Love Or Whatnot - LOW - 2
Ariel membuka pintu apartemennya dan terkejut ketika menyadari sesosok pria yang biasanya akan pulang larut malam atau justru tidak pulang berada di sini pada pukul sembilan malam.
Asa Ephraim, nama pria itu, duduk di sofa apartemen kecil yang dibeli sebelum mereka menikah. Apartemen itu memiliki dua kamar. Kamar terbesar yang merupakan kamar utama ditempati oleh Asa sedangkan kamar berukuran kecil ditempati olehnya. Bukannya ia keberatan juga menempati kamar lebih kecil, toh barang-barangnya lebih banyak di apartemen miliknya sendiri yang merangkap sebagai studio. Ariel hanya membawa beberapa barang yang dibutuhkan untuk tidur di malam hari hingga keesokan paginya. Waktu yang dihabiskannya di sini tidak pernah lebih dari itu. Apartemen ini membuatnya sesak dan tidak betah.
"Oh, hai. Lo sudah pulang ternyata," ucapnya dengan nada seceria mungkin diiringi dengan senyum cerahnya. "Apa lo sudah makan? Mau aku buatkan sesuatu?" tanyanya berbasa-basi. Tahu kalau Asa tidak makan di sini kecuali ada adik-adiknya yang datang berkunjung. Namun, Ariel tidak mengelak ada harapan yang muncul di setiap basa-basinya.
Jantungnya mulai berulah ketika matanya meneliti penampilan pria itu. Rambutnya yang dipotong undercut dan di bagian atasnya dibiarkan memajang. Kemeja kerjanya tidak lagi rapi, dua kancing teratas terbuka dan kedua lengan kemejanya sudah tertarik ke atas. Tidak ada lipatan rapi di keduanya. Rahangnya yang tajam dan tegas itu pun kini sudah dipenuhi warna abu-abu bercampur ungu, tanda sebentar lagi akan ditumbuhi bulu-bulu yang membuat Ariel gatal ingin tahu rasanya seperti apa jika beradu dengan kulitnya. Oh, you stupid heart.
Asa tidak mengacuhkannya, pria itu hanya berucap satu kata. "Duduk."
Kali ini jantungnya tidak lagi mengirimkan kepakan kupu-kupu ke perut, melainkan rasa mulas yang tiba-tiba saja datang. Hanya ada sofa untuk dua orang dan dua sofa puff agar tidak memenuhi ruangan dan Ariel yang tahu tempatnya, memiih untuk duduk di sofa puff terjauh, sebelah kanan sofa yang menghadap ke TV.
"Apa gw melakukan kesalahan lagi?" tanyanya dengan canda meskipun kecemasan merangkak naik ke seluruh tubuhnya. Membuat kedua tangannya basah, padahal ruangan ini memiliki pendingin ruangan yang selalu disetel sedingin mungkin sesuai selera Asa.
"Apa lo tidak merasa bahwa keberadaanmu di sini merupakan kesalahan?" tanya Asa dengan santai dan Ariel hanya dapat tersenyum tanpa bisa menjawab. Asa kemudian melempar sesuatu ke atas meja. "Sabtu ini pernikahan sepupu gue. Kita harus datang bersama.
Ariel mengambil undangan berwarna emas itu kemudian membaca lokasinya langsung. Bali. Tempat favoritnya. Senyumnya mengembang membayangkan banyak hal menyenangkan yang bisa ia lakukan nanti.
"Jangan besar kepala. Gue ngajak karena perintah Mama."
Ariel mengabaikan kalimat singkat berbalut nada dingin yang sebulan terakhir bergaung di telinganya. Sebenarnya tanpa perlu dijelaskan pun Ariel tahu kalau Asa tidak mungkin akan mengajaknya jika bukan karena perintah mertuanya. "Enggak, gue hanya memikirkan kegiatan nanti di sana," ucapnya sambil tersenyum lebar, karena sejujurnya memang hanya itu yang terlintas di kepalanya begitu melihat kata Bali. Tahu kalau ini bukanlah ajakan bulan madu yang tidak pernah mereka lakukan dengan alasan yang serupa setiap ditanya mertuanya; Asa terlalu sibuk bekerja. "Apa sudah selesai? Gue mau tidur."
Asa hanya melengos dan melangkah memasuki kamarnya diikuti dengan Ariel yang juga memasuki kamarnya. Setelah memastikan ia aman di kamarnya, Ariel membuang napas pelan. Kamar kecilnya hanya berisikan single bed kemudian built-in closet kecil yang menolong agar kamar itu tidak terlihat sumpek dan terlalu penuh. Selain itu tidak ada apa-apa di sana.
Ariel tidak ingin ada benda-benda yang mengasosiasikan dirinya di tempat ini, selain apa yang ada di dalam lemari. Ini bukan rumahnya dan ia harus mengingatkan dirinya setiap hari. Melapalkannya seperti doa di tiap kesempatan ketika kakinya menginjak apartemen ini.
"Sabtu ya, berarti lusa gue akan ke Bali," katanya pada diri sendiri, lalu mengempaskan tubuh ke ranjang kecilnya. Sensasi dingin dari sepreinya membuat Ariel melenguh nikmat, terutama ketika dapat mengistirahatkan tubuhnya setelah seharian ini lelah karena emosinya.
Ariel kemudian menutup matanya.
Mungkin gue harus membeli baju pesta dan perlengkapannya.
Dia kemudian membuka aplikasi mobile banking di ponselnya kemudian ia mendesah. Uangnya hanya tinggal sedikit.
Gue bisa sewa saja. Atau meminjam gaun Raya. Besok dia akan menghubunginya. Dan pemikiran itu menjadi pengantar tidurnya.
**
"Lo cantik banget!" Raya memekik ketika melihat Ariel menggunakan salah satu gaun milik Raya yang dibawa ke butik milik sahabatnya. Greek goddess dress keluaran Alexander McQueen berwarna mint itu melekat dengan pas di tubuhnya. Terlebih rambut ikal berwarna hitam Ariel yang menjuntai dengan indah di punggungnya menambah kecantikan perempuan itu.
"Apa nggak terlalu terbuka?" ucap Ariel sembari menutupi bagian dadanya. Kerahnya yang cukup dalam memang bukan sesuatu yang pasti akan dipilih oleh Ariel, tetapi semuanya tidak separah gaun-gaun lain yang disodorkan oleh Raya. Ariel tidak dapat menyembunyikan tatapan horornya ketika melihat tumpukan gaun di sofa sebelah kiri ruangan Raya. Entah potongan dadanya super rendah, entah gaun itu menempel ketat seperti kulit kedua di tubuhnya, atau belahan roknya yang hingga ke paha. Ariel sempat mengumpat dalam hati, lupa kalau selera berpakaiannya dan Raya bagai surga dan neraka.
"Astaga," Raya memutar bola matanya. Ini adalah kalimat yang sama yang dilontarkan oleh Ariel selama dua jam terakhir. "Bahkan belahan dada lo nggak terlihat! Tertutup sempurna hanya terlihat sedikit saja di bagai atas dan lengan. Itu juga bisa lo tutupi dengan rambut." Raya mencoba meyakinkan Ariel untuk ke sekian kali. Membagi dua rambut lebat Ariel dan menyampirkannya ke bahu kiri dan kanan.
Ariel menggigit pelan bibir yang disapu lipstick berwarna nude itu. "Gue beneran boleh pinjam ini?."
"Hadiah dari gue," jawab Raya mantap.
"Ini mahal, Ya! Gue nggak bisa terima hadiah semahal ini."
Raya mendengkus kuat. "Please, pakaian lo di rumah orangtua lo banyak yang sejenis ini. Malah banyak yang lebih mahal." Raya hanya mengedikkan bahunya kemudian berjalan ke bagian sepatu. Sahabatnya itu terlihat serius sesaat lalu mengambil sepasang wedges berwarna putih dan juga clutch dengan warna senada.
Ariel berdecak, memang benar, tetapi semenjak Ariel memutuskan tidak mau campur tangan terhadap usaha keluarganya, ayahnya otomatis memutus aliran dana dan membuatnya hanya dapat mengandalkan usaha yang dimilikinya sekarang. Terlebih, ia sudah menikah, mana enak meminta uang ke orangtua lagi? Masih ada wajah Asa yang harus dipikirkannya jika melakukan hal itu.
"Ini, pakai sepatu dan juga clutch ini."
"Ya, gue nggak bisa. Barang-barang ini sangat mahal."
"Yes, you can and you will take them all."
"Ya, gue-"
"Ambil Ari atau gue bakalan kirim lebih banyak barang lagi."
Raya tidak pernah main-main dengan ancamannya. Ariel dulu pernah menolak pemberiannya sekali dan perempuan itu mengirimkan jauh lebih banyak dari yang ditolak.
"Sorry, gue sering ngerepotin," ujarnya tidak enak hati.
"Tahu nggak kalau lo bilang terima kasih, itu lebih enak buat didengar?" tanya Raya sambil mengedipkan matanya.
"Terima kasih, Ya."
15/4/22
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro