Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17 Insecure


#POV Yvonne

Tas mungil mendarat begitu saja di atas kasur berbalut sprei merah muda. Diikuti tubuh terhempas di sampingnya. Itu aku.

Langit-langit kamar yang dihiasi dengan lampu-lampu berbentuk benda-benda langit biasanya membuatku lebih tenang dan akhirnya tertidur. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.

Alunan Berdua Saja dari Payung Teduh yang dibawakan oleh Virgo terus terngiang. Suaranya menenangkan saat di atas bukit kecil, kini justru membuatnya gelisah.

Seperti apa wajah Virgo? Pertanyaan itu terus menerus menggerus pikiran dan mendatangkan debaran-debaran di jantung.

"Aku bisa lihat kalau kamu menyukainya. Kamu bohong, Pong." Itu yang dituduhkan Edo saat aku katanya terhanyut melihat aksi panggung Virgo.

"Kenapa kamu bisa bilang begitu?"

"Terlihat jelas di wajahmu!"

Aku memejamkan mata mengingat kata demi kata yang dilontarkan Edo setelah itu.

"Dia seorang dokter bodoh yang bahkan nggak menyadari kalau kamu nggak bisa mengenali wajahnya. Kamu mau menyentuh wajahnya tadi? Kenapa nggak sekalian mengaku? Kita lihat, siapa yang masih bertahan di sampingmu meskipun tahu kondisi yang sebenarnya. Aku atau dokter itu."

Aku salah.

Aku salah selama ini karena memanfaatkan keberadaan dan ketulusan Edo. Aku salah karena memberinya harapan palsu demi membuatnya tetap berada di sisiku. Aku salah karena memanfaatkan mata Edo demi keuntunganku sendiri. Aku salah telah memanfaatkan rasa sayang cowok itu.

"Kamu masih ingat kata-kataku saat kelulusan? Hanya aku yang bisa memahami kondisimu. Kalau bisa berada di sampingmu, aku akan mengabaikan semua kekuranganmu, Pong. Katakan padanya, Pong. Aku yakin setelah itu, aku yakin semua usahanya untuk mendekatimu akan berhenti saat itu juga. Kenapa? Karena hanya aku yang paling memahami kondisimu."

Mungkin Edo benar. Setelah aku jujur, Virgo hanya terpaku di tempatnya berdiri. Bahkan saat aku dan Edo memutuskan untuk pulang, Virgo masih belum bergerak. Mungkin dia sama sekali tidak menyangka bahwa yang katanya gadis cantik berambut kemerahan, bertahi lalat di hidung, dan berlesung pipi ini memiliki kekurangan begitu besar.

Dia hanya melihat wajahku untuk jatuh cinta, lantas bagaimana aku bisa jatuh cinta pula jika wajahnya justru tidak dapat kukenali?

Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata, ketika kita berdua.

Hanya aku yang bisa bertanya, mungkinkah kau tahu jawabannya.

Suaranya kembali mengisi kepalaku dan merambat ke jantung. Ah, kenapa jantungku justru terasa sakit? Aku bahkan tidak menyukainya. Atau jangan-jangan, aku justru sudah menaruh hati karena sikapnya selama ini?

Wake up, Vonne!

Aku menendang selimut. Cahaya masuk ke dalam kamar yang gelap. Seseorang membuka pintu kamarku.

"Kamu kenapa, Vonne?" Suara mama terdengar di ambang pintu.

"Mama? Kenapa nggak ketuk pintu dulu?" protesku sambil menyembunyikan wajah bad mood.

"Mama udah ketuk beberapa kali. Emang kamu sedang mikirin apa sih sampai-sampai nggak dengar dari tadi Mama panggil?"

Aku menghela napas. "Ya, Vonne capek aja, Ma."

"Bukannya habis jalan sama Edo?"

"Cuma nonton konser di Batu."

"Jauhnya. Tumben Edo ngajak kamu main sampai ke Batu." Mama berjalan pelan ke tempatku duduk. Aku buru-buru membantunya. "Mama masih bisa jalan sendiri, nggak usah dibantuin."

Aku menarik kembali tangan dan menyimpannya ke belakang badan. "Ada festival music folk, gitu. Mama tahu sendiri, kan kalau aku dan Virgo suka musik indie, folk, gitu."

"Virgo? Siapa itu Virgo? Kayaknya Mama nggak kenal kamu punya teman namanya Virgo."

Aku mematung. Kenapa aku menyebut Virgo?

"Maksudku Edo."

Mama bergumam sebelum menyeletuk. "Virgo dan Edo itu cuma sama "O"-nya doang, lho." Entah bagaimana ekspresi mama saat ini. Aku tahu dia sedang menggodaku.

"Gimana check up-nya sama dr. Galen tadi sore, Ma? Maaf ya aku nggak bisa nemenin Mama. Untung ada Opie yan mau bantuin."

"Iya, Mama tahu kamu sedang ada acara dengan Virgo ... eh Edo."

Aku menyesali kebodohanku keceplosan seperti tadi.

"Dokter Galen bilang lusa harus sudah rawat inap sebelum dioperasi."

"Mama sekarang udah yakin, kan mau operasi? Jangan batalin lagi, ya. Vonne nggak mau Mama terus menerus sakit."

"Operasi nggak akan buat Mama sembuh seratus persen, Vonne."

"Ma."

"Jadi, gimana kencan kamu sama cowok itu?" Mama tidak pernah memanggil Edo dengan "cowok itu".

"Cowok itu Edo." Aku mengulanginya.

"Lho, memangnya Mama bilang siapa?"

Aku menghela napaslalu berjalan ke jendela. Menutup tirai dan menguncinya. Rintik-rintik hujan sudah naik pangkat menjadi hujan. "Aku hanya datang nonton konsernya bareng Edo."

"Acaranya seru, ya? Kayaknya kamu sampai masih kepikiran."

"Ma."

"Bukan Edo?"

Kenapa firasat seorang ibu selalu benar?

"Mama senang kalau kamu punya teman selain Edo, mulai membuka diri ke yang lain. Mama minta maaf ya sudah membuat kamu merasa insecure."

Bahuku melemas. Ingatan belasan tahun lalu bermain di kepala.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro