Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15 Pengakuan

#POV Yvonne

Aneh karena aku tiba-tiba menantikan kencan yang tadinya tak kuinginkan. Jantungku berdebar-debar. Kapan terakhir kalinya aku kencan? Aku masih ingat dengan jelas, cowok bernama Tyo, pacar pertama saat SMA yang hanya bertahan kurang dari seminggu. Alasannya sederhana saja. Aku tidak mengenalinya saat kami janji ketemu di mall.

Bagaimana kalau kejadian itu berulang? Bagaimana kalau Dokter Virgo juga mengambil sikap seperti Tyo jika tahu kekuranganku? (Cerita remaja Yvonne nanti bisa dibaca setelah Love Sensory tamat ya)

"Aku ikut." Edo muncul dari balik pintu ruang chiller. Dia sama sekali tidak menggunakan jaket tebal, artinya cowok itu tidak akan lama di ruangan ini.

"Ini kencanku, Do." Aku lanjut menguleni adonan pastry. "Aku bisa melewatinya. Toh, hanya jalan-jalan biasa saja."

"Jalan-jalan biasa seperti apa? Kamu bahkan nggak mau aku ajak kencan. Sekarang, kamu justru menerima ajakan kencan cowok yang baru kamu kenal." Suara Edo tercekat. "Jangan-jangan, kamu ... suka sama cowok itu."

Aku mengangkat adonan pastry dan mengaturnya sedemikian rupa agar bisa masuk mesin dough sheeter untuk dipipihkan. Bunyi mesin terdengar.

"Kamu tahu aku nggak mungkin bisa jatuh cinta."

"Kenapa nggak bisa? Kamu selalu bilang kalau kamu nggak mungkin jatuh cinta lagi. Ayolah, Dia hanya cinta monyet dan aku sudah kenal kamu sejak kecil. Aku tahu apa yang yang mengganjal di hatimu, Vonne. Apa lebih sulit memberikanku kesempatan daripada dokter itu?"

"Aku menerima ajakannya supaya dia berhenti mengejarku, Do!" Suaraku meninggi karena suara mesin laminator. Kuenyahkan bagaimana suara bass milik Dokter Virgo menerobos gendang telinga. "Kalau setelah kencan besok, aku bukan tipemu, aku akan mundur."

Entah mengapa, kata-kata itu begitu mengganggu.

"Kalau begitu, aku harus ikut. Aku harus memastikan kalau kamu benar-benar hanya melakukannya untuk menolak dokter itu."

Aku tidak bisa menolak dan melukai Edo lebih dalam lagi. Membiarkannya tetap di sisiku tanpa kejelasan hubungan saat tahu aku menderita buta wajah saja sudah jahat.

Edo adalah satu-satunya sahabat yang menemani masa remajaku nan suram. Dia menyatakan perasaan saat SMA dan aku menolak. Kegigihannya membuatku harus berterus terang tentang kekurangan bahwa aku sama sekali tidka bisa mengenali wajah manusia. Tidak mungkin bagiku menjalin hubungan yang melibatkan perasaan sementara aku tidak pernah tahu bagaimana rupa Edo.

Bagaimana jika aku bertemu dengannya di jalan dan sama sekali tidak mengenalinya seperti saat bersama Tyo? Bagaimana caraku melihat ketulusan di wajahnya? Bagaimana caraku membaca semua ekspresinya saat kami bicara? Aku buta. Aku buta untuk membaca itu semua dan itu sungguh membuat kepalaku berputar-putar.

Sialnya, Edo justru memilih untuk tetap di sisiku meski itu bukan sebagai kekasih. Dia bahkan rela bekerja di Bon Appetit hanya untuk bisa membantuku melewati semuanya. Dia menjadi mata bagiku selama ini. Dan lama kelamaan, aku merasa menjadi beban untuk semua orang. Mama, papa, dan Edo. Bukan tidak mungkin cowok itu akan pergi seperti papa saat semuanya sudah terlalu membuatnya jenuh. Tidak, aku tidak ingin melukainya lebih dalam.

"Biarkan aku ikut seperti biasanya. Kalau dia meninggalkanmu begitu saja seperti yang Tyo dulu lakukan, paling nggak, aku bisa menemani dan mengantarmu pulang."

Begitulah. Kami bertiga-aku, Virgo, dan Edo-pun terjebak dalam mobil dokter saraf itu. Sesekali aku melirik Virgo yang menyetir. Seperti biasa, dia memakai parfum aroma kayu mint yang menyegarkan.

Perdebatan kecil sempat terjadi antara Edo dan Virgo. Sejujurnya, aku mulai merasa Edo terlalu mencampuri semua urusanku. Namun, di saat yang sama, memang benar kalau aku bisa saja membutuhkan cowok itu nanti.

"Kamu nggak apa-apa?" Suara merdu Virgo menyeruak, menembus gendang telingaku, bercampur dengan suara musik folk yang sedang dimainkan. Edo sedang ke toilet.

"Iya, aku hanya nggak terlalu suka keramaian," ujarku berusaha menghindari tatapannya meskipun sama sekali tidak tahu di mana letak mata itu.

"Tapi kamu suka musiknya?" tanya Virgo lagi.

"Hm, begitulah. Aku sering dengar lagu ini di radio. Sebenarnya lebih enak didengar langsung, tapi ...."

Lagi-lagi mataku berusaha menatap lurus ke panggung yang dipenuhi oleh pemain band dan di bawahnya berkerumun pengunjung. Lukisan wajah melelah di mana-mana membuatku berkeringat dingin.

"Mau kuajak menikmatinya tanpa keramaian?"

Detik berikutnya, Virgo sudah menarik lenganku. "Ayo!"

"Tapi Edo ...."

Virgo tidak menjawab dan justru membawaku ke sisi lain dari tempat ini. Mataku masih mencari-cari Edo meskipun jauh di lubuk hatiku, aku berharap dia tidak melihat Virgo sedang menarikku dan aku hanya diam saja.

Menjelang malam, tanah lapang agrowisata Batu lebih padat dari biasanya. Pemandangan gunung-gunung berkabut menambah kesan romantis. Meksipun udara dingin yang mungkin dibawah 25°C, suasananya justru terasa hangat-setidaknya bagi sebagian orang yang datang bersama pasangannya.

Sebuah syal melingkar di leherku. Syal berwarna merah marun. Aku sedikit terkejut. Kapan Virgo membelinya?

"Saya nggak merasa kedinginan, kok." Aku berusaha melepaskannya. Namun, tepat saat itu, angin sejuk justru berhembus.

"Pakailah, saya nggak mau pengawal kamu protes kalau kamu sakit sepulang dari sini." Virgo mengajakku duduk di tanah yang lebih tinggi dari lainnya. Bukit kecil itu tidak menyediakan kursi ataupun tikar seperti di bawah sana.

"Ini buat alas saja?" Aku menunjuk syal yang tadi dipakaikan oleh Virgo.

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat sampai akhirnya terdengar suara tawa laki-laki itu. "Kamu pakai saja."

Ia lantas menjadikan jaket sebagai alas. "Saya nggak beli syal itu buat jadi tikar," imbuhnya sambil diselingi tawa kecil.

Aku hanya menggigit bibir dan mengikuti kata-katanya. Suara Arief S. Pramono dengan alunan gitarnya mengalun kembali setelah bincang-bincang sebentar bersama MC.

"Jadi, kamu suka musik folk?" Aku bertanya sambil menikmati suara setiap petikan gitar.

"Iya."

"Pantas saja."

"Pantas saja apa?"

"Kamu terlalu percaya diri dan spontan."

Virgo tertawa. "Karena saya bilang kalau saya suka sama kamu?"

"Yah, setidaknya ini pertama kalinya ada orang yang langsung bilang suka padahal baru ketemu," imbuhku.

"Kita nggak baru ketemu." Sanggahan Virgo menarik perhatianku.

"Maksud kamu?" Aku mengernyitkan dahi.

"Kita pernah ketemu lima belas tahun yang lalu dan saat itu, saya sudah naksir kamu."

Aku nyaris tersedak. "Li ... lima belas tahun yang lalu? Tapi saya nggak ingat pernah ketemu sama kamu?"

Aku menyadari ada kesalahan dalam kalimat itu. Tentu saja, sama sekali tidak ingat. Mana mungkin aku ingat kalau sama sekali tidak pernah melihat wajahnya.

"Bisa kita lebih santai? 'Saya' rasanya terlalu kaku. Ini kencan kita, kan?"

"Oh, ya ... boleh." Aku toh tidak menganggap ini kencan yang serius.

"Hm, ibuku dulu pelanggan tetap Bon Appetit." Lagi-lagi kejutan.

"Lima belas tahun yang lalu?"

Virgo terlihat menggerakkan kepalanya. "Ya. Itu pertama kalinya aku ke toko rotimu. Seingatku, dulu belum jadi kafe. Masih toko roti dan bangunannya pun nggak semodern sekarang."

"Aku hanya mengubah beberapa interiornya ... dan tampak luarnya." Tiba-tiba aku merasa bersalah pada mama karena mengubah gaya tokonya menjadi kafe.

"Aku sama sekali nggak protes, kok. Meskipun cuma satu kali, aku masih ingat seperti apa toko rotimu itu dulu. Hari itu pengumuman kelulusanku kuliah di kedokteran. Ibu membeli kue di Bon Appetit untuk merayakannya. Saat itulah, kita bertemu."

Sejujurnya aku sama sekali tidak ingat. Begitu banyak pelanggan mama yang bawa anak atau pesan kue untuk merayakan apa pun itu. Namun, mendengar 'ada awal cerita' antara aku dan Virgo membuat jantungku berdebar-debar.

"Kamu pasti sering ke toko yah kalau bisa ingat sampai sekarang?"

Virgo menggelengkan kepala. "Itu pertemuan pertama dan terakhir kita karena ...." Suara laki-laki itu terhenti. "Karena setelah hari itu, aku berangkat ke Depok."

Lima belas tahun dan dia masih ingat akan pertemuan singkat itu?

"Kamu ... nggak sedang mengarang cerita, kan?"

Virgo tertawa. "Aku seharusnya mengarang cerita yang lebih romantis kalau begitu."

"Kamu langsung mengenaliku setelah lima belas tahun?" Sulit dipercaya.

"Ya."

Aku merasa sesak karena helium melambungkan rasa bersama alunan gitar. Mengetahui ada orang yang mengenaliku begitu saja meskipun sudah lama berlalu membuatku tersanjung.

"Aku langsung tahu kalau kamu adalah gadis berambut kemerahan dan berlesung pipi itu dan aku ... sama sekali nggak mau melewatkan kesempatan untuk mengenalmu lebih baik."

Katakanlah ini hanya bualan semata, tetapi bualan manis itu sukses membuat wajahku terasa panas. "Aku punya lesung pipi?" Kata-kata itu juga meluncur begitu saja.

"Kamu juga punya tahi lalat di hidung dan itu langsung menarik perhatianku."

Agaknya Virgo mendekatkan wajahnya. Aku bisa merasakan deru hangat napasnya. Sesuatu menyetuh pipiku. "Ini." Telunjuk laki-laki itu sudah menempel di pipi kananku.

Tanpa sadar, aku ikut menyentuhnya. Tangan kami bersentuhan. Ada medan magnet kuat yang membuat tanganku kini tetap menggenggam jarinya dan wajah kami saling berdekatan. Aku mereka-reka bagaimana rupa Virgo, sementara jantung ini kembali menderu.

Tidak ada satu orang pun yang pernah mengatakan seperti apa wajahku. Tidak pula mama. Sejak menyadari bahwa aku buta wajah, duniaku benar-benar berubah. Perkara wajah menjadi sangat sensitif untuk dibahas. Aku hanya bisa menggambarkan warna warninya, lalu lalang yang memusingkan, suara-suara yang berbeda padahal memiliki pita suara tak jauh berbeda, dan aroma tubuh dan parfum yang khas.

Duniaku tanpa rupa. Duniaku tak berwajah. Dan di depanku kini, tiba-tiba aku ingin melihatnya. Aku ingin tahu seperti apa wajahnya melebihi wajahku sendiri. Aku ingin tahu bagaimana rupa laki-laki yang memberiku gambaran wajahku sendiri.

Tanganku bergerak sendiri, meraba wajah itu. Aku ingin mengenali wajah ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro