Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11 Pelanggan Baru


#POV Yvonne

"Oke, langsung saja. Saya suka sama kamu."

Ujung kepalaku seperti tertarik karena saking terkejutnya mendengar pria bernama Virgo. Is he crazy? Atau aku yang salah dengar?

Belum habis rasa terkejut dan heran, seseorang memanggil namaku.

"Nona Yvonne Leroux."

Aku menoleh meskipun namaku hanya dilafalkan dengan "Vonne Leroux." Sudah terbiasa dengan semua pengucapan medhok atau salah. Ah, akhirnya aku ingat kalau orang "gila" barusan bisa melafalkan namaku dengan sangat sempurna. Sayang sekali dia tidak waras.

Aku segera berdiri dan berjalan mendekat. Benar-benar melupakan ucapan Virgo karena ada yang jauh lebih penting. Lagi pula, siapa yang bisa menebak keseriusan dalam ucapan itu? Paling dia hanya main-main atau ... aku yang salah dengar.

Seseorang berseragam putih yang kuyakini sebagai dokter atau perawat, menunjukkan hasil pemindaian tubuh mama.

"Vonne, ini Mama." Panggilan itu lebih meyakinkanku untuk mendekat. Aku segera membantu mama untuk duduk bangsal. Perawat membantu kami.

"Terima kasih, Bu." Aku mengucapkannya padanya. Kulirik papan nama yang tersemat di sebelah kanan atas dada. "Terima kasih, Dokter Vivi," ralatku. Ternyata bukan perawat.

"Mbak Vonne, hasil baru bisa keluar minggu depan, ya."

Aku mengangguk dan membantu mama untuk turun dari bangsal. "Tadi Bu Risma minta dipanggilkan anaknya," kata Dokter Vivi lagi.

"Iya. Mama sudah kesulitan jalan. Lekas kelelahan, jadi saya harus siaga, Dok." Aku membantu mama berjalan ke ruang ganti setelah berpamitan dengan Dokter Vivi.

Aku dan mama lagi-lagi sempat berdebat tentang penting nggak pentingnya pemeriksaan ini. Bahkan sampai keluar dari ruang radiologi.

Saat di pintu keluar, mama menyapa seseorang. "Mari, Dokter Galen."

Aku buru-buru menoleh dan menyapa seperti yang mama lakukan. Seingatku, poli bedah saraf ada di lantai 3 gedung D. Siapa bisa menyangka bertemu dokter yang menangani penyakit mama di sini.

Setelah berbasa-basi sebentar, aku dan mama pulang.

***

Kakiku baru saja menapak diparkiran saat seseorang sudah menggandeng lengan dan mengajak masuk ke dalam kafe.

"Madame Risma gimana? Apa benar madame kena ... kanker?" Suara Edo membuatku menghela napas.

"Mana si Adrien Bolen?" Aku mengalihkan pembicaraan. Di kasir, terlihat tiga orang yang sedang mengantri. "Hari ini lumayan rame, yah? Padahal belum resmi buka." Aku berjalan ke dalam bar dan tak lupa tersenyum pada para pelanggan. Entah mereka sedang melihat ke arahku atau tidak.

"Adrien duduk di sana. Wajahnya kusut sejak pertama kali datang."

Aku dan Adrien bisa dibilang dekat karena kami sama-sama keturunan Prancis, tinggal di Malang, dan punya patisserie. Bon Appétit lebih dulu berdiri di bumi Paris Van East Java daripada kafe Adrien.

"Vonne. Kamu nggak mau istirahat dulu? Pasti melelahkan menemani Madame Risma di rumah sakit. Udah makan siang? Tadi pagi sempat sarapan nggak?"

Aku menggantungkan outer coklat panjang yang tadinya membungkus tubuh mungil ini. "Dia mamaku sendiri, Do. Nggak ada yang namanya kelelahan menjaga mama sendiri. Kamu juga begitu, kan?"

"Kamu lupa, Von? Ibuku sudah meninggal. Oh jangan! Jangan minta maaf hanya karena kamu nggak ingat tentang itu. Aku baik-baik saja. Ok? Sekarang, temui saja sahabatmu di sana. Kalau kamu masih mau bekerja, ini antarkan pesanan Monsieur Bollen."

Aku mendengus, pura-pura kesal. Sambil memutar kedua bola mata, tangan ini menerima nampan kayu dengan ukiran sebagai pegangan di ujungnya. "Meja nomor delapan," kata Edo lagi.

"Ini yang bos siapa yah?" celetukku meskipun tetap berjalan keluar bar.

"Kamu bilang bos sementara. Jadi, setengah bos setengah karyawan biasa." Edo bahkan membukakan pintu setengah badan di sisi meja kassa untukku.

Aku tertawa kecil dan berjalan menuju meja tempat Adrien merenungi nasib. "Ada apa, Ndri? Suntuk banget mukanya." Aku meminjam penggambaran ekspresi Adrien dari kata-kata Edo tadi.

Adrien sedikit mendengus sebelum menjawab. Mungkin seraya sedang memberi peringatan kalau aku sama sekali tidak bisa melihat ekspresi "suntuk" dan hanya mengulang informasi dari Edo. "Von. Bisa nggak sih, kita udah pacaran lama dan ternyata kita nggak jodoh sama pacar kita?"

Macchiato dan croissant kuletakkan di depannya. Ah, pasti tentang dokter spesialis mata itu lagi. Kalau tidak salah namanya Nora. Keduanya sudah lama pacaran, tapi hubungan mereka jalan di tempat. Melihat Adrien sampai mabuk kepayang hanya untuk mempertahankan cinta dokter itu mau tak mau mengingatkanku pada kejadian pagi tadi. Cowok bernama Virgo.

Selama mengurus administrasi dan mengurus mama sampai mengantarnya pulang, intonasi dan suara laki-laki itu terus menerus terngiang, berebutan perhatian dengan mama. Untung saja otakku masih waras untuk menghadapi orang tidak waras itu.

Yang sudah lama kenal dan bahkan berstatus pacaran saja bisa masih merasa belum ada kejelasan. Bagaimana mungkin menanggapi serius tembakan dari laki-laki yang bahkan baru kukenal? Non! Aku bahkan belum mengenalnya.

Aku hanya mengulurkan tangan dan menepuk ringan pundak Adrien. Berharap menyalurkan sikap masa bodoh terhadap apa pun yang melibatkan perasaan. Laki-laki macam Adrien atau ... Virgo adalah laki-laki normal. Seyakin apa sih mereka terhadap perasaannya sendiri?
Lihatlah Adrien yang masih bertahan meskipun rasanya sulit untuk melangkah ke jenjang hubungan selanjutnya. Kalau belum pasti, kenapa se-protective itu?

Apa kalau aku mulai berhubungan dengan cowok, juga akan seperti Nora?

"Saya suka sama kamu."

Kalimat tembakan itu kembali terngiang. Oh no! Memangnya aku anak ABG yang bisa tersipu malu hanya karena tiba-tiba ada yang nembak? Yang ada dalam pikiranku adalah ... Virgo itu aneh. Dokter teraneh yang pernah kukenal. Ralat. Kami bahkan tidak benar-benar saling mengenal.

Ingat Adrien, Vonne! Laki-laki itu bahkan bisa menggantungkan Nora selama bertahun-tahun. Apalagi seorang Virgo yang baru bertemu dua kali? Fix, cowok itu sedang mempermainkanku. So, don't take it seriously!

Aku menggelengkan kepala, mengusir suara-suara yang tiba-tiba mulai kembali berkelindan di kepala. Tepat saat itu, pintu Bon Appetit kembali terbuka dan seorang pelanggan masuk. Kutinggalkan Adrien yang masih meratapi kegundahan kisah cintanya dengan si dokter spesialis mata.

"Bonjour, selamat datang di Bon Appétit." Aku menyapa seperti yang biasanya dilakukan karyawan lainnya. Pelanggan itu tidak bergerak dan hanya berdiri.

Dahiku mengernyit dan memilih untuk mengabaikannya. Biarlah Edo atau karyawan lain yang melayaninya. Langkah kakiku sudah bergerak ke bagian belakang kafe melalui pintu samping bar, bukan dari meja kassa seperti saat aku baru datang tadi. Ruang chiller lebih dekat dari pintu ini. Kalau tidak salah ingat, stok untuk croissant dan mini danish sudah hampir habis di baki rotan yang di-display.

Tanganku meraih jaket tebal yang biasa dipakai di tempat-tempat dingin bersalju. Sepuluh menit berkutat di ruang chiller, pintu besi terbuka. Suaranya berdecit, disusul dengan suara Edo terdengar memanggil.

"Madame, ada yang cari."

Aku menghela napas. "Edo, berapa kali sih harus bilang? Jangan panggil madame!" Suaraku nyaris tidak keluar karena masih beradaptasi dengan suhu ruang chiller. Sejak baru selesai maintenance untuk re-opening kafe, suhu di gudang adonan jadi sekaligus ruang pembuatan pastry menjadi lebih dingin dari biasanya, padahal sudah di-set seperti biasa.

"Ada yang cari kamu di luar." Aku kesal karena Edo sama sekali tidak mengindahkan kata-kataku. "Cowok," tambahnya lalu pergi begitu saja. Kenapa nada suaranya berbeda? Apa karena kedinginan juga?

Sebentar!

Yang mencariku ... cowok? Aku tidak punya kenalan cowok selain Edo. Apa aku punya pelanggan cowok yah? Kayaknya ibu-ibu semua, deh.

"Ah, nanggung ini kalau ditinggalin." Mataku menatap adonan yang sudah terlanjur kugiling rata di atas meja stainless. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku kembali mengoperasikan dough sheeter. Cowok-yang entah siapa itu-bisa menunggu, tetapi tidak dengan adonan mini danish-ku.

Setelah selesai membuat lima tray dari satu adonan yang kuambil tadi, troli lima tray itu kutarik keluar ruang chiller. Mendorongnya ke oven setinggi satu meter. Ini oven model lama dan termasuk jenis tua. Tanpa perlu memindahkan satu per satu tray, aku cukup mendorong troli dengan lima tray itu ke dalam oven. Tentu saja dengan sarung tangan tebal yang membungkus sampai ke siku.

Kakiku menyangga untuk memberikan kekuatan lebih agar troli benar-benar sudah di tengah-tengah oven dan sesuai formasinya. Dengan hati-hati, kututup pintu oven dan memasang suhu serta waktu pembakaran. Setelah selesai, aku kembali ke bar.

"Siapa yang mau menemuiku?" bisikku pada Edo. Dia sibuk melabeli kemasan baguette yang baru saja dipotong di electric bread slicer. Seraya menyerahkannya pada Opie. Aku membaca papan nama yang terselip di atas saku seragamnya. Opie pun memindai label itu sebelum menyebutkan nominal total belanja pelanggan.

"Meja nomor 13." Singkat saja jawaban Edo.

Aku mengangguk dan berjalan keluar bar. Siluet cowok yang mencariku mulai terlihat. Meja nomor 13 adalah meja yang letaknya paling ujung dan menghadap ke rumah sakit Lovelette. Orang itu membelakangiku, sehingga sulit untuk mengenalinya. Hm, ralat. Meskipun mengarah padaku pun, rasanya masih sulit untuk mengenalinya.

"Permisi."

Orang itu mengenakan kemeja putih dan celana jins berwarna gelap. Aroma parfumnya begitu keras. Berapa banyak parfum yang dipakai orang ini?

"Hai, Yvonne. Sesuai janji saya. saya berkunjung ke kafe kamu."

Suaranya begitu familiar. Kalau dipikir-pikir, dia ini ....

"Jangan bilang kalau kamu udah lupa lagi? Saya Virgo yang tadi pagi nembak kamu. Mulai sekarang, saya pelanggan baru di Bon Appétit. Saya bahkan sudah daftar membership, seperti yang ada di brosur."

Bahuku melemas. Entah karena syok atau mungkin ada alasan lain, detak jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.

***

Author's note
Dough sheeter/roller/laminator : alat memipihkan adonan agar lebih tipis.

Tray: baki kue/adonan yang terbuat dari baja karbon anti lengket dan stainless.

Electric bread slicer : Alat pemotong roti tawar, baguette, dan roti lainnya.

Mini danish: salah satu pastry yang paling laris di Bon Appetit. Bentuknya pun macam-macam. Toppingnya ada raisin, buah anggur, kiwi, selai nanas, selai blueberry, dll. Cocok untuk nemenin ngopi atau ngeteh. Di Bon Appetit, mini danish dijual dengan cara ditimbang.

#Sedikit info tentang danish.

Istilah Danish sebenarnya merujuk pada salah satu jenis pastry yang berasal dari Vienna. Danish pastry kemudian berkembang menjadi produk bakery khas Denmark dan negara-negara Skandinavia lainnya.

Lipatan pada adonan danish pastry menggunakan prinsip yang sama dengan puff pastry. Bedanya bahan pengembang yang digunakan dalam pembuatan danish pastry adalah ragi sehingga hasilnya menjadi lunak, tidak garing seperti puff pastry.

Pada saat fermentasi, suhu pengembangan yang digunakan tidak boleh melebihi 35°C dan kelembapan 85%. Suhu pemanggangan berkisar 190°-210°C. Semakin berat Danish pastry dan makin berat isi, suhu pemanggangan makin rendah.

Oleh karena itu untuk mendapatkan Danish pastry dengan aerasi yang baik dicapai dengan melakukan teknik yang benar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro