Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Love Or Whatnot - LOW - 1

Jangan lupa untuk pencet bintang, komen dan follow Wp @dadodados & Ig @akudadodado

Terima kasih!





Bising, tapi terasa sepi.

Ramai, tapi tetap sendiri.

Suara-suara di sekitarnya tidak mampu menarik perhatian Ariel. Keping demi keping ingatan mengenai kejadian sebulan yang lalu tidak henti-hentinya menari di kepala. Mengirimkan denyut menyesakkan di dadanya. Mau Ariel mencoba untuk mengelus atau memukul dadanya ringan demi menghilangkan beban yang membebat di sana, tetap saja tidak akan bisa. Sudah hitungan hari, tapi beban yang ditanggung oleh dadanya tidak juga lenyap.

Baru satu bulan berlalu, tetapi rasanya sudah seperti tahunan. Waktu seakan memaksanya untuk menelan bulat-bulat rasa pahit yang muncul tidak hanya di lidahnya. Memastikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu dan bulan yang berlalu terasa begitu menyiksa.

"Ari, Ari, Ariel Mara!" Panggilan itu membuat gelembung yang berada di sekitar Ariel menghilang seketika. Mengembalikannya pada dunia nyata yang sudah berhari-hari coba diabaikannya. Matanya mengerjap, memekik pelan ketika matanya fokus pada wajah perempuan yang tengah berdiri di depannya. Mata yang dilapisi kontak lens berwarna abu-abu itu memandangnya gusar. Kedua tangan menyempilkan rambut panjang berwarna cokelat terang yang menutupi sisi wajahnya ketika duduk ke belakang telinga.

"Apa, Ya?" ucapnya ketika kesadarannya kembali. Senyum mengembang di bibirnya ketika melihat Raya, sahabatnya semenjak SMA.

"You okay? Gue panggil lo dari tadi, tapi nggak ada jawaban." Raya meletakkan tasnya di kursi yang kosong lalu duduk di seberang Ariel. Matanya masih tidak berhenti menatap khawatir.

Ariel tersenyum kemudian mengangguk sebelum menjawab. "Yeah, I'm fine."

"Sudah memesan makanan?" tanya Raya sambil matanya menyisir buku menu, mencari makanan untuk disantap siang ini.

"Belum, gue tunggu lo. Bingung mau makan apa di sini. Bukan selera gue." Ariel mengalihkan pandangannya ke sekeliling restoran itu, restoran jepang. Restoran kesukaan pria itu.

Raya memesankan beberapa jenis makanan kemudian mengalihkan pandangannya kepada Ariel yang tengah menyeruput ocha dari gelas miliknya lalu mengernyitkan dahinya karena perempuan itu tidak pernah menyukai ocha.

"Jadi, kabar lo gimana?"

"Gue baik-baik saja, Ya." Ariel melihat keraguan pada mata Raya ketika ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. "Suer. Gue baik-baik saja. Emang mau gimana lagi, sih?" ucapnya sedikit gemas lantaran Raya berhenti memerhatikannya dengan tatapan yang was-was. Sudah sebulan, tapi sahabatnya itu tidak henti-hentinya melakukan hal ini setiap hari. Bayangkan, pesan yang didapatkannya selalu berawalan dan berakhir serupa. "Lo baik-baik saja, kan?"

Sejujurnya, Ariel lelah dengan semua perhatian yang dilimpahkan padanya dari Raya. Ia merasa tidak pantas untuk itu semua setelah-

Mata Ariel menangkap sosok yang ia kenal tengah berjalan memasuki restoran tempat ia makan beriringan dengan perempuan yang diingatnya di luar kepala. Melihat Ariel yang terdiam tiba-tiba, Raya mengikuti arah pandangan sahabatnya itu. Jarak mereka cukup jauh sehingga pasangan itu tidak dapat melihat mereka.

"Lo nggak baik-baik saja," kata Raya setelah pasangan itu sudah duduk.

Ariel mengangkat bahunya sekilas. Berusaha terlihat cuek, padahal hatinya sedikit demi sedikit berubah menjadi serpihan. "Gue pantas mendapatkannya," balasnya sembari meminum ocha. Meskipun ia tidak suka minuman yang membuat lidahnya terasa pahit, tapi ini masih dapat ditolerir oleh Ariel.

Raya mengerang kesal, "Please, berhenti bilang kayak gitu."

"Gue-"

"Lo terlalu keras ke diri sendiri," potong Raya tegas.

Ariel mengesah, membiarkan bahunya terkulai lemas dengan punggung yang menempel pada kursi. "Lo kan tahu kalau gue yang bersalah dalam hal ini." Kata-kata itu meluncur keluar dari bibirnya tanpa perlu disaring. Ini seperti melafalkan apa yang diucapkan kepada dirinya sendiri setiap hari sebelum tidur dan setiap kali pikirannya mengembara jauh meninggalkan tubuhnya.

"Tapi Lo sudah cukup menghukum diri sendiri! Nggak capek apa bilang itu terus?"

"Enggak," jawabnya lugas, "lihat deh gimana kedua orang itu saling mencintai. Tatapan matanya, gestur tubuhnya semuanya berbeda. Gue jahat banget, bisa-bisanya gue pisahin mereka." Oh, apa yang tidak akan dilakukannya untuk mendapatkan itu semua dari pria yang sama. Namun, alih-alih semua yang disebutkannya tadi, yang didapatkannya adalah tatapan benci.

Raya mengabaikan ucapannya dan kembali mengatakan hal yang sama. Hal yang tidak pernah hinggap di telinganya lebih lama dari setelah kalimat itu selesai keluar dari bibir Raya. "Lo memang salah tapi sudah mengakui kesalahan, bahkan lo menghukum diri sendiri lebih keras dari hukuman orang lain."

Lagi-lagi Ariel mengesah, kali ini lebih panjang dari sebelumnya. "Gue harus bagaimana supaya lepas dari hal ini, Ya?"

"Gue sejujurnya nggak tahu juga," gumam Raya pelan, menyurutkan semangatnya yang hanya tersisa sedikit saja di dalam tubuh. "Tapi, kalau memang lo merasa bersalah, lo bisa coba perbaikin dan minta maaf."

"Gue sudah coba, tapi dicuekin." Ariel menjatuhkan sisi wajahnya ke atas meja makan. Melepaskan pandangannya dari pasangan yang dimabuk kepayang terhadap satu sama lain. Pipinya kini merasakan permukaan meja yang dingin, sedikit menenangkan rasa gundah di dada dan panas di matanya yang menusuk. Kenapa gue iyain, sih? Harusnya gue tolak aja, keluhnya dalam hati. Menarik napas perlahan melalui mulut dan memaksakan matanya terbuka lebar meskipun pandangannya buram karena air yang tergenang di pelupuknya.

"Ladies, ada apa dengan suasana haru biru ini?"

Suara itu menginterupsi mereka berdua. Terutama Ariel yang mencoba untuk menenangkan diri.

Raya mendengkus dan menjawab sapaan sahabat laki-lakinya itu. Yang satu ini ditemukan ketika masuk kuliah dan tiba-tiba saja mereka bertiga selalu bersama-sama ke mana pun. "Lo ganggu, Jethro."

"Ayolah, ajak gue. Spill the tea." Pria itu langsung menarik bangku dan duduk di sebelah Ariel, kemudian mengambil gelasnya itu dan menenggaknya sampai habis.

"Dasar onta! Minuman orang di embat juga," keluh Ariel pelan, menatap nanar gelasnya yang kini tak berisi. Jethro memberikan kode pada pramusaji untuk mengisi gelas minuman dan meminta buku menu.

"Jadi, ada apa?" kata Jethro dengan mulut penuh californian roll yang dipesan oleh Raya tadi.

"Arah jam dua belas," jawab Raya pelan. Jethro langsung berlagak memanggil pramusaji lagi sambil melihat ke arah jam dua belas.

"Wow, your husband and his mistress," ucap Jethro yang membuat laki-laki itu mendapatkan geplakan buku menu tepat di kepala. Dari suaranya yang nyaring saja sudah membuat Ariel meringis kesakitan.

"Mulut lo memang mau dipakai buat ngulek cabe ya?"

"Sakit, Ya! Barbar banget jadi perempuan. Pantes belum punya pacar juga."

Raya menggeram sambil melempar buku yang terjatuh di lantai karena Jethro menghindar dengan gesit.

"Ari, tolong ingetin gue kita temuin ini laki kaleng sebiji dari mana. Mau gue balikin dia ke tempat asalnya!" kata Raya ketus, sedangkan Ariel tertawa kencang melihat hal itu. Ah, ia lupa menyebutkan bahwa ia memiliki dua bahu sebagai tempatnya bersandar. Jangan lupakan bahwa mereka berdua juga dapat membuatnya tertawa lepas. Melupakan sejenak bagaimana beban yang harus ia tanggung.

15/4/22

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro