Love Or Whatnot - LOW - 18
Jangan lupa vote, komen, share, dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Ariel kembali ke ruang tengah dan melihat Asa yang duduk dengan kedua bahu turun. Ariel duduk di pouf dengan bantalan sofa berada di atas pangkuan. "Kenapa muka lo suntuk gitu?"
"Gita putus sama gue," katanya pelan. Matanya masih tertuju ke meja. Jika bukan karena ruangan yang lengang tanpa suara, Ariel yakin tidak akan menangkap kalimat pria itu barusan.
Ariel melongo. Berita ini mengejutkannya karena ia sudah berupaya mengikhlaskan Asa dengan Gita. Tahu kan mengikhlaskan hal yang tidak kalian miliki, atau pun memilikinya secara semu itu merupakan hal yang sukar. Jika ia tidak melakukannya, maka perasaan cemburu yang menggerogoti dirinya akan membuat wajahnya buruk rupa. Ariel tidak ingin memiliki wajah yang seburuk hatinya yang ingin memiliki pasangan orang lain. Ia sudah belajar: betapa pun ia mencintai seseorang, bukan berarti harus dimiliki. And she learned it the hard way.
"Kenapa?"
"Dia capek dengan hubungan yang sembunyi-sembunyi. Dia capek merasa jadi pihak ketiga di pernikahan ini."
Ariel menelan ludah. Perkataan itu menusuk tepat di hatinya. Kalau ada yang mau dikatakan sebagai pihak ketiga, itu adalah dirinya sendiri. Ia menggunakan cara licik untuk masuk di antara hubungan Gita dan Asa lalu menempatkan diri di sana tanpa tahu malu. Memainkan peran sebagai orang baik, padahal yang diinginkannya dulu adalah memiliki Asa untuk dirinya sendiri, meskipun memakai cara kotor dan memaksa pria itu untuk tidak memiliki pilihan lain.
"Kan tiga bulan lagi selesai, Sa." Ariel memaksakan diri mengingat waktu yang mereka miliki sebentar alagi akan berakhir. Rasa pahit di air liurnya membuat Ariel susah untuk menelan. "Dia nggak mau nunggu sebentar lagi? Tiga bulan kan nggak berasa, tahu-tahu selesai." Ariel berusaha menenangkan pria itu, padahal sesudah mengatakannya, ia sendiri yang menjadi panik. Kesedihan seperti meningkat beban berat di kaki dan menenggelamkannya. Tidak peduli ia meronta sekuat apa pun, tidak ada yang berhasil menyelamatkannya.
Asa menggeleng. "Dia bilang mau sekuat apa pun kami berusaha, orang tua gue nggak bakalan terima keberadaan dia. Dia nggak bisa bayangin hidup kayak gitu selamanya." Asa berkata lesu. Mata Gita yang biasanya cemerlang tampak berkabut dengan emosi yang tidak dapat diurainya satu persatu. Tubuhnya yang mungil seperti membawa beban yang terlalu berat untuk ditanggung dan Asa tahu ia yang menyebabkan itu. Beranggapan kalau cinta mereka sangat kuat hingga dapat melewati itu semua bersama-sama. Setiap kalimat yang keluar setelah itu menari-nari di kepalanya seperti tarian kesedihan yang tidak kunjung usai.
"Aku nggak bisa hidup kayak gitu. When I should watch my back everyday, knowing what your family can do. Hidup kita ... maksudku, hidupku nggak akan pernah tenang. Memangnya, kamu akan mencari kerja di mana setelah ini semua selesai? Start up yang sedang kamu bangun? Sudah berapa investor yang kamu dapatkan?" cecar Gita. Air mata berurai di pipinya. "Aku sudah pasti akan dikeluarkan setelah kalian bercerai. Mereka akan dengan senang hati memberikan pesangon dibandingkan membiarkan aku bekerja di sana. Kalau Tuhan memberikan kita anak nanti, kita nggak tahu apakah kita bisa memberikan yang terbaik buat dia. And if you thing child will solve every problem that coming our way, oh, you've got another thing coming."
Gita menggigit bibir untuk menahan tangisnya yang akan meledak. Matanya tidak lagi dapat melihat dengan jelas akibat air yang menggenang di sana. Semuanya buram, seperti ceritanya dengan Asa yang ia tahu tidak akan memiliki tempat di masa depan. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, tapi gagal. Suara yang dikeluarkannya bergetar dengan kesedihan dan emosi yang menumpuk dari hari ke hari. "Kamu hidupnya nggak berkekurangan, Sa. Kamu bisa mengagungkan cinta sebesar yang kamu mau. Tapi aku hidup di mana cinta aja nggak cukup untuk bertahan hidup atau berada di dalam hubungan."
Asa tercenung. Start up yang sedang berusaha dibangunnya memang memiliki kendala. Investor dalam negeri seperti ngeri begitu melihatnya dan langsung menutup pintu begitu saja. Asa tidak bodoh. Ia tahu itu pasti ulah ayahnya, karena itu ia sedang berusaha mencari venture capital dari luar negeri, di mana campur tangan ayahnya akan sangat minim. Tapi itu pun bukan hal yang mudah biar pun ide yang digodoknya sudah sangat matang dan dana yang disiapkannya pun tidak sedikit.
Gita yang bekerja di perusahaan keluarga Ariel, tempat mereka pertama kali bertemu, sudah pasti tidak akan luput dari kekacauan yang ayahnya akan buat. Jika ia saja akan memiliki masalah, apalagi orang lain yang dianggap mengganggu?
Bukannya ia tidak merasakan kesedihan Gita selama ini. Ia tahu kesedihan yang selalu datang setiap ia mengatakan akan datang di acara makan malam keluarganya bersama Ariel. Mau ia menjelaskan bagaimana caranya pun tetap saja Gita memiliki rasa insecure dan kata-kata yang selalu keluar dari mulutnya adalah "Dia istri kamu di mata agama dan hukum. Mau dia bilang nggak punya perasaan sama kamu pun aku nggak bisa apa-apa kalau itu benar terjadi. Perasaan orang mudah berubah, Sa. Kalian hidup dan tinggal di bawah atap yang sama." Belum lagi, satu-satunya rencana agar mereka dapat hidup tidak dari uang orangtuanya tidak dapat dikatakan berhasil.
"I love you, but I can't live knowing I drove you apart from your family." Tutup Gita dengan bisikan lembut dan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Asa dapat mendengar hatinya hancur berkeping-keping, mengiringi tangisan Gita yang tidak lagi dapat ditahan. Ia ingin mempertahankan hubungan mereka, tapi melihat Gita yang tidak lagi memiliki tenaga yang tersisa membuatnya merasakan ngilu di seluruh tubuh. Ada kesedihan-kesedihan dari perempuan itu yang tidak dapat ditanggung olehnya, atau pun ditanggung mereka bersama. Ada kesedihan yang luput diperhatikannya ketika ia berusaha menggantinya dengan berbagai macam hal yang mereka dapat lakukan bersama ketika terkurung di tembok ini. Tapi ia baru sadar kalau bersama di ruangan seperti ini tidaklah cukup bagi Gita. Mau sebesar apa pun cintanya pada perempuan itu, tetap saja Gita adalah orang ketiga di pernikahannya. Orang yang disembunyikan dari kerumunan dan hanya bisa bersama ketika tidak ada mata yang memandang. Menjadi rahasianya seakan ia malu untuk mempertontonkan hubungan mereka.
Mau bagaimana pun, pihak perempuan pasti akan menjadi buah bibir dibandingkan lelaki yang dapat lolos dengan mudah dari hubungan seperti ini. Gelar perebut suami orang akan selalu menempel pada Gita, dan jika mereka menikah anti, perempuan itu akan tetap menyandang gelar itu tanpa peduli latar sejarah hubungan mereka.
Apa selama ini ia terlalu egois? Menganggap semuanya akan baik-baik saja ketika mereka akhirnya bersama nanti? Toh, hanya satu tahun. Tapi ia lupa kalau beban yang akan dibawa Gita nantinya akan berakhir menjadi selamanya dan tidak akan hilang.
27/4/22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro