Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 20 Magnet


Virgo

“Dokter, pasien epilepsi usia 35 tahun. Terbentuk plak senilis di jaringan otak.”

Aku masuk kembali ke ruang praktek dengan dokter residen, Mona mengikuti dari belakang. “Selama ini disiplin monoterapi?”

Residen Mona mengangguk. “Pasien mengonsumsi fenitoin, karbamazepin, dan asam valporat.”
Aku membaca riwayat kesehatan pasien kembali di e-MR. “Karena itu, pasien mengalami gangguan kognitif,” simpulku.

Aku memeriksa hasil pemeriksaan TMT-B. “Hasilnya memang tidak normal. Pasien mengalami gangguan atensi dan fungsi eksekutif. Ini bisa terjadi karena adanya gangguan pada jaras yang menghubungkan thalamus dan lobus frontal akibat bangkitan yang tidak terkontrol dengan baik pada pasien.”

Gawaiku bergetar dan nama Poppy muncul di layar. “Kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Cek apakah gangguan kognitif ini akibat dari bangkitan epilepsi atau karena penggunaan OAE. Bisa juga keduanya. Kalau ternyata gangguan ini karena konsumsi obatnya, kita harus sarankan pengobatan pendampingan yang lain atau pengurangan dosis.”

Dr. Mona tidak bergerak. Aku mendongakkan kepala. “Kenapa?” Gawai masih bergetar dan segera kumasukkan ke saku snelli.

“Bukannya Dokter ada janji di luar dengan … kenalan dokter tadi? Kenapa balik lagi?”

“Kamu mau ikut, Dokter Mona?” candaku untuk mengusir rasa penasaran dokter ini.

“Buat apa, Dok? Jadi nyamuk atau perisai supaya dokter bisa putus? Kok sepertinya menghindari mbak itu.” Aku tergelak mendengar tebakan dokter muda itu.

“Dia mantan saya, Dok. Saya memintanya menunggu di bawah. Kalau kamu mau ikut menemani saya makan siang bersama, akan lebih bagus, kan?”

Aku memang kembali karena entah mengapa, hatiku ingin membenamkan diri mengobati pasien daripada mendengar ocehan tak berisi dari bibir Poppy. Aku sengaja menyuruhnya turun lebih dulu dan mengatakan ada yang tertinggal di ruangan.

“Bukannya dia datang dari Jakarta?” tanya Mona lagi.

“Kamu cari tahu, ya?” godaku lagi setengah hati yang tampak sepenuh hati.

Mona memutar kedua bola matanya. “Saya ada di sampingnya saat mbak itu tanya tentang Dokter Virgo di meja resepsionis.”

Lagi-lagi aku hanya membalas dengan senyuman. Mona masih tidak bergerak. “Ada apa lagi, Dok?” Aku sedikit tidak nyaman karena dokter residen ini justru menatapku dengan pandangan heran.

“Apa … dokter sedang punya masalah?” tanyanya.
Aku menghela napas.

“Benar? Apa ini tentang … pemilik kafe di seberang rumah sakit?” tanyanya kembali.

Kenapa aku begitu terkenal di sini? Biasanya aku hanya akan menanggapi dengan gurauan, tetapi kali ini berbeda. “Saya ternyata cukup terkenal, yah.”

Mona hanya mengangkat bahu. “Mungkin karena itu terlihat jelas dari sikap Dokter selama ini. Biasanya, Dokter Virgo selalu menggoda dokter muda atau anak koas. Tapi sejak Dokter kenal pemilik kafe itu, hampir setiap hari ke sana. Malah jam istirahat yang sebentar saja juga ke sana. Bela-belain banget. Tapi akhir-akhir ini justru lebih sering lembur.”

Aku terhenyak. Membohongi diri sendiri memang tidak pernah berhasil. Meskipun menolak untuk terus mengejar Yvonne, orang-orang di sekelilingku justru membuatku sekali lagi menyadari rasa kekecewaan ini.

“Saya nggak tahu ada masalah apa antara Dokter Virgo dan pemilik kafe itu, tetapi kalau Dokter benar-benar mencintainya, jangan menyerah. Susah lho ketemu orang yang bisa membuat kita bersemangat setiap harinya dan membuat hidup kita berwarna. Nggak melulu soal pasien.”

Aku menaikkan alis. Ini sudah terlalu serius. “Yang susah itu mencari waktu untuk kencan. Dokter tahu kalo jadwal saya memang sangat padat?” Aku mencoba terlihat santai.

Ujung bibir dr. Mona terangkat. “Pas masih penasaran saja ada tenaganya nih, dr. Virgo. Sekarang udah nggak penasaran? Secepat itu terasa hambar? Seperti mbak yang tadi datang?”

“Hei, kamu kenapa sih, Dok? Tumben balik gangguin saya.” Aku berpura-pura kesal meskipun mata mencoba tetap membaca riwayat kesehatan pasien.

“Ya justru itu. Dokter udah jarang godain yang lain. Artinya, saya bersyukur dr. Virgo ketemu yang benar-benar menarik perhatian … contohnya pemilik kafe itu.”

Dokter Mona menyilangkan kedua tangan di dada. “Sana, Dok. Perbaiki dulu kesalahpahaman mumpung ini masih jam istirahat. Belum makan siang, kan? Sekalian ajak makan siang, terus diobrolin. Atau jangan-jangan … dokter ditolak, yah? Aduh! Saya nggak berpikir sampai ke sana. Beneran, Dok? Dokter ditolak?”

“Wah, ternyata diam-diam kalian gosipin saya, yah?” Aku berdiri dan menatap Mona.

“Ya nggak gosip, Pak Dokter.” Dokter residen itu terlihat gugup.

Ujung bibirku terangkat. “Digosipin juga nggak apa-apa.” Aku mengedipkan mata. “ Tapi saya nggak pernah ditolak, lho.”  Aku menyombong dan disambut dengan ekspresi tak percaya dari Mona.

“Kalau Dokter tembak saya sekarang, saya tolak, lho.” Mona sama suka bercandanya denganku.


“Makanya saya nggak tembak, Dokter Mona,” kataku membalas gurauannya. “Lha wong udah punya pengawal. Yang ada nanti saya disebut pebinor.”

Mona memang menikah muda. Ia menikah sebelum koas. Bisa kubayangkan rasa kesepian sang suami. Pengantin baru, tetapi harus LDR. Untunglah Mona menjalani masa residen di kota ini, tak perlu lagi berjauh-jauhan dengan sang suami.

"Pokoknya jangan seperti Dokter Hisyam ya, Dok. Cari yang masih single saja."

Hisyam Alfarizzi, salah satu residen OBSGIN yang akhir-akhir ini terkenal sebagai pebinor nasional. Berita ia terlibat skandal dengan pasiennya--yang masih berstatus istri orang--bisa sangat cepat tersebar karena Hisyam merupakan anak sulung direktur RS Lovelette.
Bisa dibayangkan kehebohannya.

Aku mengerutkan dahi. “Eh, kalian gosipin semua dokter di sini? Saya malah nggak tahu ada kabar seperti itu," kataku berbohong. Sebenarnya selentingan aku tahu desas desus itu.

Mona hanya meringis. “Saya nggak sengaja dengar dari perawat di poli obsgin. Bukan maksud bergosip, Dok.”

Aku menghela napas sambil menggelengkan kepala. “Kamu boleh istirahat, Mona. Jam makan siang sebentar lagi selesai. Kita punya banyak pasien hari ini.”

Untunglah Mona hanya mengangguk dan meninggalkanku sendiri. Ujung jari mengetuk meja beberapa kali sebelum gawaiku berdering. Panggilan dari Poppy. Ah, dia pasti sudah di kafe lantai satu. Aku mengangkatnya dengan enggan sambil berjalan keluar.
“Iya. Sepertinya kita nggak bisa makan siang bareng.”

Lorong depan poli masih ramai. Aku berjalan ke sisi lain yang menyediakan lift khusus untuk dokter atau karyawan rumah sakit.

Poppy kembali mngomel tentang makan siang dan seharusnya aku dispilin untuk yang satu itu. Teelpon sempat terputus sebelum akhirnya ada panggilan lain dari nomor yang berbeda. ternyata, Poppy meminjam gawai orang lain.

Nekat sekali. Padahal hanya untuk mengajakku makan bersama.

“Baiklah. Kita bisa makan malam saja.” Aku menekan tombol lift. Setidaknya, Poppy kuantar ke tempat parkir. Dia sudah jauh-jauh datang dari Jakarta. Aku tidak sebrengsek itu untuk membiarkannya merasa diabaikan seperti dulu sekalipun sudah tidak memiliki perasaan yang sama.

Pintu kamar lift terbuka. Aku segera masuk. Dari dinding kaca, tampak Poppy sedang duduk di ruang tunggu seberang kafe. Berbeda dengan keramaian di lorong dan ruang tunggu depan poli, di lantai satu justru lebih sepi. Mungkin karena sebagian besar pengunjung sedang duduk di dalam kafe-kafe di bawah sana sembari menyesap kopi atau menikmati makan siang.

Aku merasa bersyukur diterima di rumah sakit elit ini. Perkembangannya sungguh sangat pesat. Lima belas tahun yang lalu, saat bunda masih bekerja sebagai dokter di sini, belum sebesar sekarang.

Ah, bunda. Apa dia akan memarahiku karena memilih untuk tidak memperjuangkan Yvonne karena kekurangan yang wanita itu? Apa aku memang sejahat itu? Aku hanya ingin memiliki seseorang yang sempurna. Dan kupikir, Yvonne sesempurna itu. Senyum Vonne kembali muncul di benakku.

Aku menghela napas, menyingkirkan wanita itu. “Iya, Pop. Nanti sepulang kerja, aku mampir ke hotel. Kita makan malam di sana saja.”

Lift berhenti di lantai dua. Masih mengamati Poppy dari jauh. Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Begitu sambungan telepon berakhir, saat itulah lift sampai di lantai satu. Pintu terbuka.

Poppy sedang bicara dengan seseorang yang sangat kukenal wajahnya belakangan ini. Tangannya memberikan sesuatu pada wanita bule itu. Telepon genggam. Aku melangkah keluar kamar lift dengan perlahan. Mataku masih terpaku pada interaksi keduanya.

Tak lama kemudian, Poppy meninggalkan wanita bule itu sendirian. Langkahku semakin dekat. Aku tak mendengar satu suara pun. Seolah gravitasi hanya ada di sekitar wanita yang mengenakan celana jins, kaos putih polos dan kardigan rajut terawang berwarna sama dengan kaos polosnya.

Aku berjalan semakin dekat ke arahnya. Kepalanya masih tertunduk menatap gawai yang baru saja dipakai Poppy. Begitu mendongakkan kepala, saat itulah aku tahu.

Jadi, tadi Poppy menghubungiku lewat nomor … Yvonne?

Ada magnet yang tidak bisa kutolak. Kini, aku berdiri di depan wanita campuran itu.

***

Catatan Author

Jalan cinta Hisyam yang jadi pebinor bisa dikulik di akun Kak NisaAtfiatmico yah di cabaca.☺️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro