18
Na Byul menatap kosong layar ponselnya di dalam taksi yang melaju kencang. Pesan dari mama Nara yang ia terima di perpustakaan beberapa waktu lalu terus terngiang di pikirannya, membuatnya merasa seperti berada di ujung jurang.
Nara Eomeonim:
Na byul-ah.. eotteohge
Nara kembali tidak sadarkan diri
Ia tiba di rumah sakit dalam waktu singkat, tetapi langkahnya terasa berat ketika ia memasuki lorong yang begitu familiar. Di depan ruang perawatan, mama Nara sudah terduduk di lantai, wajahnya basah oleh air mata, terlihat hancur dalam kesedihan.
Di dalam ruangan, dokter dan perawat masih sibuk berusaha menyadarkan Nara. Setiap detik yang berlalu terasa seperti selamanya bagi Na Byul. Hatinya berdebar kencang, seolah berharap ada keajaiban yang terjadi.
Tapi harapan itu hancur ketika pintu ruangan terbuka. Dokter keluar dengan wajah penuh peluh, terlihat lelah dan kecewa. Ia menggelengkan kepala pelan. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Maaf."
Na Byul menahan napas. Dunia seketika terasa sunyi. Di dalam kamar, perawat perlahan menarik selimut menutupi tubuh Nara hingga wajahnya, menandakan bahwa sahabatnya sudah pergi.
Air mata mulai menggenang di mata Na Byul, tetapi ia tetap berusaha kuat. Kedua orangtua Nara yang pasti lebih menderita dalam kesedihan ini. Namun, tidak peduli seberapa keras ia mencoba, rasa sakit itu mengalir deras di hatinya, membuat tangisnya pecah. Di tengah tangisnya, Na Byul hanya bisa berbisik dalam hati, "Nara-ya, maafkan aku..."
***
Sorenya, di ruang pemakaman yang sepi, Na Byul berdiri teguh. Ia membantu sebisanya, mengurus hal-hal kecil yang mungkin bisa meringankan beban keluarga Nara. Ketika suasana pemakaman mulai lengang, ia mendekati mama Nara yang masih tampak pucat dan lelah.
"Eomeonim, biar eomeonim dan abeonim istirahat dulu, ya. Aku akan urus barang-barang Nara di rumah sakit," ujar Na Byul lembut. Mama Nara hanya mengangguk lemah, terlalu lelah untuk menolak. (Tante dan Om)
Na Byul pun pergi ke rumah sakit, mencari barang-barang peninggalan Nara. Merasa ia perlu melihat beberapa barang yang sudah ia kemas itu, Na Byul duduk di tangga darurat sebentar. Di tangga darurat rumah sakit, ia mulai melihat kotak barang-barang Nara, dan mendapati beberapa pakaian dan buku-buku. Ketika ia memeriksa isi kotak itu, ia menemukan sebuah surat yang terlipat rapi di antara barang-barang lain.
Surat itu ditujukan untuknya.
Na Byul-ege
Na Byul-ah. Jika kau membaca surat ini, artinya aku sudah tidak berada disisimu lagi.
Dengan tangan gemetar, Na Byul membuka surat itu. Tulisannya rapi, tetapi ada getar kesedihan yang bisa dirasakan dari setiap kata yang tertulis.
Aku sudah selesai bertanding dan menang dalam pertandingan ini. Aku sudah lebih dulu pulang ke rumah sebenarnya. Tapi jangan khawatir, kau jangan menyusulku cepat-cepat ya. Kita masih bisa bertemu lagi dan aku selalu menunggumu seberapa lamapun kau datang. Jangan terburu-buru. Nikmati masa hidupmu dengan baik.
Maaf karna aku sudah menjadi beban untukmu selama ini. Maafkan karna aku sudah meminta hal yang menyusahkanmu sampai kau mendapat kata-kata kebencian karna ulahku. Terimakasih karna sudah mengabulkan keinginanku. Aku benar-benar senang sekali.
Maaf karna tidak bisa melihat salju pertama tahun ini bersamamu.
Yang terakhir, terimakasih karna sudah menjadi temanku. Teruslah berbahagia, ya.
Aku menyayangimu.
Love,
Seo Nara.
Surat itu jatuh dari tangannya saat Na Byul duduk di tangga darurat. Air mata yang ia tahan sepanjang hari akhirnya tumpah. Di sana, dalam kesendirian, ia menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala sakit hati yang terpendam karena kehilangan sahabat terbaiknya.
Di luar jendela tangga darurat, salju pertama masih turun perlahan, menyelimuti kota dengan putih yang tenang. Langit sedikit cerah, tapi hati Na Byul terasa lebih gelap dari sebelumnya.
***
Ketika Na Byul kembali ke ruang pemakaman, suasana terasa jauh lebih berat daripada sebelumnya. Orang-orang yang datang untuk memberi penghormatan terakhir pada Nara mulai berkurang, namun rasa duka di udara masih begitu kuat.
Wajah-wajah murung dari keluarga dan kerabat terlihat di setiap sudut. Na Byul, dengan mata sembab dan langkah lemah, segera mendekati mama Nara yang sedang duduk di sudut ruangan, tatapannya kosong menatap peti jenazah yang kini ditutupi kain putih.
Mama Nara tampak sangat lelah. Pundaknya terlihat merosot, matanya yang dulu penuh kehangatan kini dipenuhi bayangan kesedihan yang dalam. Na Byul berjongkok di sampingnya, memegang lembut tangan wanita itu.
"Eomeonim, ada yang bisa aku bantu lagi?" Na Byul berbisik pelan, suaranya serak karena tangis yang masih tersisa.
Mama Nara menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca namun ia berusaha tersenyum tipis. "Kau sudah banyak membantu, Na Byul. Kau sudah seperti keluarga sendiri untuk Nara. Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana lagi."
Sebelum Na Byul sempat menjawab, keributan tiba-tiba terdengar dari pintu masuk ruangan. Suara berisik itu langsung memecah kesunyian yang tadi terasa sakral.
"Itu Na Byul!"
Beberapa orang dengan kamera dan ponsel di tangan mulai memasuki ruangan, meneriakkan nama Na Byul dengan cara yang mengganggu. Mereka adalah fans yang entah bagaimana tahu tentang pemakaman ini, dan kini mereka berdiri dengan sikap tidak sopan, seolah-olah tempat itu bukanlah ruang duka, melainkan panggung bagi mereka untuk mencari sensasi.
Satpam yang berjaga di depan pintu berusaha menahan mereka, namun sebagian dari mereka sudah berhasil masuk, menyelinap di antara para pelayat. Salah satu dari mereka bahkan mencoba mendekati ruangan pemakaman Nara, membuat Na Byul terkejut dan segera bangkit dari duduknya.
"Hei! Kalian tidak boleh di sini!" Na Byul berteriak, suaranya penuh emosi. Ia berjalan cepat ke arah kerumunan itu, wajahnya memerah karena marah. "Ini bukan tempat untuk kalian melakukan hal seperti ini!"
Namun, para fans itu tidak mendengarkannya. Beberapa dari mereka terus mengambil foto, sementara yang lain berbisik-bisik, seolah lupa bahwa mereka berada di ruang pemakaman.
Di tengah kekacauan itu, salah satu dari mereka mulai membawa nama Seok Jin. "Hei, itu Na Byul! Itu dia, yang dekat dengan Jin!"
Sekali lagi, suara riuh mulai terdengar. Mereka mulai berusaha mendekatinya, beberapa dengan ekspresi penasaran, beberapa dengan tatapan penuh kebencian.
"Bagaimana rasanya jadi alasan Jin kehilangan fans?" salah satu dari mereka bertanya, nadanya tajam dan penuh sindiran.
Na Byul merasa seluruh tubuhnya kaku, seperti dihempas oleh badai yang tak bisa ia kendalikan. Kata-kata itu menancap seperti pisau di hatinya, dan ia ingin berteriak, namun tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Ia berdiri di sana, terjebak di antara kesedihan karena kehilangan Nara dan amarah karena sikap para fans yang begitu tak berperasaan.
Melihat ini, satpam akhirnya berhasil mengusir para fans yang semakin membuat kekacauan. Mereka ditarik keluar dengan tegas, meski beberapa masih terus memaki dan berteriak dari luar ruangan. Suara langkah mereka memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang semakin menghantui.
Na Byul menghela napas berat, pandangannya kabur oleh air mata yang mulai kembali menggenang. Ia menoleh ke arah mama Nara, takut bahwa keributan itu telah menyakiti hatinya lebih dalam. Tapi, yang ia temukan hanyalah tatapan lembut, penuh kasih, meski diliputi kesedihan.
"Eomeonim, jwiseonghamnida. Aku benar-benar minta maaf..." Na Byul berkata dengan suara lirih, merasa sangat bersalah. "Aku tidak tahu mereka akan datang. Aku seharusnya lebih berhati-hati."
Mama Nara menggelengkan kepala pelan. "Tidak apa-apa, Na Byul. Aku mengerti. Mereka hanya anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Jangan salahkan dirimu." Suara mama Nara terdengar begitu lemah, seperti seorang ibu yang sudah kehabisan tenaga untuk marah atau bahkan merasa kecewa. "Aku sudah terlalu lelah untuk merasa apa-apa lagi. Hari ini... semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak ada akhirnya."
Air mata Na Byul akhirnya jatuh. Ia mendekat, memeluk mama Nara dengan erat. Tubuh mereka berdua gemetar dalam pelukan itu, terhubung dalam kesedihan yang tak terkatakan. Na Byul berusaha menahan tangis, tetapi semakin ia mencoba, semakin keras isak tangisnya keluar. Segala rasa sakit, rasa bersalah, dan duka yang ia rasakan atas kehilangan Nara seakan tumpah semuanya saat itu.
Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan, dan mama Nara mengusap wajah Na Byul dengan lembut. "Nara selalu bilang, dia bersyukur punya teman seperti kau," ujarnya dengan senyum getir. "Dia pasti sangat bangga padamu."
Na Byul hanya bisa mengangguk lemah, hatinya terasa seperti diremas-remas oleh rasa kehilangan. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap tegar, kenyataan bahwa Nara sudah tidak ada lagi begitu menghantui pikirannya. Sekarang, semua kenangan mereka bersama hanya akan menjadi masa lalu.
Di luar, salju masih turun dengan lembut, menutupi tanah dengan lapisan putih tipis. Salju yang dulu mereka nantikan bersama, kini hanya Na Byul yang melihatnya tanpa Nara di sisinya.
[TBC]
-----------
13 November 2024
hoeeeeeee. Nara meninggal woy:'(((((( astagaaaaa:(((
RIP Seo Nara:( semoga Na Byul kuat ya ges....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro