Hatiku berdesir mendengarnya. "Maksudmu ... penabrak lari itu?"
Yvonne menganggukkan kepala. "Kamu bilang kalau dia jadi pasien kamu sekarang. Apa kamu sudah nggak apa-apa? Itu pasti berat."
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab.
"Maaf, kalau kamu nggak mau membicarakannya."
Aku sedikit menggerakkan tangan. "Sama sekali nggak, kok."
"Lalu? Apa kamu sudah memutuskan akan terus merawat pasien itu?" tanya Yvonne dengan hati-hati.
Aku mengangguk pelan. "Begitulah. Aku sudah disumpah sebagai dokter. Tidak ada pengecualian pasien dalam perawatanku."
Yvonne mengelus wajahku dengan lembut. "Apa tidak ada acara untuk-entahlah-mungkin sedikit keadilan atas apa yang dilakukannya dulu?"
Aku menatap Yvonne dengan penuh kasih sayang. "Aku juga menginginkan keadilan itu, Vonne. Tapi rasanya percuma."
"Kenapa?"
"Tidak ada saksi yang bisa membantuku membuktikan bahwa dialah pelakunya." Aku terdiam sebentar. "Sebenarnya ada. Seorang anak perempuan, tetapi aku tidak ingat wajahnya, tidak tahu namanya, bahkan alamatnya. Dia pernah bersaksi, tetapi kemudian menarik kesaksiannya. Andai saja gadis itu tidak menarik kesaksiannya, tentu ibuku mendapat keadilan. Bisa jadi aku tidak akan bertemu dengan Pram sebagai dokter dan pasien. Bisa jadi aku tidak perlu merasakan amarah yang sempat padam."
Aku merasakan emosi yang kembali memuncak mengingat itu semua. Segera kupejamkan mata sejenak lalu menghela napas. Kupandangi wira-wiri mahasiswa di depan kantin ini. "Tentu saja aku bisa menjadi saksi, tetapi aku juga korban yang terluka parah."
Aku teringat sesuatu. "Dia adalah pelanggan Bon Appetit."
Yvonne mengerutkan dahi. "Pelangganku?"
"Mungkin lebih tepatnya pelanggan ibumu. Aku ingat kamu bicara dengannya saat aku berkunjung ke sana dengan ibuku."
"Sebentar, maksudmu kamu tahu kalau dia pelakunya karena melihatnya di Bon Appetit?"
Aku mengiyakan. "Aku mengenali mobil yang digunakannya untuk menabrak kami dan melihatnya sekilas."
Yvonne tampak berpikir keras. "Siapa ya kira-kira?"
Aku ragu untuk menyebutkan namanya. Bagaimana jika Pram adalah orang yang cukup dekat dengan keluarga Yvonne. Bukankah malam itu, Pram juga muncul di Bon Appetit? melihat bagaimana pria itu berbicara dengan Yvonne, bukan tidak mungkin keduanya mengenal dekat.
Selama beberapa hari ini aku sudah memikirkan dengan matang untuk tidak menukarkan kebahagiaanku bersama Yvonne dengan kesedihan dan dendam. Rasa ingin membalas Pram begitu besar, tetapi setelah sekian lama, akhirnya aku menemukan sesorang yang membuat hati ini merasa damai. Bersamanya, semua amarahku pada Pram berkurang.
"Katakan padaku, siapa namanya? Mungkin saja aku ingat-atau aku bisa tanyakan pada mama."
Wajah Yvonne terlihat bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
"Ayo, katakan siapa, Virgo?"
"Lebih baik kamu nggak tahu," ucapku dengan sedikit menunduk.
"Kenapa? Siapa tahu aku juga bisa bantu untuk cari saksi itu jika tahu pelakunya adalah pelanggan Bon Appetit? Aku mengenal dan ingat semua pelanggan mamaku dulu-sampai sekarang." Yvonne memaksa untuk tahu.
Aku sedikit tersenyum melihat kesungguhannya. "Kamu bahkan nggak ingat ibuku pelanggan Bon Appetit juga."
Yvonne menggigit bibirnya dan itu membuatku gemas.
"Katakan saja," bujuknya lagi.
Aku menggelengkan kepala. "Itu sudah nggak penting, Vonne. Aku sudah mengikhlaskannya. Aku tidak ingin membuat kusus hubungan yang sudah membaik."
"Apa maksudmu?"
Aku menggenggam jemari Yvonne. "Aku ingin melupakan semua lukaku di masa lalu. Orang itu sangat menderita dengan penyakitnya sekarang. Bagiku, itu sudah cukup sebagai hukuman. Dia menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Hukuman apa lagi yang kuharapkan terjadi padanya, Vonne?" kataku dengan suara lembut.
Yvonne tampak tidak puas. Seperti ada yang mengganggu pikirannya dan itu membuatku mau tidak mau kembali bimbang.
"Kamu-sungguh mau tahu namanya?" tanyaku pelan.
Yvonne mengangguk. Sorot matanya begitu yakin dan juga-cemas. Aku mendapatkan kesan itu. Entah apa yang dicemaskan gadis itu. Ujung jariku mengetuk meja beberapa kali. Kuhela napas berat dan akhirnya menjawab, "Namanya Pram Rahardjo."
"Pram Rahar-siapa? Maksudmu Om Pram?" Wajah Yvonne memucat.
"Kamu ingat dengan orang itu? Apa dia ... orang yang dekat dengan keluargamu?" Aku bertanya dengan hati-hati. Sudah kuduga Yvonne tahu nama itu. Seharusnya aku diam saja.
***
Author's Note
Menjelang tamat nih, guys. Ada rahasia lain yang akan terungkap di chapter selanjutnya. Terima kasih udah setia mengikuti dan membaca LovSen sampai chapter ini. Jangan ditinggal dulu, yaah. Baca sampai tamat. Sayang lho udah sampai di sini masa nggak ditamatin #eh ini mah buat authornya hi hi hi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro