Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Love Or Whatnot - LOW - 10

Jangan lupa vote, komen, share, dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟

Tubuhnya sedikit tersentak kaget, ketenangan yang tadi dirasanya sudah hilang dan kini berganti dengan sulutan rasa amarah terhadap pria yang berdiri berkacak pinggang satu meter dari diri Ariel.

"Kalau memang lo nggak mau datang, lebih baik bilang di awal. Ketimbang nggak mau berbaur sama orang-orang dan sibuk sendiri." Pria itu memijat pelipisnya. "Apa sih yang bisa gue harapin dari orang yang bahkan nggak mau nanggung tanggung jawabnya dan limpahin itu ke orang lain?" gerutu pria itu jelas. Tidak ada maksud untuk menyembunyikan sindiran di kalimatnya atau pun tatapan matanya yang tajam.

Ariel mendengkus sembari membereskan sketch book serta cat airnya. Memakai wedges lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Asa. Amarahnya sudah diujung lidah, meminta untuk dimuntahkan, tapi ia tahu tidak bijak untuk menunjukkan emosi negatif di acara milik orang lain. Namun, apa yang pria itu katakan mengenai tepat di spot sensitifnya, membuat amarahnya nyalang. Ia tidak mengerti bagaimana ibu mertuanya yang baik hati itu dapat memiliki anak seperti Asa.

Mengabaikan pria itu adalah jalan tengah baginya. Namun, baru tiga langkah, Asa sudah menarik siku Ariel. Menahannya untuk tidak pergi dari sana karena pria itu tampaknya belum selesai mengeluarkan unek-uneknya.

Ariel menyentakkan tangannya kencang hingga genggaman pria itu terlpas. "Ignoring me is one thing, but invading my personal space is a whole other thing. You don't touch me without my consent, not even a strand of my hair," ketusnya. Menyeka bekas tangan pria itu dari lengannya dengan tangan lainnya. Jatah kesabarannya untuk pria itu sudah habis. Ia merasa ini tidak adil baginya, meskipun ia mempunyai andil dalam terjadinya pernikahan ini. "Gue ngebantu lo dengan enggak dekat-dekat ke saudara-saudara lo. Gue muak dengan lo yang selalu salahin gue atas pernikahan ini. News flash Mr Asa Ephraim, you are not all mighty. Lo nggak punya suara apa-apa di keluarga lo dan menjadikan gue samsak atas ketidakmampuan lo itu. Jadi berhenti berlagak kalau gue yang 100 persen bermasalah di sini," katanya berapi-api. Ia tahu kalau kalimatnya tadi seperti panah yang menusuk tepat di ego pria itu. Hah! Mana ia peduli lagi. Pria itu perlu tahu di mana tempatnya berada. Mungkin dengan ego yang mengempis, Asa dapat melihat dengan jelas. Suara di dalam kepalanya membuat Ariel memutar bola mata.

"What a deuce bag," gumam Ariel pelan sembari berjalan menjauhi pria itu yang masih terkaget-kaget karena reaksinya tadi. Bodo amat!

**

"Apa yang gue bilang ke dia tadi? Bisa-bisanya mulut lo bilang begitu, Ari?"

Adrenalin yang dipicu oleh amarahnya sudah pergi meninggalkan tubuh Ariel dan membiarkan perasaan bersalahnya menyusup masuk bagai pencuri. Ariel tidak berhenti merutuki dirinya di dalam kepala. Genap satu jam yang lalu ia mengomeli Asa dan selama itu pula Ariel mengabaikan pria itu. Seakan Asa adalah makhluk tak kasat mata. Padahal tatapan tajam pria itu dapat melubangi kepalanya dan membuatnya mati berdiri. Ariel mencoba menjauh. Beramah-tamah dengan keluarga yang lain dan menyingkir jika Asa sudah dekat hingga ia kehabisan alasan dan mengatakan pusing hanya untuk dapat kembali ke kamar.

Kini, Ariel berjongkok di dalam kamar mandi kamarnya. Merutuki emosi dan mulutnya yang lebih dulu bertindak dibandingkan akal sehatnya. Kemudian ia terjebak di tempat ini saat usahanya untuk berganti baju lalu kabur berantakan lantaran pintu kamar terbuka. Ia tahu itu Asa yang masuk dan Ariel tidak lagi memiliki kartu untuk tidak berbicara dengan pria itu.

"Mungkin dia cuma ambil barang? Setelah ini pergi lagi sampai acaranya selesai. Atau pergi lagi sama Gita," bisiknya pelan. Menganggukkan kepala saat yakin kalau apa yang dipikirkannya benar.

Sepuluh menit, lima belas menit dan tambahan banyak menit lagi tapi pria itu tidak juga keluar kamar. "Mungkin dia sudah tidur. Dia kan bisa tidur dengan pakaian nggak nyaman sekali pun." Ariel menganggukkan kepalanya lagi ketika teringat pernah melihat pria itu tertidur di sofa dengan TV yang menyala. Masih menggunakan kemeja serta celana kerjanya. Hal yang paling tidak nyaman yang pernah dilihatnya. Siapa yang mau tertidur dengan pakaian kerja yang melekat di tubuh seharian?

Ariel menghitung hingga sepuluh dan membuka pintunya cepat, sebelum rasa takut kembali menelan keberaniannya dan ia berakhir tidur di kamar mandi demi kabur dari Asa. Matanya tidak menyisir kamar itu, ia langsung menaruh baju di atas tas dan mengincar pintu kamar selanjutnya setelah mengambil peralatan gambar yang kini sudah masuk ke dalam totebag, bersamaan dengan tablet. Jantungnya yang berdebar kencang membuat gerak kakinya jauh lebih cepat, seperti ia tengah dikejar anjing.

"Mau ke mana malam-malam?" Suara Asa yang berasal dari belakangnya tidak menghentikan niatan Ariel untuk kabur dari sana, justru membuat langkahnya semakin cepat.

"Bukan urusan lo," ketusnya dan Ariel keluar kamar secepat kilat.

Pintu yang tertutup di belakangnya mengiri helaan napas yang keluar dari mulut Ariel. Tidak sadar kalau selama berada di kamar tadi, ia menahan napas. Ia membiarkan kakinya berjalan tanpa arah, sementara kepalanya memikirkan rencana apa yang harus dilakukannya semalaman dan begitu tersadar ia kembali ke tempatnya merenung tadi.

Ariel mengesah dalam. "Nggak punya tempat lain juga," ucapnya pada diri sendiri. Namun, kini ia memiliki waktu memikirkan layout yang belum sreg di hatinya, ditemani dengan musik dari laut.

Ariel membuka tablet, berkutat dengan satu per satu halaman dan berhenti di bagian yang tidak dirasanya pas. Mengubah layut itu sebagai opsi yang akan dikirimkannya pada penulis. Entah ia yang memiliki waktu cukup untuk tidak memusingkan pekerjaan, hingga pikirannya fresh atau memang suasanya yang mendukung. Tangannya yang memegang pen tidak berhenti bergerak di atas layar, mengubah beberapa halaman yang sudah ditandainya.

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas ketika seluruh halaman yang ditandai itu kini sudah berganti dan ia sudah mengirimkannya pada penulis. Ariel merasa puas dan tinggal menunggu balasannya saja sambil berdoa, setidaknya ada salah satu dari dua opsi itu yang lolos dan dapat masuk ke tahap selanjutnya. Ilustrasi buku anak lainnya sudah menunggu untuk dikerjakan dan ia harus beralih ke sana.

Seluruh perhatian Ariel terfokus pada layar berukuran 11inci yang dipegang kedua tangannya. Membaca cerita dengan saksama sambil membayangkan gambar apa yang pas untuk menjelaskan maksud dari cerita itu. Sesekali ia melihat layout mengubah sketch kasar yang dikirimkan oleh penulis untuk membandingkan dengan bayangannya. Mengerutkan alis ketika tidak lalu tangannya memberikan tanda di gambar itu. Kembali lagi seperti semula saat membaca. Begitu terus hingga ia selesai.

Kali ini, persiapannya matang sehingga angin tidak lagi mengganggu konsentrasinya. Ariel membunyikan buku-buku jarinya sebelum mulai menggambar layout halaman pertama dari 30. Berhenti tiap dua halaman selesai untuk meregangkan lehernya yang kaku. Menggambar dengan tablet di pangkuan sangat tidak ideal. Bukan hanya tubuhnya yang membungkuk, tapi ia juga perlu menurunkan matanya hingga lehernya sakit. Namun, ia tidak memiliki tempat lain sekarang.

Ariel menyerah ketika di halaman sepuluh selesai digambar. Punggungnya tidak mau lagi membungkuk untuk mengakomodir posisinya ketika menggambar dan lehernya juga seperti mau patah. Dengan mengembuskan napas berat, Ariel membereskan barang-barangnya, bersiap kembali ke dalam kamar sambil berdoa semoga Asa sudah tidur.

Setelah melakukan sedikit peregangan agar tubuhnya tidak meneriakkan protes setelah tidur nanti, Ariel berjalan kembali menuju kamar, tapi langkahnya berhenti ketika melihat Asa yang duduk di bangku rotan menghadap laut. Menatap kegelapan di depannya dengan kedua tangan terlipat di dada. Wajahnya tampak serius dan itu membuat Ariel yakin kalau pikiran Asa sedang berlari jauh dari tubuhnya.

Seakan menyadari kalau sedang diperhatikan, Asa menoleh ke arah Ariel, lalu menepuk bangku kosong di sebelahnya.

Ngapain gue kabur sampai leher pegel ke sini kalau masih diajak bicara juga?

23/ 4/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro