Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1: Je t'adore

Hai, hai pembaca yang penuh cinta. Jangan lupa vote, komen, dan masukin cerita ini ke reading list kamu yah. Big Love  -Tane-


J'ai des papilons dans le ventre.

[Ada kupu-kupu dalam perutku]

Virgo

Apa ada yang alergi dengan bau rumah sakit? Aneh sekali. Aku justru menyukainya. Aku menyukai aroma alkohol bercampur karbol di setiap sudut Rs. Lovelette. Tentu saja, aroma anyir—jika tercium—masih belum bisa kutoleransi sepenuhnya. Akan tetapi, tempat kerja bunda selalu menarik.

Orang-orang sakit berwajah pucat dengan aura putus asa melewati pintu ini. Lalu saat keluar, ronanya berbeda. Bisa lebih pucat lagi atau lebih cerah dari matahari terbit yang dilihat dari Gunung Bromo.

Bunda selalu bilang, rumah sakit adalah tempat yang 'suci'. Beliau selalu mengutip kalimat terkenal—entah siapa yang pertama kali melontarkannya.

Dinding rumah sakit lebih banyak mendengar doa-doa paling tulus daripada tempat ibadah.

Aku selalu merasa kalimat itu terlalu melankolis, tetapi juga keren. Mungkin karena terlalu sering bergaul dengan bunda, jadilah dokter sudah terpatri sebagai profesi impian—seperti bunda. Terlebih lagi, pengumuman kelulusan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran siang tadi menambah riang hati ini. Memang inilah jalanku untuk mengabdi pada negeri. Mboi, Beh!

"Maaf. Dokter Ana, belum selesai?" Kepalaku muncul dari balik pintu setelah seorang pasien keluar dari ruang praktek bunda.

"Satu pasien lagi, Dokter Virgo." Bunda menjawab tanpa mengangkat kepalanya. Ujung bibirku terangkat mendengar panggilan itu. Bunda tahu saja cara membuatku sumringah. Dokter Virgo Ramadhan Malik. Ah, keren sekali di telinga.

Saat itulah, seorang wanita muda berseragam melewatiku dan masuk ke dalam. Aku kembali duduk di kursi panjang berwarna putih. Perawat Nina keluar dan menyapaku. "Maaf ya, Virgo. Hari ini banyak sekali pasiennya."

Aku hanya tersenyum manis.

"Aduh, Bu Ana ngidam apa sih, punya anak semanis kamu. Tinggi, ganteng, manis, selamat ya diterima kuliah kedokterannya."

Sepertinya bulan depan aku akan merindukan pujian-pujian ringan ini. Mulai bulan depan, hidupku akan berubah. Tidak ada lagi pujian genit dari perawat Nina. Tidak ada lagi terdengar teriakan si Jangkrik, Teguh yang maksa mengajak main sepak bola. Tidak ada juga wajah Rara, santri manis yang kerap mondar-mandir di depan rumah. Terlebih lagi—yang amat sangat kusyukuri—tidak ada lagi teriakan ebes kodew alias bundaku tersayang di pagi hari untuk membangunkanku berangkat sekolah.

Hidupku akan naik satu tingkat. Jadi anak kuliahan. Kuabaikan kenyataan kalau nanti bisa jadi hari-hariku lebih padat. Setidaknya aku bisa mandiri. Sedikit tidak rela, tapi aku ingin keluar dari zona nyaman ini.

Sudah saatnya untuk berdiri dengan kakiku sendiri. Laki-laki harus punya ambisi, begitu kata ayah. Menggapai ambisiku untuk menjadi dokter spesialis saraf. Membayangkan tubuhku dibalut snelli membuat hidungku kempas-kempis. Pokoknya kuliah dan hidup mandiri dulu.

"Kalau begitu, Bunda boleh dong gak kirim kamu uang selama di Depok. Kan mau hidup mandiri." Bunda sudah melepaskan snelli lima belas menit yang lalu. Kami baru saja masuk mobil kijang merah marun.

"Yah, masa begitu, Bun. Itu pengecualian. Sebagai orang tua yang baik harus menuntaskan tugas mengasuh anak sampai sukses."

"Lho, kamu kurang diasuh apa lagi? Nih liat badan kamu." Bunda menepuk dan memijit lenganku yang menurutku masih jauh dari kekar dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya memegang setir.

Kijang memutar balik tak jauh dari rumah sakit dan kemudian parkir di sebuah toko roti. Nuansa tempo dulu tergambarkan dalam otakku saat melihat bangunan toko itu. Pencahayaan yang sedikit remang-remang dengan banyaknya pernak-pernik tidak penting memberikan kesimpulan bahwa ini bukanlah tempat tongkrongan yang asik.

Tidak ada video game. Tidak bisa makan dengan kaki terangkat seperti yang kulakukan bersama Teguh di warung Bli Joe. Bli Jo, tukang tato dari Bali yang beralih profesi menjadi wirausaha warteg setelah menikahi gadis Tegal. Warungnya ada dua sebelahan. Yang satu rental games, yang jaga Bli Joe. Yang satu lagi warteg, yang jaga istrinya.

"Kalau kamu masih merasa kurang diasuh, kurang ditelatenin ngasuhnya sama Bunda, turun. Bunda tambahin asupanmu." Mesin mobil benar-benar berhenti.

"Bunda aja deh, aku di sini aja. Aku gak doyan makan beginian." Mending habisin gorengan buatan istrinya Bli Joe. Krenyes enak, melengkapi nasi dan lauk sambal. Kalau lagi bandel ya melengkapi mie instan. Makanan yang dilarang bunda. Pokoknya toko roti begini jauh dari seleraku.

Aku sering mampir ke rumah sakit di seberang toko roti ini untuk mengunjungi bunda sekadar minta tumpangan sepulang sekolah—jalan pulang searah dari tempatku menimba ilmu. Karena sering mampir ke tempat bunda kerja rodi itulah toko roti ini pun kerap tertangkap mata.

Namanya Bon Appétit, toko roti Prancis. Ini pertama kalinya tungkaiku mampir. Sudah kubilang, anak ngalam sepertiku dan toko roti? Bukan perpaduan yang cocok.

"Ayo." Mata bunda membidik, suaranya diteken macam neken surat resmi.

Dengan malas, aku mengikuti bunda turun. Kudahului bunda untuk mendorong pintu kayu dengan jendela kaca diatasnya. Ada papan gantung bertuliskan "Ouvrir" dan di bawah tulisan itu ada terjemahannya, "Buka."

Aroma manis roti, kue-kue dan suara alunan lagu berbahasa Prancis nan elegan terdengar. Seorang pria dengan lengan penuh tato, bertubuh lebih tinggi dariku menghalangi jalan masuk. Punggung pria itu nendes kombet alias bersandar di tembok, tapi temboknya kira-kira hanya sepinggangnya. Di atas tembok itu sudah ada mesin kasir. Mirip kitchen set bunda di dapur. Bedanya tidak ada mesin kasirnya tapi diganti dengan kompor gas.

Nah, tungkai panjangnya itulah yang memenuhi jalan masuk. Sebelum sempat menegur, suara teguran lain sudah mendahului.

"Om, bisa geser? Om menghalangi jalan."

Aku menoleh ke sisi kanan. Di belakang mesin kassa, berdiri gadis berambut hitam kemerahan. Aku tidak tahu, merah dicat atau alami. Mungkin saja alami karena wajah bule itu terlihat pas dengan warna rambutnya. Jantungku berhenti berdegup.

Matanya tertunduk menatap sesuatu di meja. Bulu mata yang lentik aktif mengikuti gerakan bola matanya. Mataku beralih ke bibir mungil merah muda dan hidung mancung yang menggantung sempurna di tengah karya jelita sang Illahi. Ada tahi lalat di tulang pipi. Tidak besar seperti tompel, kecil saja. Semua keindahan itu membuatku merasakan tabuhan drum stick. Perut pun terasa tergelitik.

"Virgo."

Aku terkesiap dan menoleh. Bunda masih di luar. Ya ampun, aku buka pintu 'kan buat bunda. Segera kutarik gagang pintu tepat di belakangku dan menahannya agar tak tertutup lagi.

"Yee, katanya gak mau masuk tapi main nyelonong aja."

Hanya ringisan yang kuberikan untuk menanggapi ejekan bunda. Beliau berjalan melewati lorong kecil dan pendek di depan mesin kassa tadi dan mulai memindai satu per satu etalase toko. Begitu juga dengan mataku meskipun beda objek.

Di setiap dinding toko ini, terdapat mural yang indah. Mungkin ini mural tempat-tempat terkenal di negara Prancis. Hanya lukisan menara Eiffel yang familiar bagiku. Di puncak menaranya ada tulisan berbahasa Prancis lengkap dengan artinya.

J'ai des papilons dans le ventre.

[Ada kupu-kupu dalam perutku]

Tulisan di bawahnya tertutupi oleh bidadari berambut merah ini. Di situlah kini mataku berlabuh. Gadis itu berjalan ke arahku dan sekarang sudah berdiri tepat di sini kiri. Sulit sekali untuk bernapas.

Dia SMA mana yah? Alamak, kenapa baru sekarang aku tahu ada gadis sejelita ini di Malang? Malang benarlah nasibku jatuh hati justru saat harus pergi dari kota kecil ini demi jadi dokter kebanggaan keluarga.

Pundakku melemah. "Bunda, roti-roti di sini bukan seleraku." Kuputuskan untuk membunuh ketertarikan yang hendak beranak pinak jadi naksir, lalu menjadi cinta yang ujungnya hanya berbuah rindu di perantauan.

***

Note Author

Mbois, Beh: Keren, Bro
Snelli: Jas putih dokter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro