Love Or Whatnot - LOW - 4
#QOTD lebih suka gunung atau pantai?
🌟
Mereka berangkat dengan penerbangan pertama karena acara di mulai sedari pagi. Jadi kini pada pukul delapan pagi mereka sudah tiba di hotel setelah sebelumnya sarapan bersama. Ariel berdiri dengan kaku di dalam kamar itu karena ia baru mengetahui bahwa mereka sekamar.
Bodoh, tentu saja sekamar. Kami suami istri, rutuknya. Hanya saja, ia sempat berpikir kalau Asa akan memesankan kamar yang berbeda untuk mereka. Mana mungkin? Dengan begitu banyak keluarga dari pihaknya yang datang, itu sama saja dengan memancing kecurigaan, sentak suara dalam kepalanya dengan nyaring. Benar juga, kesahnya. Ariel mau tidak mau harus bertahan dengan kondisi ini untuk sementara waktu. Toh di malam hari ia bisa bekerja untuk mengalihkan perhatiannya dari Asa. Ia bisa bekerja di sisi kolam renang atau di restoran hotel sampai malam dan kembali hanya untuk tidur.
Ariel berjalan ke arah sofa dan duduk di sana setelah meletakkan tas yang berisi tablet yang selalu dibawanya jika tidak mungkin membawa peralatan gambar yang lain. Deadline-nya masih mengejar dan kepalanya masih buntu. Mengemas ide orang lain menjadi gambar, dengan segmen anak-anak, tidak mudah sebenarnya. Anak-anak belum memahami hal rumit, sehingga ia harus mengemasnya dengan sederhana, tapi harus yakin kalau pesan dari buku itu sampai ke pembaca cilik yang mayoritas masih melihat gambar saja. Dan itu saja cukup membuatnya pusing tujuh keliling seperti sekarang. Ia harus melihat layout itu satu per satu lagi nanti dan mulai menggambar ulang di layout yang tidak pas.
Sementara kepala Ariel disibukkan dengan pekerjaannya, Asa sudah merebahkan diri di atas ranjang. Ariel melihat jam di pergelangan tangan kirinya, pukul delapan lewat, pemberkatan di pukul sembilan tiga puluh. Ariel memiliki waktu banyak untuk bersiap-siap, tapi dibanding rebahan, ia memilih untuk berjalan ke kamar mandi, menyegarkan dirinya dengan membawa peralatan mandi serta baju gantinya.
Tidak perlu waktu lama bagi Ariel untuk bersiap-siap. Ia sudah selesai tiga puluh menit dengan tampilan menawan meskipun sapuan makeup sederhana. Sackdress berwarna putih yang merupakan dress code pemberkatan membuatnya bersemangat. Dulu ia sering membayangkan akan menikah di Bali. Di hadiri oleh orang-orang terdekatnya dan menikah dengan orang yang ia cintai. Dibanding pernikahan megah yang mengundang banyak orang yang tidak dikenalnya seperti sebulan yang lalu, Ariel lebih menginginkan pernikahan yang intim di mana ia bisa berbincang dengan tamu yang merupakan orang-orang terdekatnya. Tidak lelah memasang senyum palsu atau pun berdiri di panggung seperti pajangan boneka cantik yang tidak berhenti menebarkan kebahagiaan semu.
Mungkin di pernikahan selanjutnya ia bisa melakukannya. Ya, nanti. Jika ada pria yang mau dengannya yang memiliki flaws yang sangat banyak. ia kembali meringis. Sudah pukul sembilan kurang sepuluh tetapi Asa masih saja tidur.
Dia pasti lelah. Ariel sampai lebih dulu di apartemen dan langsung memasuki kamar, membereskan koper kecil yang akan dibawanya. Dari AC yang tidak menyala di ruang tengah, ia tahu kalau Asa belum pulang. Telinganya terbuka dan menunggu pintu depan berbunyi, menandakan orang masuk lalu menyalakan pendingin ruangan. Napas lega keluar dari bibirnya dan setelah itu ia dapat memejamkan mata.
"Sa ... Asa sudah jam sembilan kurang. Acaranya jam sembilan tiga puluh," ucapnya pelan sambil mengguncang tubuh Asa hingga pria itu membuka matanya lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi tanpa menghiraukannya.
Ariel kembali duduk di sofa, menunggu pria itu selesai mandi. Ia tidak tahu apa ia harus ke venue sendirian saja atau bersamanya. Perjanjian mereka adalah mereka harus terlihat seperti pasangan normal. Namun, masalahnya adalah, tidak ada pasangan normal yang menguarkan kebencian seperti di hubungan mereka.
Tidak lama pria itu keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang, menampilkan tubuhnya yang berotot dan rambut yang basah menempel di sisi wajah. Wajah Ariel merah seketika melihat pemandangan itu, karena ini pertama kalinya ia melihat Asa hampir telanjang. "Ba-bajumu ada di dalam lemari. Aku permisi keluar dulu," ucapnya dan langsung melesat keluar kamar tanpa melihat ke arah Ata.
Untuk mengalihkan pikiran dan perhatiannya Ariel memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu ke arah venue yang berada di lingkungan hotel.
Tempat itu di sulap menjadi berwarna putih dengan sentuhan minimalis.
Cukup lama ia berdiri di sana, memandangi tempat yang dulu ia idam-idamkan. Membayangkan bagaimana bahagianya dia. Tetapi dalam angannya pria itu tidak ada di sana lagi. Ariel terlalu asyik dengan lamunannya sehingga tidak sadar bahwa ada sesosok wanita yang sedari tadi memperhatikannya sedang berjalan ke arahnya.
"Ari, kok sendiri? Asa mana?"
"Ha? Oh, Tante ... Asa masih di kamar, Tante."
"Kok tante, sih? Mama dong. Kamu kan sudah nikah sama anak mama," ucap Rena, ibu mertuanya, sambil merengut. Wajahnya hasil perawatan itu sama sekali tidak terlihat tua. Memang ada kerut-kerut halus, tapi itu masih wajar kan di umur yang sudah kepala lima?
Sementara, Tante, aku mengambil tempat yang bukan tempatku. Dan menyamankan diri dengan ini merupakan ide buruk, balas Ariel dalam hati. Namun, bibirnya yang diulas warna nude itu tersenyum tanpa memberikan jawaban. Bibirnya terlalu kelu bahkan untuk mengiakan sekedar berbasa-basi.
"Yang lainnya mana, ya? Kok masih sepi, sih sekarang?" Rena menariknya untuk duduk di kursi berwarna putih yang berbaris rapi. Di depan mereka ada banyak rangkaian bunga yang mengelilingi satu undakan kecil dari kayu. Tempat pengantin akan mengucapkan janji sehidup semati dan ditonton oleh undangan yang hadir.
"Mungkin sebentar lagi. Kan banyak yang baru datang juga, Ma." Ariel merasakan lidahnya pahit ketika memanggil Rena sebagai Ma.
"Papa dan mama kamu juga nggak bisa datang, ya?"
Ariel mengangguk, "Mereka lagi di luar. Papa harus mengunjungi rekan kerjanya dan Mama yang nggak pernah bisa tidur kalau nggak ada Papa wajib ikut." Mereka berdua terkekeh mendengar jawabannya. Ibunya memang tidak pernah bisa lepas dari papanya. Tidak ada kamus malu untuk menunjukkan afeksi di antara mereka berdua. Mereka akan senang mengumbarnya di mana saja dan kapan saja. Hal yang membuat Ariel iri. Ia juga mau memiliki hubungan seperti itu. "Mereka titip salam dan sudah kirim hadiah untuk pengantin," sambung Ariel dengan senyuman.
Tawa tiba-tiba saja hilang dari bibir Raya, wajahnya kini menampilkan raut khawatir. "Kamu dan Asa baik-baik saja, kan? Kamu enggak pernah datang untuk makan malam bareng di akhir pekan."
Keluarga Asa memang selalu mengadakan makan malam bersama di hari sabtu dan sepanjang pernikahan mereka yang pendek ini, mereka tidak pernah datang ke sana. Tapi, tunggu sebentar, tadi mertuanya bilang kamu? Itu berarti aku yang enggak pernah ikut kan? Itu berarti Asa selalu datang kan? Dadanya seperti ditancap belati mendengar hal ini.
17/6/22
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.Thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro