04
Kim Na Byul
Nara sedang tidur di kasurnya saat ini. sedari tadi dia muntah terus seusai kelar kemoterapi, dan baru saja bisa tidur sekarang. Aku menatapnya sedih melihat temanku harus mengalami hal seperti ini, yang menyakitinya. Tubuh Nara semakin mengecil, kelopak matanya sudah tidak menampilkan mata yang berbinar lagi semenjak ia sakit. Rambutnya kini hilang, hanya menyisakan kulit kepalanya yang polos. Dulu, rambut panjang hitamnya selalu menjadi kebanggaannya. Betapa menyedihkan melihat perubahan ini. Bukan berarti aku bilang dia jelek, ya. Aku hanya...
Aku hanya sedih melihat temanku seperti ini.
Ah, ngomong-ngomong, aku sendirian di sini karena eomeonim sedang mencari makan. Dia belum sempat makan sejak tadi. Jadi aku memintanya untuk mencari makan dulu sementara aku menjaga Nara disini.
drrttt drrrttt
Tanganku mengambil hape yang tadi ku taruh di atas nakas sebelah kasur Nara.
Bomin:
Noona, kau tau? Seokjin dan lainnya ternyata syuting di tempat kita sekitar 1 bulanan.
Hah... 1 bulan. Berarti aku haru sbertahan dengannya sealama sebulan. Kuat-kuatin deh saya ya. Toh dia tidak akan syuting tiap hari di perpustakaan, kan?
"Eung.."
Suara yang dikeluarkan oleh Nara membuatku melepaskan pandanganku dari hape dan melihat Nara yagn sudah bangun.
"Kkaesseo?" Nara mengangguk lemah. Sepertinya tenaganya belum sepenuhnya terkumpul. Aku membantu dia untuk mengambilkannya minum. "Wae kkaesseo? Kau kan baru tidur tak lama." (Sudah bangun?; kenapa sudah bangun?)
"Terbangun. Kau belum pulang?"
Kepalaku menggeleng pelan, "belum. Eomeonim masih makan. Nanti kalo beliau uda balik, aku baru pulang."
Nara mengangguk mengerti dan tersenyum padaku. "Kau ingat waktu sekolah dulu? Saat kau terlambat dan harus lari secepat mungkin, sampai-sampai kau jatuh di depan pagar yang sudah ditutup?"
"Eo. Hahaha. Aku sampai malu dengan satpam sekolah karna akhirnya dia membukakan pagar sekolah karna aku jatuh depan sana. Astaga. Jika dipikirkan lagi, sepertinya aku bodoh sekali telat karna begadang nonton drama malamnya."
"Akan seru sekali kalo kita bisa lari pagi bersama."
"Kau sembuh dulu, ya. Nanti kita bisa lari-lari di pinggir Sungai Han dan makan ramyeon bersama. Bagaimana?"
Aku tau itu mustahil, Nara juga tau itu karna dia hanya tersenyum sendu dan mengangguk pelan.
Pintu terbuka tak lama setelah Nara tersenyum, menampilkan mamanya Nara yang sudah selesai makan. "Eomeonim." Aku berdiri dan mempersilahkan mamanya untuk duduk.
"Eomma sudah makan?" Eomeonim mengangguk menjawab pertanyaan Nara. "Nah, Na Byul Kau bisa pulang sekarang. Sudah malam juga ini."
"Ya. an geuraedo, aku akan pulang sekarang," ujarku tersenyum meledek sambil mengambil tasku. "Eomeonim, aku pulang dulu, ya," pamitku tersenyum dan melambaikan tangan ke Nara juga.
"Hati-hati di jalan. Kabari kalo uda sampe rumah."
"Iya. Iya."
***
"Semoga hari ini tidak terlalu banyak pelanggan yang menyebalkan," kataku dengan kedua tangan yang menyatu berdoa sambil menatap langit pagi dan membalikkan tanda open di pintu setelahnya.
Langit pagi ini sangat cantik. Awan-awan menghiasi langit cerah nan sejuk pagi ini, tidak ada sedikitpun warna abu-abu polusi di langit.
"Noona."
Aku menoleh dan menerima kopi yang diberikan oleh Bomin. "Thankyou."
Kami berdua berjalan ke balik counter meja informasi perpustakaan dan duduk disana. "Kau tau, film ini sudah keluar loh."
"Eh?!" Aku terkejut saat melihat Bomin menunjukkan poster film yang sangat ingin ku tonton di ponselnya, sudah ada tanda now showing di bawah posternya. "Wah!"
"Tapi sudah habis semua tiketnya." Mendengar itu membuatku jadi sedikit sedih, padahal aku sudah menunggunya lama. Benar-benar ingin menontonnya karna aku menyukai artisnya juga. "Geunde! Aku sudah beli tiketnya. Kau mau nonton bareng?"
Aku yakin sekarang pasti mataku sangat berbinar menatap Bomin, apalagi melihat Bomin jadi terkekeh sekarang. Tak perlu waktu lama, aku langsung mengangguk mantap. "Boleh boleh!"
"Oke. Ini untuk lusa. Kita pergi setelah shift kita selesai, oke?"
"OKE! Gomawo!!!"
***
Tuk.
Sebuah gelas kopi ditaruh dengan sedikit kasar, mengeluarkan suara dentingan cangkir dengan meja yang cukup kencang.
Sontak aku sedikit terkejut dan menoleh cangkir tersebut dan orang yang menaruhnya secara bergantian. "Ada yang bisa saya bantu?"
Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan seperti ingin memakan ku hidup-hidup. Kilat kesal terpantul dari mata hitamnya itu. "Kalian tidak becus membuat kopi ya?"
"Ne?"
"Kopi ini. Terasa pahit sekali."
Ye? Tapi dia memang memesan...
"Jwisonghamnida. Tapi pesananmu sebelumnya apa, jika saya boleh tau?"
"Americano."
Aku menahan emosiku dan menguburnya dalam-dalam, lalu tersenyum kepada pria paruh baya tersebut. "Americano biasanya tidak ditambahkan gula, Pak.."
"Tidak. Aku ingin yang baru. Jangan terlalu pahit."
"Sonnim. Jika anda sedikit manis, anda bisa menambahkan gula yang tersedia disana." Aku mencoba berbicara dengan sangat pelan dan sopan sambil menunjuk tempat gula sachet berada.
"Tidak mau. Kau buatkan aku yang baru."
Hah.... Rasanya sangat ingin melempar cangkir itu kepadanya sekarang.
"Baik. Silahkan ditunggu sebentar."
Setelah pria itu duduk kembali di tempatnya, aku membuatkan kembali kopi americano tersebut dan sedikit menambahkan gula agar tidak terlalu pahit. Aku mengantarnya dengan hati-hati sambil berupaya menampilkan senyum formal agar tidak terlihat tidak sopan.
"Ini kopimu, Pak." Aku menaruh gelas kopi itu di mejanya dan menunduk pamit pergi.
Setidaknya, itu yang akan kulakukan sebelum si pria itu kembali memanggilku dengan nada sedikit tinggi.
"Hei. Kau salah lagi. Aku tidak ingin yang dingin."
Oh astaga. Jelas-jelas dia tadi memberiku gelas berisi ice americano. Dan sekarang apa? Dia tidak pesan yang dingin? Lalu dia ingin mengubah pesanannya gitu?
Kakiku melangkah mundur sedikit dan menatapnya tanpa beremosi. "Tapi tadi anda memesan yang dingin dan memberi saya kopi yang dingin juga."
"Ya saya sekarang maunya yang panas. Buatkan lagi yang panas."
MWO?! Wah benar-benar manusia ini.
"Tapi--"
Kata-kataku tak dapat berlanjut karna tiba-tiba Bomin menarikku mundur ke belakang dirinya. Ngapain pula anak ini.
"Maaf, Pak. Tapi kami tidak bisa mengubah pesanan seperti itu. Dengan anda meminta yang baru saja tadi, sebenarnya kami sudah melanggar aturan kami."
"Gan--"
"Maaf, Pak. Jika anda masih memaksa dan membuat keributan disini, kami akan memanggil satpam dan polisi. Bagaimana?"
Pria paruh baya itu langsung terdiam, kicep karna kata-katanya dipotong oleh Bomin. Hoo... Bomin bisa keren juga ternyata. Aku tersenyum meledeknya begitu dia menatapku dan membawaku pergi dari meja pria itu.
"Ternyata kau bisa sedikit keren juga, Yoon Bomin," ledekku padanya yang dibalas dengan senyum miring khasnya.
"Baru tau?"
"Dih?"
Gelak tawa kami sedikit mencuri beberapa perhatian pelanggan perpustakaan dan cafe hingga kami harus meminta maaf dan tersenyum lalu kembali ke posisi masing-masing lagi.
***
Karna besok aku tidak kesini, jadi aku pergi ke rumah sakit hari ini seusai shift ku selesai tadi.
Jadi, disinilah aku sekarang. Duduk di samping kasur Nara dan menceritakan kisah pria menyebalkan tadi siang itu.
"Wah. Rasanya saat itu aku hampir saja menuangkan isi kopi ke wajahnya saking kesalnya."
Aku benar-benar berusaha keras menahan emosiku tadi siang loh.
Nara terkekeh mendengarku bercerita. "Aigoo. Bagus sekali temanu ini. Kau melakukan hal yang benar dengan menahan emosimu tadi. Jalhanda jalhanda." Tanganny menepuk punggung tanganku yang berada di kasurnya itu.
"Jika dipikirkan lagi, aku benar-benar kesal. Kau harusnya mendengar saat dia bicara secara langsung. Kalo tadi Bomin tidak menahanku, mungkin aku akan benar-benar meledak."
Nara kembali terkekeh dan tiba-tiba saja dia meminta kantung muntah kepada ku. Aku tanpa babibu langsung membantunya memegangi kantung muntahnya dan membiarkan semua isi perutnya yang ku rasa hampir tidak ada itu untuk keluar.
Tak lama mamanya yang tadi habis mengisi air, kembali ke kamar dan langsung buru-buru menepuk punggung Nara pelan untuk membantunya muntah. Eomeonim juga mengambil alih kantung muntah itu dari tanganku.
"Eomeonim. Aku pergi panggil suster dulu ya." Memanggilnya langsung akan lebih cepat datang daripada memanggil dengan tombol di samping kasur Nara.
Tak perlu waktu lama untuk suster dan dokter datang ke kamarnya sementara aku dan mamanya diminta untuk menunggu di luar ruangan dulu.
Melihat Nara yang terus menerus muntah tak henti, sedikit, ani, lebih dari sedikit melukai hatiku.
Haruskah aku mengesampingkan perasaanku sendiri demi kebahagiaan Nara? Meski berat, mungkin ini kado terbaik yang bisa kuberikan untuknya. Pikiran jeleknya, waktu Nara tidak banyak lagi, aku ingin memberikannya kado yang benar-benar ia inginkan dariku.
Haruskah?
[TBC]
-----------------
21 September 2024
gimana ceritanya sejauh ini guys? ehehehe semoga seru yaaa. aku sbenernya uda nulis cerita ini sejak tahun 2021 kalo ga salah, pas aku masih kuliah semester 3/4 gitu wkwkw terus sempet ngestuck karna hectic banget kan di kampus dan kerja juga aku wkwkwk akhirnya pas uda kelar skripsi dan sidang kemarin, dengan otak yang panas dan tiba-tiba lancar apalagi setelah nonton LOVELY RUNNER (please i love this drama so much), aku langsung lanjut nulis lagi sampe akhirnya aku yakin aku mau upload ini di wattpad wkwkwk i mean, uda bisa yakin dan komitmen kalo bakal upload sampe endingnya nanti wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro