Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Love Or Whatnot - LOW - 11

Jangan lupa vote, komen, share, dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟



Ariel mengetatkan jemarinya yang memegang totebag di punggung kiri. Dia tidak bisa pura-pura tidak melihat Asa kalau tatapan mereka saja sudah sempat bertemu. Harusnya ia berpura-pura tidak melihat. Bokongnya duduk di kursi dengan tidak nyaman. Seakan ada duri-duri di sana. Bahkan nyanyian laut tidak juga membuatnya merasa tenang. Ariel sudah siap jika pria itu akan mengomel dan mengajaknya berperang. Jika itu bukan menyangkut hal-hal principal, Ariel sudah berpikir tidak akan membalas ucapannya. Terkadang, diam adalah hal yang mempercepat prosesnya.

Mereka diam selama sepuluh helaan napas Ariel, baru pria itu membuka suara.

"Gue ... mau minta maaf," kata Asa tegas.

Ariel sempat mengira kalau ia sempat salah mendengar, tapi pria itu tidak tampak atau pun tidak terdengar ragu. Tubuhnya yang sudah dalam mode siaga berperang tiba-tiba terhenti. Keterkejutannya memutuskan untuk mengambil alih respons tubuh dengan melongo dan menatap pria itu dengan mata terbuka lebar.

"Gue mengabaikan fakta kalau lo juga nggak mau menerima pernikahan ini tapi bokap lo pasti melakukan sesuatu kayak bokap gue." Asa mengesah.

Suara pria itu terdengar mengecil ketika memasuki telinga Ariel karena jantungnya memilih untuk berbunyi kencang dan perut mulas sempat mengusik perhatiannya. Namun, setiap kata yang keluar dari pria itu mengembalikan kesadaran dan perhatiannya sepenuhnya. Sedikit tidak percaya kalau ia akan kembali berbicara secara civil dengan Asa. Apalagi mendengar pria itu mengucapkan kata maaf.

Ariel menelan ludahnya dengan susah payah lalu kembali menekuri laut yang masih hitam pekat. Telinganya fokus pada pria itu dan matanya langsung melirik jika melihat Asa berderak sedikit saja. Lantaran otaknya sepertinya lupa acara untuk merangkai kata dengan sempurna, Ariel mengatupkan mulut rapat-rapat. Menunggu untuk pria itu saja yang berbicara dan mengisi kekosongan di antara mereka.

Kecanggungan mengisi udara dengan pekat. Namun, tidak ada di antara mereka yang kunjung mengeluarkan suara untuk mengusirnya. Keduanya memaku tatapan ke laut dengan pikiran yang berlari kencang meninggalkan tubuh. Ariel tidak dapat membaca ekspresi atau apa pun yang pria itu pikirkan. Reaksi yang didapatkannya dari Asa jelas berbeda dengan yang dibayangkannya.

"Apa yang lo bilang benar. Gue nggak punya suara untuk menolak pernikahan ini dengan tegas ke bokap. Knowing what he can pull." Asa meringis. "Makanya gue punya harapan besar buat lo menolak pernikahan ini dan membuatnya gagal. I was taken aback because you said yes but we still married," lanjut pria itu lalu suara helaan napas yang memberatkan dada ikut keluar di akhirnya.

"Gue bahkan belum memiliki rencana melakukan apa sebelas bulan lagi," lanjut pria itu

Pengakuan Asa membuatnya sedikit terkejut, pasalnya ia mengira kalau pria itu sudah memiliki rencana dan tengah menjalankannya perlahan-lahan seperti di film-film. Karena dirinya sendiri tidak memiliki rencana apa pun untuk perceraian mereka.

"Dibanding jadiin gue jadi musuh. Kita bisa berteman saja supaya sebelas bulan ini nggak terasa berat," ucap Ariel tiba-tiba. Rasa kasihannya pada Asa yang tampak tersesat membuatnya menawarkan rasa nyaman secara tidak sadar.

Perjanjian yang mereka buat saat malam pertama, yang omong-omong mereka tidak pernah melakukannya, mencatat jelas kewajiban dan hak masing-masing pihak serta rentang waktu kapan pernikahan ini akan berakhir. Selain di atas kertas akta pernikahan, mereka tidak memiliki kewajiban atau dapat mengurusi hidup satu sama lain. Ini seperti tinggal bersama dengan surat-surat resmi.

"I know. Lebih mudah kalau punya sekutu dibanding tambah musuh padahal tujuan kita sama," balas Asa.

Tangan Asa terjulur ke hadapan Ariel, membuatnya sedikit kaget.

"Allies?" tawar Asa, menggoyangkan tangan yang berada di depan Ariel yang masih belum juga bersambut.

Ariel menatap tangan itu lamat-lamat, lalu beralih ke Asa yang memberikan senyum tipis di dalam kegelapan. Berkali-kali hingga akhirnya mereka bersalaman.

"Gencatan senjata," sahut Ariel yang membuat pria itu terkekeh.

"Fair enough. Untuk jadi allies harus ada kepercayaan dua belah pihak. Dan kepercayaan itu earned. Balik kamar?"

Merasa di atas angin, Ariel mengajukan syarat. Tahu kalau pria itu masih merasa bersalah atas perlakuannya sebulan terakhir. "Gue tidur di ranjang. Lo di sofa. Berlaku untuk seterusnya kalau kita perlu satu kamar lagi sampai sebelas bulan berakhir."

Mata Asa melotot. Tidak terima dengan syarat yang diberikan oleh Ariel. "Badan gue gede, Ari. Tidur di sofa hotel bakalan bikin kaki gue pegal karena menggantung."

"Minta tempat tidur tambahan untuk di lantai kalau lo mau," jawabnya enteng setelah menguap lebar. Ketegangan yang meninggalkan tubuhnya mengundang rasa kantuk yang sempat tidak terasa. Kelelahan membasuh tubuh Ariel setelah bangun pagi dan hanya beristirahat ketika migrain tadi siang. Ia kembali menguap. "Oh iya, Sa. Selagi kita di perjanjian ini, kita mungkin harus sedikit lebih berhati-hati ketika menjalin hubungan dengan orang lain. Maksudnya, tidak dilakukan di depan umum seperti acara-acara. Masing-masing dari kita punya wajah yang harus dijaga, karena yang tahu perjanjian itu hanya kita berdua. Belum lagi, kalau orangtua kita mencium sesuatu, rencana sebelas bulan lagi bakalan hilang di depan mata. Kayak serangan tiba-tiba gitu, kita berlagak baik-baik aja, tetapi kasih serangan kejutan dengan perceraian. Nggak kasih mereka waktu untuk memproses karena semua keburu selesai."

"Tapi gue ..." Asa tampak akan mengatakan sesuatu tetapi mengurungkan niatnya. "Yeah, you right. Hanya sekali ini lo tidur di ranjang, kalau ada event kayak gini lagi, kita bakalan suit untuk nentuin siapa yang kebagian tidur nyaman." Ariel baru akan menolak, tapi Asa menyelanya lebih dulu. "Hey, trust is both side. Gue juga perlu melihat apa gue bisa percaya lo atau enggak." Asa tertawa dan menyenggol lengannya dengan siku.

Ariel menggerutu pelan, tapi panggilan ranjang untuk sekarang cukup membuatnya mengangguk dan setuju dengan syarat yang pria itu ajukan.

**

2/4/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro