Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19 Nomor Handphone

Aku meremas ujung kemeja sembari melihat mama yang ditemani orang berseragam lainnya. Baru saja, berkonsultasi dengan dr. Galen. Dokter yang katanya berwajah oppa-oppa Korea itu menjelaskan bagaimana kritisnya penyakit mama. Kanker stadium tiga. Semakin cepat dioperasi, semakin baik untuk mama.

Aku memijat pelipis sambil berjalan keluar dari kamar rawat inap mama. Langkah kaki ini mengarah ke lantai satu. Setelah ketegangan saat mendengar penjelasan dr. Galen, aku baru merasakan lilitan lambung karena belum makan.

"Cinamon roll dan Ice lemon tea."

Aku meraih cup minuman dan kue yang mirip bolu gulung itu dan berjalan ke kursi di luar kafe yang terletak di depan meja resepsionis lantai satu. Mama sedang beristirahat, jadi aku keluar sebentar untuk mencari udara segar. Beliau tidur setelah mengomel tak karuan karena harus menginap di rumah sakit. Padahal, aku sudah pilih kamar VIP, bukannya kamar dengan bangsal keroyokan.

Sejak tadi, aku mencoba memperlihatkan ketegaranku agar mama tidak cemas. Ingin sekali menumpahkan semuanya. Terlebih lagi, aku tidak tahu seperti apa wajah mama. Apa ada kecemasan di sana? Tentu saja. Aku ingin menenangkannya kalau saja beliau tidak buru-buru mengomel tida karuan. Aku tahu kalau mama tidak ingin membuat putri semata wayangnya khawatir. Yang terjadi justru sebaliknya.

Selain itu, ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Tentang Virgo. Dokter itu sudah tidak pernah lagi muncul di Bon Appetit. Tentu aku tidak bisa mengenali wajahnya, tetapi biasanya Edo akan sering protes kalau laki-laki itu datang. Tak ada suara sindiran Edo ataupun suara Virgo menyapa seperti biasanya. Akhir-akhir ini, Edo sama tenangnya dengan kunjungan Virgo.

Gawaiku bergetar. Ada nama Edo tertera. Entah mengapa, tadinya berharap itu Virgo. Bodohnya! Padahal aku sama sekali tidak tahu nomor dokter itu.

Aku baru menyadarinya. Selama ini, kami sering mengobrol—atau lebih seringnya berdebat—dan sama sekali tidak tahu nomor handphone satu sama lain.

Baguslah. Mungkin memang sebaiknya begitu. Bayangkan kalau kami saling menyimpan nomor dan berkirim pesan, tentu masa-masa tenang seperti sekarang akan lebih menyakitkan.

Menyakitkan?

Apa aku merasa sakit begitu menyadari Virgo mundur begitu saja setelah tahu kekuranganku ini? Bukankah itu yang kuinginkan? Tidak menyukai satu pria pun sejak papa pergi, terlebih dengan kekuranganku seperti ini.

Edo yang sudah kukenal sejak SMA dan 'katanya' mau menerimaku apa adanya saja tidak bisa membuat hatiku goyah. Lalu kenapa seorang Virgo yang baru muncul dalam hidupku bisa membuat hati ini sakit?

Gawai kembali bergetar. Aku memejamkan mata sesaat sambil menggerakkan kepala secara ringan ke kiri dan kanan untuk menyadarkan diri.

"Halo, Do."

"Vonne, bagaimana keadaan Madame Risma?" Suara Edo terdengar sedikit berisik. Aku tebak, dia sedang di jalan. Ada beberapa pesanan bonaparte cake hari ini. Volume-nya lumayan untuk bantu menutupi kerugian selama renovasi kemarin.

"Baik. Mama baru akan dioperasi besok." Aku meletakkan ice lemon tea di kursi sebelah kiri yang kosong.

"Dengan dokter Korea itu?"

"Ya. Kamu di mana, Do? Masih antar pesanan?" tanyaku.

"Enggak. Udah selesai. Ini mau balik ke Bon Appetit. Cuma ada Opie di sana. Takutnya dia kewalahan."

"Cie, supervisor andalan, nih." Kupaksa tersenyum agar Edo tidak tahu suasana hati yang sedang buruk ini.

"Naikin gaji, ya!"

"Hm, lihat dulu kinerja per tahun ini."

"Kalau kamu nggak mau naikin gaji, ya udah, naikin status, dong!"

"Hah?"

"Kalau aku bilang naikin status dari teman jadi pacar pasti nggak bisa, kan?"

Aku terhenyak.

"Naikin status dari supervisor jadi manajer. Tandem sama kamu pun tak apa, Von."

Aku tergelak, menutupi kegetiran. "Tunggu mama selesai operasi saja. Mama yang menilai pekerjaanmu, bukan aku. Aku cuma owner sementara. Itu kan yang kamu bilang?" Aku mencoba melawak.

Seseorang duduk di sampingku. Dari aroma parfumnya, mungkin wanita. Benar saja. Pakaiannya cukup berani. Dress mini berwarna merah muda membalut ketat tubuhnya yang menawan. Di bahunya yang nyaris terekspose semua, bergantung tas berwarna hitam.

"Ya sudah kalau begitu. Kalau ada sesuatu di kafe, jangan lupa hubungi aku. Aku akan kembali ke kamar mama. Takut saat mama bangun, aku nggak ada di sampingnya."

Setelah menutup pembicaraan, aku kembali memeriksa nama kontak yang berada tepat di bawah nama Edo. Papa. Apa aku coba menghubungi papa lagi?

Ah, lebih baik tidak. Papa sudah melupakan kami di sini—mama lebih tepatnya. Obrolan dengannya tempo hari membuat rasa kecewa kembali kurasa.

Aku menghela napas dan memutuskan untuk kembali menghabiskan cinnamon roll dan ice lemon tea. Sudah terlalu lama meninggalkan mama sendirian di kamar rawat.

"Hei, Dokter Virgo! Aku sudah menunggumu dari tadi. Kamu masih ngapain, sih? Katanya sebentar."

Jantungku berdegub. Dokter Virgo?

Secara otomatis, aku kembali menoleh. Siapa wanita yang sedang duduk di sampingku ini? Apa dia kenal Virgo? Apa Virgo ada di dekatku sekarang? Yang mana? Ada beberapa orang yang lalu lalang mengenakan jas putih.

"Iya, aku sudah di depan kafe yang kamu bilang. Aku mau masuk, tapi masih ramai. Kita makan di luar saja, yuk! Ayolah, Sayang!"

Ah, dia bicara dari gawai. Jari-jariku terasa kebas. Aku menggerakkannya beberapa kali. Ada sudut hati yang terluka.

Oh no! Apa aku patah hati? Apa ini rasanya patah hati? Menemukan orang yang beberapa waktu lalu masih mengejarmu sampai berhasil masuk ke dalam pikiran siang dan malam, lalu tahu bahwa dia sudah punya seseorang yang lain?

"Nggak, kamu nggak boleh melewatkan makan siang! Hah? Kamu mau ke mana? Nggak. Aku akan menunggu di ... halo? Halo? Yah, batereiku habis."

Aku hendak beranjak pergi. Enggan mendengar obrolan mereka—jika itu memang Virgo yang kukenal.

"Hello, Miss. Excuse me."

Akukah yang dipanggil? Tidak ada orang lain di deretan kursi ini. Dan sepertinya tidak ada yang bisa dipanggil Miss selain aku saat ini. Kata Virgo, penampilanku terlalu bule.

Virgo lagi.

Aku pun menoleh. "Yes?"

"Can I borrow your cell phone? Mine is running out battery. Just for a moment."

"Oh, sure." Aku mencoba tersenyum sambil menyodorkan gawai yang ada di genggaman. Tak lama kemudian, wanita itu sudah kembali bicara dengan seseorang dan itu lagi-lagi Virgo.

"Ini aku pinjam handphone orang. Kamu gimana, sih, Sayang? Masa mau ninggalin aku begitu saja? Aku sudah jauh-jauh datang dari Jakarta, lho! Kan aku juga sudah bilang mau ke Malang. Kamu pernah janji mau mempertemukan aku dengan bunda kamu, Vir."

Sesuatu terasa teriris, pedih. Begini rasanya dicampakkan? Tidak! Kenapa aku harus merasa dicampakan dan sedih? Toh, dari awal aku sudah menunjukan sikap penolakan.

"Oh ya? Besok kamu libur? Nggak bohong? Aku balik ke hotel nih kalau benar besok kamu nggak ada jadwal." Suara wanita itu terdengar lebih manja. 

"Apa ... nanti malam kamu ke hotel saja? C'est tout parfait, Mon Coeur (Bagus sekali, Sayang). Oh ya, aku lihat di depan ada toko kue Prancis. Mau kubelikan mille fuille? Atau croissant? Kamu bilang bunda suka pastry, kan?"

Wanita ini bisa bahasa Prancis. Apa itu yang membuat Virgo menyukainya? Seperti padaku—beberapa minggu belakangan ini? Aku memalingkan wajah. Berjalan sedikit menjauh. Enggan mendengar kelanjutan dari pembicaraan intim keduanya.

"Miss?"

"Oui? (Ya?)" Aku reflek menjawabnya dengan bahasa Prancis.

Wanita itu menyodorkan gawai milikku. "Parlez vouz francais? (Anda bisa bahasa prancis?)"

Mau tak mau aku mengangguk. "Oui."

Agaknya ekspresi wanita muda itu langsung berubah. Aku tahu dari nada bicara setelahnya. "Bonjour. Je m'appelle Poppy, et vous? (Perkenalkan, saya Poppy dan kamu?"

"Saya Yvonne."

"Wow, bisa bahasa Indonesia juga?"

"Saya campuran, kok. Mama saya orang Malang."

"Oh, je comprend (Oh, saya mengerti.) Saya jarang menemukan bule Prancis di Malang."

"Bahasa Prancis kamu bagus." Aku memujinya. Memang begitu. Poppy melafalkan setiap katanya seperti dia telah lama tinggal di Prancis.

"Aku belajar sastra Prancis saat kuliah dan kebetulan saat ini punya atasan orang Prancis juga."

Wanita yang baru saja memperkenalkan diri itu lantas menceritakan bagaimana akhirnya dia terpaksa mengunjungi kekasihnya—yang kuyakini itu Virgo—karena lama tak memberikan kabar. Aku hanya menanggapinya dengan senyum palsu. Jika dilihat dari bahasa tubuh dan caranya bicara, aku tahu bahwa Poppy orang yang menyenangkan. Mungkin itu pula yang dilihat Virgo darinya.

Kekasih? Mereka sepasang kekasih? Jadi ... apa itu artinya selama ini Virgo bermaksud untuk menjadikanku ... selingkuhan? Aku merasa tersinggung jika itu benar.

"Sekali lagi terima kasih sudah meminjamkan handphone kamu, Yvonne. Senang berkenalan denganmu."

Aku kembali membalas dengan senyum palsu. "Ya, senang juga berkenalan denganmu. Bonne journée! (Semoga harimu menyenangkan!)" Tentu saja menyenangkan karena dia akan berkencan dengan Virgo. 

Tidak. Aku tidak cemburu dan memang tidak boleh.

Untuk apa? Aku tidak pernah berharap ada seorang pria pun dalam hidupku. Seseorang yang tidak bisa kukenali wajahnya.

Begitu wanita itu mengucapkan terima kasih sekali lagi dan pergi, kupandangi nomor yang tertera di panggilan terakhir. Tepat di atas nomor telepon Edo. Jadi ... ini nomor handphone Virgo.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro