Chapter 24: Pasien MG
Virgo
"Kamu bilang kalau hanya kenal sekilas dengan Yvonne. Kenapa begitu perhatian membelikannya makan siang?"
Poppy menerobos pintu poli begitu saja setelah aku dan Mona baru saja selesai bicara. Mona berjalan keluar ruangan dan menyapa wanita itu.
Poppy tersenyum basa-basi.
"Kenapa kamu nggak pernah pacaran dengan dokter atau rekan kerja rumah sakit? Dokter-dokter di sini nggak kalah cantik denganku. Setahuku ada youtuber cantik yang kerja sebagai dokter juga," selorohnya begitu Mona menutup pintu.
"Dokter yang menyambi jadi youtuber, Pop." Aku melepaskan stetoskop dan meletakkannya di atas meja. "Pantang menjalin hubungan dengan rekan satu kantor. Itu prinsipku."
Poppy mencibir. "Bukan karena kamu ditolak?"
"Hei, aku bahkan nggak begitu kenal sama orangnya. Di antara semua dokter, cuma dokter Stefani yang sepertinya terlalu tenggelam di dunianya sendiri. Kadang aku pikir dia punya pekerjaan selain ... dokter dan youtuber. Entahlah seperti yang kubilang, Pop. Kami nggak terlalu saling mengenal."
"Yah, sayang banget. Padahal aku mau mengucapkan terima kasih." Poppy bersungut.
"Untuk?" Aku menaikkan kedua alis.
"Aku sering menonton channelnya. Ada satu produk kecantikan yang kupakai dan ternyata mengandung zat berbahaya menurut youtuber—dokter itu." Poppy menghela napas sambil melebarkan mata dramatis.
"Auto berhenti, dong! Untung saja aku baru coba-coba. Aduh, nggak kebayang kalau kulit cantik dan mulus ini—aset berharga untuk menjerat kalian, kaum pria—rusak." Seraya mengelus lengan putih yang tak dilindungi sehelai benang.
"Pop, kamu nggak lihat aku sedang bekerja?" Aku menatapnya tidak percaya.
Mata Poppy membola. "Kamu terganggu dengan kehadiranku?" Ia mengibaskan rambut lurus sebahu yang dicat agak kepirang-pirangan.
Kupejamkan mata sesaat sebelum beranjak dari tempat duduk dan bersandar di ujung meja, menghadap wanita muda itu. "Kamu sendiri nggak akan suka 'kan kalau mantan kamu tiba-tiba masuk ruang rapat dan bertanya hal pribadi di tempatmu bekerja?"
Poppy meletakkan tas tangannya ke meja dan duduk di kursi, tepat di depanku bersandar. "Aku cuma mampir sebentar sebelum pulang ke Jakarta. Lagi pula, bukannya ini seharusnya masuk jam istirahat?"
Kedua alisku terangkat. "Kamu mempercepat kepulanganmu ke Jakarta?"
Kedua mata Poppy menyipit. "Kamu pasti senang, yah?"
Tentu saja! "Biasa saja. Kamu datang tiba-tiba, lalu pergi tiba-tiba, aku sudah biasa."
Poppy mencibir. "Siapa yang datang dan pergi seenak hati?"
Aku menahan diri untuk tersenyum. "Jadi, berangkat jam berapa? Mau aku antar ke bandara?"
"Giliran mengantar kepulanganku menawarkan diri semudah itu. Tapi untuk jalan-jalan, banyak alasan," sungut Poppy.
"Mengantarmu hanya butuh kurang dari satu jam. Tapi menemanimu jalan-jalan bisa menguras waktuku seharian." Aku menimpali.
"Kalau menemani Yvonne?"
Aku terdiam.
"Kamu ... ada hubungan spesial, ya dengannya?" Pertanyaan Poppy membangkitkan rasa penasaran—kembali.
"Vonne mengatakan sesuatu?" tanyaku.
Poppy hanya mengangkat kedua bahunya dengan bibir sedikit tersenyum menggoda. "Kamu penasaran? Terus kenapa main pergi begitu saja tadi?"
Aku memutar badan dan melirik jam di pergelangan tangan. "Sebentar lagi aku ada visite. Jam berapa penerbanganmu?"
"Visite Mama Yvonne, yah?" goda Poppy. "Ah, udah, ah! Sia-sia aku ke sini. Tadinya aku mau lihat kamu masih bisa jadi kandidat calon suami atau enggak. Ternyata udah pindah ke lain hati dan kalau melihat gelagatmu, sepertinya ... ini serius." Poppy menghela napas. "Hm, kayaknya aku emang harus menerima pernikahanku."
Aku mengerutkan dahi. "Kamu ... mau menikah?"
Poppy tersenyum dengan paksa. "Rumit ceritanya, intinya aku menemukan seseorang yang mau menikahiku—tanpa pacaran. Karena ragu, makanya aku mengambil cuti dan ke sini."
"Apa? Siapa laki-laki gila itu?" Kabar ini benar-benar membuatku terkejut.
Poppy mencubit lenganku sampai suara meringis kesakita keluar begitu saja. "Aku sama gilanya dengan menerima pernikahan ini."
"Kenapa?" Aku mengelus-elus lengan yang terdapat jejak cubitannya. Perih masih terasa.
"Duda beranak satu." Poppy menjawab dengan frustasi.
Aku semakin kebingungan. "Seorang Poppy menerima lamaran duda beranak satu? You're kidding me, right? Terus kenapa kamu masih mendekatiku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Cari celah. Siapa tahu masih ada harapan buat kita, meskipun hanya sementara. Minimal aku bisa terhindar dari mantan-mantan mesum. Kamu 'kan beda, Vir. Kamu mantan yang paling nggak macam-macam dan cuma berani di mulut saja. Satu lagi, selama ini kamu memang selalu jadi alasanku untuk menolak om-om ganjen di Jakarta."
"Makasih. Aku anggap itu pujian," sahut Virgo dengan sinis.
Poppy mengibaskan tangannya. "Hidup itu unik, yah." Wajahnya berubah serius. "Tapi kalau kamu beneran suka dengan Yvonne, jangan manis di mulut saja. Kasihan. Aku udah wanti-wanti dia kalau kamu macam-macam, bilang kepadaku."
"Maksudmu?"
Poppy tersenyum simpul. "Udah, sana! Katanya mau visite. Jangan buat patah hatiku sia-sia." Seraya beranjak dari kursi. "Kamu nggak perlu mengantarku ke bandara. Obrolanku dengan Vonne tadi membuka mataku tentang pria."
Ia tersenyum dengan penuh arti. "Aku akan menerima pernikahanku dengan duda beranak satu itu. Kamu nggak akan kukirimi undangan. Hm, tanpa undangan pun sepertinya kamu akan tahu. Memangny kamu nggak menonton acara gosip akhir-akhir ini? Baguslah kalau nggak menontonnya."
Aku tidak mngerti yang mantan kekasihku bicarakan itu. Ia berjalan ke pintu keluar. Seraya membuka pintu, tetapi berhenti sejenak dan menoleh. "Oh ya, aku sudah memastikan kalau Yvonne makan siang dengan benar."
Wanita muda itu mengibaskan rmbut sebahunya dengan angkuh dan pergi. Meninggalkanku dengan penuh kebingungan. Kenapa para wanita ini sulit sekali untuk dimengerti. Seberapa seringnya berpacaran, Poppy selalu jadi yang paling rumit. Namun, kali ini Vonne seperti 'ketularan' kerumitan mantan kekasihku itu.
Apa yang mereka bicarakan sampai Poppy 'merelakanku' dengan begitu mudahnya?
Pintu kembali terbuka. Kali ini perawat yang masuk. Aku segera melirik jam di dinding. "Pasien terahir sebelum visite." Aku mengambil stetoskop dan mengalungkannya di leher.
Perawat mengangguk dan berjalan keluar. Tak lama kemudian, ia kembali. Seraya meletakkan map berisi biodata pasien dan riwayat kesehatannya.
"Pasien baru, Dok. Di e-MR segera saya input datanya. Dari poli umum. Dugaan menderita MG."
Aku mengangguk dan membuka map itu. Tak lama kemudian seseorang masuk. "Silakan duduk, Pak ...." Aku membaca nama yang tertera di form. "Pram Rahardjo?"
"Ya, Dok."
Aku mendongakan kepala dari form di depanku. "Apa keluhannya, Pak Pr ... Pram?" Wajah yang sangat familiar duduk di depanku. Wajah yang tidak akan pernah kulupakan.
Dia ....!
Tubuhku bergetar. Ballpoint yang terjepit di sela-sela jari terjatuh ke atas form di meja. Gemetar menjalar di setiap ruas persendian. Palu besar memukul ingatan yang telah lama kuabaikan. Membawanya kembali dan membuat napasku terasa sesak.
Pandanganku menjadi tidak fokus. Garis-garis wajah pria di hadapanku ini mungkin telah semakin menua. Namun, seperti memutar film lama yang meninggalkan kesan mendalam, seperti itu pulalah aku mengenalinya kembali.
Yah, dia berkesan. Berkesan buruk dalam hidupku.
Dia.
Pria dengan kelopak mata turun setengah dan membengkak. Guratan dosa terlukis bebas di setiap kerutan di wajahnya. Ia tersenyum. Senyum mengejek. Senyum yang membuat tanganku mengepal.
Pria inilah ... laki-laki inilah ....
Dialah yang sudah merenggut nyawa bunda.
***
Author's Note.
Pram muncul lagi?!
Kira-kira apa yang akan terjadi pada hubungan Virgo dan Vonne? 🙈
Btw, kalau mau ketemu atau konsultasi kulit, bisa ke dokter-youtuber dr. Stefani di poli BelladonnaTossici9 yah. ☺️☺️☺️
Kalau penasaran duda beranak satu yang akan menikah dengan Poppy, bisa baca "Catatan Hijrah." Versi lengkap ada di storial, yah. Link di bio.
🌻🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro