Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1

Aku masih menatap punggung tegap yang semakin lama semakin menjauh dari pandanganku. Air mataku menetes sedikit demi sedikit setelah mengingat kembali keputusannya yang telah mengakhiri hubungan kami secara sepihak, aku masih berfikir keras apa salahku terhadapnya sampai dia mengakhiri hubungan yang sudah kita jalankan selama 3 Tahun tanpa alasan yang jelas.

" Aku mau kita putus." hanya itu yang keluar dari bibirnya, dan dia pergi tanpa menunggu balasan dariku.

Kilasan kisah cinta kita kembali terulang diingatkanku. Bahkan setelah dia mengakhiri hubungan aku dan dia aku masih menyebut kami. Miris memang karena dia yang menjanjikan kisah kami seperti kisah cinta sejati seperti yang novel-novel katakan bahkan seperti lagu-lagu cinta yang dia ciptakan. Mungkin 3 tahun tidak berarti untuknya.

Kakiku masih berpijak di tempat ini. Saksi bisu dia memutuskanku. Melangkahkan kaki lunglai, aku berbalik arah dengannya. Tidak tahu apa tujuanku. Tidak tahu siapa tujuanku. Aku kosong, hampa, tanpa tujuan. Dia, si penunjuk arah bagiku, telah meninggalkanku sendirian di tengah perjalanan.

' Apa salahku? '
Dua buah kata itu selalu terngiang dalam benakku. Semua seakan percuma. Sejauh aku melangkah, hanya ia yang ada dalam fikiranku. Bahkan seakan bumi tak mengizinkan kami berpisah. Langkah demi langkah selalu membawaku ke tempat tempat yang sering kami kunjungi bersama. Dia, wajahnya, senyumnya, tawanya, suaranya, adalah sebuah candu bagiku. Tanpanya, tanpa dia disisiku, aku hanyalah gadis tanpa arah dan tujuan.

Punggung tegapnya telah menghilang dari pandanganku, menyisakanku yang sendirian di sini, ditemani air mata yang terus bercucuran. Kenapa? Terus kuucapkan kata-kata tersebut dalam hatiku. Badanku merosot, terduduk di atas sana. Aku menangis, menutup wajahku dengan kedua tanganku. Hingga seseorang mengulurkan tangannya padaku, membuatku mendongak.

Orang itu mengulurkan sebuah sapu tangan. "Jangan menangis lagi," katanya.
Aku menerima sapu tangan itu. "Kenapa? Kau tahu, menangis adalah caraku untuk meringankan beban dan kesedihan ini."
Orang itu tersenyum, mengelus puncak kepalaku, "jangan hanya melihat ke orang itu saja, orang yang baru saja mematahkan hatimu. Lihatlah, masih banyak orang di sekelilingmu. Aku, contohnya."

Dia benar. Di mataku hanya ada dia, dia, dan dia, meskipun dia selalu menyakitiku. Aku,... Tak pernah sadar, bahwa di luar sana banyak yang masih menyayangiku. Senyumku mengembangkan, tangisku terhenti. "Nah gitu dong. Jelek kalo nangis," candanya. Aku tertawa. "Yuk, pulang," ajaknya, sambil mengulurkan tangannya.

-

Minggu dan bulan pun berganti. Aku masih belum memberikan hati pada siapa pun. Luka di hati ini masih belum sembuh, pun juga bayang bayangnya. Aku tau ada orang lain yang selalu setia menungguku, tapi, hati ini belum untuknya.

Aku memandangi layar handphoneku yang sengaja masih ku pasang foto aku dan dia. Foto yang kami ambil disaat merayakan hubungan kami yang ke2 tahun sekaligus perayaan terakhir kami. Huft, sampai saat ini dia masih belum menghubungiku dan aku masih mengharapkannya.

Dulu aku pikir lagu putus cinta lagu yang lebay. Tapi saat aku merasakannya mungkin ada benarnya. Rasanya separuh hatiku hilang melayang, rasanya tenggelam dalam luka dalam, saat aku tahu i'm not the only one. Hati remuk. Petikan gitar yang ku mainkan pun terasa hambar.

Sialnya, Dewi Fortuna masih belum berada di pihakku. Melintaslah dia tepat dihadapanku- dengan cewek lain yang entah keberapa setelahku. Ia lewat begitu saja, tak melihatku yang tengah menahan tangis dengan menggigit bibir bawahku. Tiba-tiba sepasang tangan besar menutupi pandanganku. "Lihat apa?" tanya pemilik tangan itu, yang langsung kukenal siapa.

"Dia.. Dia sudah tak mencintai ku lagi!" Tangisku langsung pecah ketika memeluknya. 'Aku benci Rafa! Aku benci padamu RAFAEL PUTRA!'

" Kata siapa dia sudah tidak mencintaimu lagi?" Tanya pemilik tangan yang suaranya sangat ku kenal. Dia adalah Rangga, yang selalu ada disaat aku membutuhkannya namun ntah mengapa aku belum bisa mengalihkan perasaan ke dirinya, harus ku akui jika aku masih sangat mengharapkan berada dipelukan Rafael. Untuk menghilangkan perasaan yang sudah ditanam selama dua tahun tidak semudah membalikan telapak tangan.

"Siapapun pasti tau hal itu! Jika ia masih mencintaiku, ia tidak mungkin memutuskanku! Tidak mungkin ia-ia.." tangisku semakin keras dan menjadi-jadi. Untung tidak ada siapa-siapa di sini. Rangga menarikku dalam pelukannya, sambil sesekali mengusap punggungku lembut. Pelukannya terasa hangat. Hatiku melompat-lompat tak karuan. Tunggu, bukannya aku masih mencintai Rafa? Bagaimana mungkin..?

" Terkadang seseorang bukan ingin memutuskan namun ada juga yang harus memutuskan. Dan jika kamu ingin tahu dia adalah orang yang pertama atau kedua kamu bisa tanyakan jangan hanya menunggu. Selagi kita bisa bertindak kenapa harus menunggu?." ucap Rangga seraya mengelus punggungku. Aku tertegun dengan ucapannya, memang aku juga salah karna hanya mengandalkan menunggu.

"mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi.. Aku mencintaimu. Lebih dari Rafael, percayalah." katanya, seraya tersenyum menatapku. "Aku tahu, tapi... Maaf, tapi-" ia menyela omonganku dengan memegang kedua pipiku lembut, mengangkatnya hingga tatapan kami bertemu. "Aku akan selalu menunggumu.." ucapnya dengan senyumnya yang khas, menampakkan lesung pipit di pipi kanannya. Aku terdiam, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, bingung hendak berbicara apa.

" Apa kamu akan tetep menungguku walau aku tidak bisa memastikan kapan perasaanku terhadap Rafael meluntur? Aku tidak mau memberi harapan palsu, Nga. Dan kita baru kenal, mengapa secepat itu perasaanmu terhadapku tumbuh?." Aku memberikan pertanyaan beruntun terhadap Rangga.

Rangga terdiam, namun senyum yang dihiasi lesung pipi itu kembali hadir. Ia menatapku intens, seolah meyakinkanku, "Aku tahu, perasaanmu masih untuk lelaki itu. Tapi aku yakin, suatu hari nanti kau akan membalas perasaanku tanpa ada bayang-bayang Rafael yang mengganggumu. Untuk perasaan, perasaan itu bisa kapan saja tumbuh."

Perkataannya membuat pipiku panas, mengeluarkan rona merah. Ia mencubit pelan hidungku, sambil tersenyum hangat, menenangkanku. Tangisku telah berhenti, hanya bersisa isakan-isakan kecil saja. Ia merangkul bahuku, lalu berkata, "Yuk, jangan sedih lagi. Aku traktir es krim." mendengar kata es krim, aku langsung mengangguk antusias, disusul tawanya yang membuatnya terlihat manis.

Sembari memakan es krim, Rangga sesekali melontarkan kata-kata lucu yang sanggup membuat aku tertawa disaat aku tidak ingin. Mungkin hidup seperti es krim, jika sudah tersakiti terasa ngilu, tapi jika tahu cara menikmatinya percayalah akan terasa manis.

Tidak peduli seberapa besar usaha yang ku kerahkan untuk membangun sebuah dinding untuk melindungi hatiku. Tidak peduli seberapa banyak waktu yang ku gunakan untuk menanti seseorang yang tak pasti. Rangga datang membangun pintu untuk masuk ke dalam hatiku, menyadarkanku untuk dapat mempersilakannya masuk.

-

Sudah dua bulan lamanya setelah Rangga menyatakan perasaanya padaku. Semuanya baik-baik saja. Kami menjadi lebih dekat, dan aku sudah belajar untuk membukakan pintu ini baginya. Hanya untuknya, aku berusaha untuk mengizinkannya masuk. Tapi semua usahaku itu hancur, ketika Rafa mendatangiku pagi ini di sekolah, dengan serentetan kalimat yang membuatku langsung menutup pintu untuk Rangga, dan membukakan pintu untuk Rafa.

"Diva," terdengar suara lama yang dulunya pernah ada dihatiku. Itu Rafa? Bagaimana mungkin. Aku menatap ke arahnya. Ku lihat raut wajahnya memancarkan kesedihan, entah hal apa yang membuatnya menjadi seperti itu.

"Ya, ada apa Raf?" tanyaku dengan penuh harap. Entah mengapa, hatiku mengharapkannya kembali. Tetapi, sebagian kecil dari hatiku berteriak pula, "pilih Rangga, pilih Rangga!" membuatku bimbang. "Div.. Will you be mine, again? Tolong.. Mereka semua meninggalkanku. Aku sendirian! Tolong, Div, sebenarnya aku masih mencintaimu.." ucapnya, dan setetes air mata berhasil lolos dari mata hazel nya. Air mata itu membuatku luluh, dan langaung kuanggukkan kepalaku. Tanpan kuketahui, Rangga menyaksikan. Semuanya.

Rangga P.O.V

Sakit. Itu yang bisa ku rasakan. Aku tahu bahwa Diva masih memiliki perasaan terhadap Rafael yang membuatku tidak suka. Tapi, aku akan masih tetap menunggu untuk Diva. Perempuan yang manis dan baik hati yang sudah tersakiti oleh Rafa.

Perempuan yang aku cintai selama 5 tahun belakangan ini. Dan nyatanya, dia masih menyukai Rafa bodoh yang bisa membuat hati Diva terluka.

Dan di sinilah aku sekarang, menyaksikan semuanya. Rafa yang memintannya kembali, disambut anggukan dari perempuan manis itu. Aku tersenyum miris. Lagi-lagi, Rafa, kembaranku, menang. Ia selalu mendapatkan segalanya.

Memang boleh dia mendapatkan semuanya. Tapi, sekarang giliranku untuk mendapatkan Diva. Gadis yang sudah ku dambakan seumur hidup. Aku akan mencari cara untuk mendapatkan gadis itu. Cara kotor ataupun bersih.

"Aku takkan pernah mengalah untukmu... Diva. "  Ku tatap keindahan sang pemilik manik coklat itu dalam bingkai tertata apik. Dia... Akan menjadi milikku. Jika Rafa berpikir akan mendapatkan segalanya, itu salah. Karena satu-satu Diva yang dia ingiklnkan... Akan kumiliki tak lama lagi.

Rafa POV

Kau tahu, semua orang berhak memiliki kesempatan kedua, bukan? Contohnya aku. Sungguh, aku menyesal sudah meninggalkan Diva. Dan kini, aku baru sadar bahwa hanya dia yang sangat tulus mencintaiku. Hanya dia yang ada saat kapanpun aku butuh dia. Saat aku kehilangan orang lain, aku memintanya kembali. Agar diriku utuh sepenuhnya seperti dulu.
Aku tahu, Rangga, kembaranku, menyukai Diva sejak dulu. Namun, jika Diva mencintaiku, dia bisa apa? Sekarang aku hanya ingin mempertahankan Diva di sisiku, aku tak akan menyia-nyiakan Diva lagi. Hanya itu.

16/01/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro