Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Love Or Whatnot - LOW - 29



Jangan lupa vote, komen, share, dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟



Hari ke-343

"Lo bilang takut gue clingy. Tapi kayaknya yang ada tendensi ke arah sana itu lo, deh." Ariel menyindir Asa yang terus memeluknya setiap ada kesempatan semenjak beberapa hari yang lalu. Bukannya ia menolak pelukan itu, tapi kalau terus-terusan bisa-bisa jantungnya meledak karena debarannya yang seperti tabuhan genderang perang. "Kenapa juga lo ke sini, sih? Punya apartemen sendiri juga."

"Sepi. Gue mau numpang tidur di sini aja." Asa menempelkan bibir pada ceruk leher Ariel. Menghirup aroma yang keluar dari kulit perempuan itu sementara kedua tangannya sudah menyusup ke balik kaos dan mengelus perut Ariel yang tengah memindahkan nasi goreng buatannya ke piring.

"Minggir sebentar, gue mau bawa ke karpet."

Asa mengambil piring yang ada di kedua tangan Ariel. Bukannya dibawa ke karpet seperti yang diinginkan oleh perempuan itu, ia justru kembali meletakkannya di atas konter dapur dan membuat Ariel melihatnya bingung.

"Lo tahu nggak kalau ada banyak hal yang bisa kita coba tanpa penetrasi?" tanya Asa tiba-tiba dan Ariel melongo.

**

Hari ke-344

"Asa..." desahan itu keluar tanpa sanggup ditahan oleh Ariel. Ia sudah lupa dengan rasa malu dan tempat mereka berdiri sekarang ketika tangan pria itu bermain dengan puncak dadanya.

"That's it. Moan my name."

Yang mengingatkan mereka untuk kembali dari godaan hasrat adalah aroma yang tiba-tiba tercium dan membuat Ariel seketika tersadar apa yang tengah ia lakukan sebelum Asa datang dan mengacaukan konsentrasinya.

"Ayamnya gosong, Sa! Lo yang makan pokoknya!"

**

Hari ke-350

Tidak ada binar usil di mata Asa ketika ia membuka pintu apartemennya. Bibir pria itu pun terkatup rapat dan berjalan masuk ke apartemen miliknya tanpa kata-kata. Ariel menutup pintu dan mengikuti pria itu yang berdiri di atas karpet dan kini tasnya sudah tergeletak begitu saja di lantai. Udara di sekitar pria itu terasa jauh lebih berat hingga ia kesusahan untuk bernapas saat berjalan mendekati Asa.

"Kenapa, Sa?" tanyanya pelan.

"You lied to me," desis Asa di antara giginya yang terkatup. Rahang pria itu mengetat sehingga membuat Ariel mundur satu langkah. Asa tampak mengerikan di matanya sekarang.

"Bo-bohong apa?"

Asa mendengkus. "You still want to play it this way? Fine," katanya lalu mengembuskan napas lagi. Kedua tangan pria itu terlipat di dada dengan mata yang menghunjam pada Ariel. "Gue tadi ketemu nyokap lo di jam makan siang. Nyokap lo bilang kalau lo dari awal setuju sama perjodohan kita. Nggak ada penolakan sama sekali."

Ariel diam karena kepalanya tidak dapat memikirkan kata-kata untuk pembelaan diri. Tapi toh, apa yang pria itu katakan benar. Ia tidak memiliki ruang untuk mendebat. Belum lagi, seluruh ototnya lemas seketika, tapi kakinya tidak mau lunglai. Keduanya terpasak di lantai dan kedua mata yang tidak dapat berpaling dari kemarahan Asa.

"Dan gue di sini berpikir kalau lo sama terpaksanya kayak gue. Apa yang bikin lo terima pernikahan ini? Lo punya perasaan sama gue?"

Setiap langkah yang diambil oleh Asa membuat Ariel mundur hingga punggungnya menabrak tembok cukup kencang. Memaksa seluruh oksigen keluar dari paru-parunya yang lupa cara bernapas. Pria itu mendominasi ruangan ini dengan keberadaannya dan setiap kata-kata yang diucapkan menghunjam ke dadanya. Memberikan tikaman-tikaman mematikan.

Asa memojokkan Ariel hingga tubuh perempuan itu berada di antara tembok dan dirinya. Meraih dagu Ariel agar mata mereka dapat bertemu.

Ariel mencoba menghindar tetapi Asa mencengkeram dagunya kuat. Pria itu menatap matanya namun seakan menilik sukmanya. Membuatnya ketakutan akan hal-hal yang dapat pria itu temukan di sana. Namun, seakan menemukan apa yang dicari, Asa justru memberikan senyum miring dan dengusan kencang ketika melepaskan dagu Ariel.

"Oh, nyokap lo juga bilang soal uang yang bokap lo janjikan uang. Seberapa banyak uang yang sudah bokap lo kasih? Cukup untuk pindah ke gedung perkantoran dan keluar dari apartemen kecil ini?" cecar Asa. "Lo memang munafik. Berpura-pura mendukung hubungan gue dan Gita, padahal lo dalang dibalik ini semua. Apa yang lo harap dari gue dan Gita yang berpisah? Gue tetap sama lo? Jangan mimpi! Kita tetap bercerai!"

Asa berjalan mundur sementara Ariel memakukan tatapannya pada lantai. Hanya berani menatap ujung kaki pria itu yang berjalan menjauhinya.

"Gue curhat sama lo, Ri. Gue kasih tunjuk perasaan gue waktu patah hati. Ke orang yang bikin gue patah hati."

Nada pria itu jauh lebih tenang, tetapi setiap katanya tetap menusuk. Kalimat itu seakan mencengkeram tenggorokan Ariel dengan kencang hingga ia lupa bernapas dan untuk menahan tangisan yang sudah menggenang di pelupuk.

"Lo manusia terburuk yang pernah gue temuin."

Dan dengan itu Asa pergi meninggalkan apartemennya bersamaan dengan Ariel yang menangis tanpa suara.

Oh, sungguh. Betapa bahagia dapat dengan mudah digantikan dengan kesedihan secepat jentikan jari.

Hari ke-360

Ariel bekerja tanpa henti. Kopi adalah sobat karib yang ikut mengalir bersama darahnya dan menjaga matanya tetap terbuka. Ia takut tertidur dan kembali mendapatkan mimpi tentang bagaimana mata Asa menatapnya. Kebencian pria itu membuatnya lunglai dan seluruh tubuhnya dingin. Ketika terbangun ia hanya akan menangis hingga matanya bengkak dan harus dikompres agar tidak mengundang tanya Fanny.

Mimpi seharusnya menjadi jalan keluar sementara dari permasalahannya, tetapi siapa sangka kalau pekerjaan yang justru menyelamatkannya dari tagisan berjam-jam? Sebagai gantinya, ia harus minum bergelas-gelas kopi dan membiarkan matanya terpejam setelah tubuhnya memaksa untuk beristirahat. Hanya saat itu ia tidak bermimpi mengenai Asa.

Sisi baiknya adalah pekerjaannya yang cepat selesai. Tetapi kesehatannya yang ambruk dan terpaksa dirawat karena tifus. Fanny meringis saat ia bertanya siapa yang dikabari oleh asistennya itu ketika ia pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit.

"Aku hubungin suami Mbak, tapi nggak ada jawaban. Aku hubungi orang tua Mbak, Mbak Raya dan Mas Jethro juga."

Terkutuklah ponselnya yang tidak pernah dikunci sehingga memudahkan asistennya itu untuk menghubungi orang-orang yang dianggap penting. Setelah ini pasti ia akan mendengar ratusan pertanyaan dan Raya serta orangtuanya yang datang dan heran kenapa suaminya tidak ada di sini saat istrinya sakit.

Dan pertanyaan itu benar-benar datang setelah histeria mamanya terlewati dan Fanny pulang.

"Di mana suami kamu?" tanya papanya.

"Ini kan masih jam kerja. Di kantor, 'kan?" jawabnya berusaha tenang di bawah tatapan menyelidik pria dengan rambut putih mengisi kepalanya.

"Ariel Mara," panggil ayahnya dan ia tahu kalau ia dalam masalah. Nama panjangnya yang keluar dari mulut papa atau mamanya adalah suatu kode. Ariel menenggak ludahnya dengan kasar, menunggu lanjutan dari kalimat yang akan dikatakan oleh papanya. "Suami kamu sudah resign dan pengacaranya mengirimkan gugatan cerai. Dan rupanya kamu sudah membubuhkan tanda tangan di atas surat-suratnya sehingga kamu hanya tinggal menunjuk pengacara untuk menyelesaikan pernikahan kalian."

Lalu tangisan ibunya terdengar menulikan telinganya sementara Ariel hanya dapat mengedipkan mata dan mengangguk. "Nanti aku tunjuk pengacaranya," ucapnya pelan. "Aku sekarang mau tidur dan ini sudah malam. Kalian pulang saja. Raya dan Jethro sebentar lagi datang."

Ariel tidak bermaksud mengusir, tapi ia memang lebih ingin sendiri. Ia tahu kalau saat ini akan datang, tetapi lagi-lagi ia tidak menduga kalau hatinya remuk redam seperti sekarang.

"Enggak usah. Papa yang akan urus pengacaranya. Kmu istirahat aja dan jangan kebanyakan kerja." Ayahnya mengelus puncak kepala Ariel dan mendaratkan kecupan di sana. Ia sedikit tidak menduga kalau papanya akan dengan cepat menyetujui semua ini dan tidak banyak bertanya-tanya atau memberikan ceramah. Pria tua itu hanya menatapnya lama sebelum meninggalkan ruangannya dan ia diserbu oleh pelukan mamanya yang berurai air mata.

"Ma, cerai bukan akhir dari dunia." Tapi patah hatinya mungkin, lanjutnya dalam hati.

Setelah berbagai usaha untuk menenangkan mamanya, perempuan yang selalu tampil elegan itu akhirnya keluar dari ruangannya dan membiarkan Ariel termenung sendiri.

9/5/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro