Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 31 Jenguk

"Lagi-lagi saya imbau untuk hanya membaca cerita ini di wattpad & storial @tanechan01. Saya belum ada niatan pindah ke aplikasi yang lain. Nggak tahu deh kalau sore."

Yvonne

Nuansa yang sangat tenang, adem, dan bersih menyambutku begitu memasuki kompleks ini. Aku berdiri di depan nomor rumah Virgo di perumahan yang tidak terlalu jauh dari terminal Arjosari.

Untuk level dokter spesialis saraf di Lovelette, perumahan yang termasuk elit ini terlihat pantas dihuni oleh laki-laki itu. Saat membantunya memesankan taksi tempo hari, aku sama sekali tidak menanyakan alamatnya.

Aku menarik napas, kemudian menghembuskannya lagi. Jemariku bergerak-gerak sebelum akhirnya memutuskan untuk menekan bel.

Tidak ada respon.

Aku kembali menekan bel.

Masih belum ada respon.

Dahiku mengerut.

Apa dia beneran aambil cuti? Dia beneran udah sembuh?

Aku menimbang-nimbang untuk kembali menekan bel atau tidak. Kuamati sekitar rumah yang didominasi oleh dinding bernuansa warna broken white dengan tanaman hijau di bawahnya. Di atas tanaman itu, terdapat jendela dengan berterali yang tertutup rapat. Sepertinya dia benar-benar tidak di rumah.

Rasa cemas yang sempat menghampiri tadi, begitu saja mendominasi keputusanku untuk ke sini. Kuhela napas dan berbalik ke mobil. Namun, belum dua langkah, terdengar pintu dibuka.

"Ya?"

Dari suaranya, aku menebak kalau wanita ini sudah cukup berumur.

"Aduh, mbak-mbak bule. Takon e piye iki!" Wanita itu bergumam bingung.

Aku buru-buru tersenyum. "Maaf, ini benar rumah Virgo?"

"Lho, bule Indo to? Njih, ini rumahnya Den Virgo. Maaf, mbak bule siapa, ya?"

Aku lagi-lagi tersenyum mendengar suara medhog-nya. Mungkin mbak ini dari Jogja dan sekitarnya.

"Saya temannya Virgo. Virgonya ada, Bu?"

"Oh, ada. Silakan masuk, Mbak."

Tak lama kemudian, aku sudah duduk di ruang tamu sementara mbak-mbak tadi sibuk di dapur. Aku takjub dengan interior di dalam sini.

No, bahkan sama sekali tidak bisa disebut interior. Nyaris tidak ada satu pun barang alias kosong melompong. Hanya ada kitchen set perpaduan hitam dan putih di samping taman belakang, sofa yang juga berwarna hitam ini dan TV yang ditempel di dinding dengan ambalan di bawahnya, lagi-lagi berwarna hitam. Untung saja gorden jendela yang berwarna keemasan berhasil memberikan sedikit nyawa.

"Silakan diminum, Mbak."  Wanita yang mengaku bernama Ratmi, pembantu rumah tangga yang dipekerjakan oleh Virgo menyuguhkan minuman.

"Terima kasih, Bu Ratmi."

"Sama-sama, Mbak. Tapi maaf, ini sudah jam pulang kerja saya. Mbak Ponne ndak apa-apa saya tinggal?"

Aku terdiam sebentar. Agak bingung. "Oh, i-iya, Bu Ratmi. Hm, tapi Virgonya ada?"

"Ada, sedang di kamar. Tadi saya baru saja pamit. Sebentar lagi turun."

"Oh, iya."

"Kalau begitu, mari, Mbak Ponne."

"Hati-hati di jalan, Bu Ratmi."

Sosok Bu Ratmi pun menghilang dari balik pintu, meninggalkan keheningan di ruangan ini.

***

Virgo

"Yvonne?"

"Hai." Vonne terlihat sedikit gugup. Ada perasaan senang melihatnya di sini.

"Kamu—masih sakit? Aku dengar, sudah tiga hari nggak masuk."

"Kamu ke rumah sakit? Mencariku?" tanyaku tidak percaya.

Yvonne menggelengkan kepala. "Kamu lupa kalau mamaku juga sedang menjalani perawatan pasca operasi?"

Ah, benar. Aku melupakan itu. "Mama sudah membaik?" tanyaku penuh perhatian, merasa bersalah karena tidak peka.

Yvonne mengangguk. "Yah, seseorang merawatnya dengan baik. Jadi, mama sepertinya sembuh lebih cepat."

"Kamu ke sini juga mau merawatku supaya aku lekas membaik?" celetukku menggodanya.

Gadis itu buru-buru menggelengkan kepala dengan pipi merona. "Sama sekali nggak. Aku cuma—cuma mau tahu aja. Biar bagaimana pun, aku yang—terakhir kamu temui di Lovelette." Yvonne terlihat canggung.

Ujung bibirku tersenyum di sela-sela rasa pusing yang menyergap. Aku tahu ini bukan sakit secara fisik, tetapi pikiran yang menguras energi.

"Aku sudah membaik. Hanya ingin—istirahat saja." Aku berucap sambil berjalan ke dapur.

"Kamu beneran udah baik-baik aja?" tanya Yvonne lagi. Seraya mengikutiku dari belakang hingga ke dapur.

Aku meraih gelas dan menuangkan air putih. "Hm," jawabku bergumam sebelum meneguknya sampai habis.

"Beneran?"

Aku kembali tersenyum tipis. "Kamu lihat sendiri, kan? Aku bisa jalan dari lantai atas ke sini."

Aku menatap wajah jelita itu dengan rasa rindu. Beberapa hari ini, setiap kali memikirkan kehadiran Pram, wajah Yvonne selalu muncul.

Aku menatap Yvonne agak lama. Rasanya ingin memeluk gadis ini. "Kamu sampai datang ke sini. Apa ini artinya kamu udah mau membuka hati untukku?" Kusunggingkan senyum, bercanda. Sudah lama sekali tidak menggoda gadis ini.

Vonne terdiam canggung. "Itu—aku sama sekali—"

"Aku senang kamu perhatiin begini," celetukku sambil masih menatap wajah jelita itu. Senyum mengulum meski tubuh ini belum sepenuhnya bisa kukendalikan. Rasa lemas masih terasa di sekujur tubuh. Aku harus segera membiasakan diri. Sudah beberapa hari tidak menghirup udara segar.

"Aku—sama sekali nggak perhatian. Cuma ...."

"Cuma karena kamu orang terakhir yang kutemui sebelum aku sakit dan kamu juga orang yang jadi tempat ceritaku tentang—orang yang mencelakai bundaku?" potongku. Alisku terangkat.

Lagi-lagi aku tersenyum kecil. Rasanya begitu menyenangkan ada Yvonne di sini setelah hari-hariku belakangan ini buruk.

"Kamu merasa bertanggung jawab karena membiarkanku pulang sendiri? Vonne, yang laki-laki itu aku, lho. Aku senang kamu mencemaskanku, tapi aku baik-baik saja, kok. Senin udah bisa masuk kerja seperti biasa." Aku melembutkan suara untuk membuat wajah jelita ini lega.

"Oh, syukurlah."

Vonne terdiam setelahnya, begitu pula denganku. Suasana canggung menyelimuti. Aku sedikit berdehem dan mengajaknya ke beranda samping. "Mama kamu beneran sudah membaik?"

Aku melirik dan mendapati Yvonne mengangguk. "Kalau perkembangannya semakin membaik, lusa sudah bisa pulang."

Aku sedikit mengerutkan dahi. "Tapi kenapa wajahmu nggak terlihat begitu senang?"

Yvonne tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Aku senang. Hanya saja—Dokter Galen bilang meskipun sudah dioperasi, mama mungkin—tetap punya waktu yang terbatas bersamaku—bersama kami."

Aku memahami kesedihannya.

"Setiap orang punya batas waktu. Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan waktu terbaik sebelum menyesal."

Kata-kataku terucap dengan pandangan menerawang senja. Aku teringat pada bunda. Segera kutepis rasa sedih yang ingin mengambil alih.

"Selalu ingat untuk kontrol, ya."

Yvonne mengangguk. Kami lagi-lagi hanya memandangi warna senja di balik pohon trembesi. Rumahku berada di area hook sehingga beranda samping rumah mendapatkan pemandangan yang lebih bagus.

Deretan pohon trembesi dan angsana ditanam di sepanjang jalan, jogging track dan taman yang tidak begitu ramai. Sangat tenang. Lagi-lagi, kami terjebak dalam kecanggungan.

"Hm, mengenai—orang itu. Apa kamu—benar-benar mau balas dendam?" Suara Yvonne memecah keheningan.

Orang itu? Maksudnya Pram?

 Rahangku mengeras. 

Aku sudah memikirkannya selama tiga hari ini. Keinginan untuk menghukum Pram begitu kuat. Akan tetapi, aku belum tahu hubungan Yvonne dengan laki-laki itu. Apa jika aku melakukan sesuatu padanya, gadis ini akan terluka? Apa aku harus menanyakannya sekarang—di saat hubungan kami sudah membaik? Bagaimana kalau mereka punya hubungan keluarga—yang tidak kuinginkan?

Mata bening Yvonne menatapku. Tatapan yang membuat nyaliku diuji untuk bertanya dan—menerima jawaban.

"Virgo?"

Aku sedikit membuang muka dan menggelengkan kepala. "Entahlah. Aku—belum memutuskannya."

"Apa pun keputusanmu, aku harap kamu sudah memikirkannya baik-baik. Aku—tahu itu menyakitkan. Kamu sampai sakit—setelah bertemu orang itu. Itu pasti kenangan yang sangat buruk."

Ingatanku kembali pada tiga hari yang lalu, saat Yvonne menjagaku yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Untuk beberapa saat, aku merasa sedikit malu begitu menyadari terlihat lemah di depan gadis ini.

"Maaf karena sempat membuatmu repot. Kamu bahkan sampai ke sini."

"Ya? Oh, laisse tomber, c'est pas grave!"

Aku tersenyum mendengarnya berbicara dalam bahasa Prancis. Aku menyukai caranya melafalkan setiap kata. Terdengar elegan dan angkuh, berbeda dengan kepribadiannya yang terkadang tertutup dan terlihat minder, seperti saat kuutarakan perasaanku padanya beberapa waktu yang lalu.

"Aku hanya tahu bahasa Prancis sedikit-sedikit."

"Dari Poppy?" tanyanya membuatku meringis.

"Kurang lebih," jawabku dengan canggung.

Yvonne tersenyum. "Aku bilang lupakan saja. Itu sama sekali bukan masalah. Ok?"

Aku menopang dagu dengan tangan. "Oui, Madame."

Bibir Yvonne sedikit mengerucutkan senyum. "Kamu teratur minum obatnya? Istirahatnya benar-benar cukup? Kalau belum begitu membaik, lebih baik Senin nggak masuk dulu."

"Hei, aku dokter. Lagi pula, Lovelette bukan punyaku. Aku cuma karyawan di sana. Kamu mau aku dipecat karena terlalu sering cuti? Beda cerita kalau aku anak presdir seperti seperti Dokter Hisyam," celetukku bercanda.

"Kalau begitu harus sehat. Nggak boleh sakit. Bayangkan kalau aku yang jadi dokter dan nggak bisa membaca wajah pucat pasien? Sayangnya aku nggak tahu wajah kamu masih pucat, lemah, lesu, atau sudah segar bugar."

Aku terhenyak mendengar begitu cerianya kata-kata itu. Ironis dengan ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh Yvonne. Perlahan, tangan yang menopang dagu, turun dan tubuhku menegak.

Kupaksa untuk tertawa kecil menanggapinya. "Baiklah kalau itu perintah Bu Dokter. Aku manut, Dok." Aku membalasnya dengan canda. "Jadi, bisa sekalian antar saya ke kamar untuk istirahat, Dok?"

Yvonne ikut tertawa. "Sepertinya kamu beneran udah sehat." Gadis itu menghela napas. "Ya udah, kalau begitu aku bisa pulang."

Aku terdiam. Secepat itukah? Aku masih ingin bersamamu, Von! Ingin rasanya mengutarakan kalimat itu. Namun, aku takut kalau Yvonne yang sudah mulai membuka diri atas keberadaanku kembali bersikap dingin dan menjauh.

Vonne berdiri dan berjalan kembali ke ruang tamu. Mau tak mau, aku mengikutinya. Seraya mengambil tas dan goodie bag berlogo Bon Apetit.

"Oh, aku sampai lupa. Ini untukmu. Aku membawakanmu croissan isi cokelat. Cokelat bagus untuk menambah mood setelah sakit."

Aku menerima bingkisannya tanpa melepaskan pandangan dari gadis itu.

"Kamu bisa memanaskannya di microwave.  Suhu 40 selama lima menit udah cukup, kok. Croissant enaknya hangat-hangat." Seraya tersenyum.

"Vonne." Aku menahannya yang hendak berbalik.

"Ya?"

"Je t'aime." Kata-kata itu meluncur begitu saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro