Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25 (REPOST)

"Kamu udah sampai?"

"Udah dong. Gimana kamu hari ini? Udah pulang atau masih harus live?" tanya Jana sambil menutup tirai kamar hotelnya.

Entah suatu kebetulan atau bagaimana, Jana menginap di satu hotel yang sama. Setelah dia benar-benar satu pesawat dengan Chris, kali ini ia pun satu hotel. Memang sepertinya Febi salah booking hotel. Dari sekian banyak penginapan, mengapa ia menjatuhkan pilihan di sini? Dan sialnya, Edwin beneran sibuk dengan urusan pernikahan Darren. Sibuk memastikan WO yang dipakai berjalan sesuai ekspektasi. Itu lebih tepatnya.

"Aku baru selesai live dan mau pulang. Gini ya rasanya?" ucap Prasa berakhir dengan tawa lirihnya.

"Rasanya apa?"

"Jauh dari kamu. Nggak penting sih. But I dont know why... Di pikiranku udah macam-macam. Please, dont make shit be come true. I hate it," ucapnya kemudian terdengar helaan napas darinya.

Jana tertawa, "Apa sih kamu? Ya nggak lah. Selesai acara aku langsung pulang. Febi udah mesenin tiket PP. Janji, kamu jemput ya?"

"Iya, sayang. Oke, kamu istirahat sana. Aku mau otw pulang."

"Oke, hati-hati di jalan."

"Sayangnya mana?"

"Take care, Sayang. Sayang. Kamu dengar nggak? Sayang! Tuh, puas?"

Gadis itu tidak mampu menahan senyum lebarnya, tertawa sendiri tanpa suara ketika mendengar Prasa terbahak. Ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang masih dengan senyum yang belum surut. That's why I said, everything about Prasa is sweet. Mendengar tawanya saja rasanya sudah sehangat itu. Suaranya memang enak di dengar. Bikin ketagihan. Jana sangat-sangat menyukai itu. Meski dulu sempat menyangkali semua hanya karena takut adanya salah paham.

Jana meletakkan ponselnya sebelum memejamkan mata. Esok dia akan bangun pagi untuk sekedar refreshing sejenak sebelum di sore harinya bersiap turut menyaksikan Darren dan Nada melangsungkan pernikahannya.

***

Seseorang mengetuk pintu kamar Jana ketika Jana sedang memasang tali heels sebelum berangkat menuju pesta pernikahan Darren. Ia bergegas menyambar clutch warna silver yang memang sudah ia siapkan sebagai pelengkap penampilannya. Seorang Chris tersenyum begitu Jana membukakan pintu.

"Hai, ada apa?" tanya Jana menyapa dengan ramah seperti biasanya.

"Mau ke sana bareng? Saya sendirian soalnya."

"Oke, kebetulan saya udah siap jalan. Let's go."

"Teman-teman yang lain?"

"Kita janjian ketemu di tempat."

Laki-laki itu mempersilakan Jana untuk melangkah lebih dulu. Tidak lama kemudian kaki lebarnya, mengiringi langkah Jana menuju sebuah mobil yang memang disediakan oleh Darren untuk membawanya ke acara pernikahan itu.

Sebuah acara pernikahan yang terbilang mewah menurut Jana. Ia memasuki ballroom hotel itu, sesekali membalas sapaan orang yang ia kenal.

"Jana, btw, saya nggak pernah lihat kamu jalan sama pacar. Do you have a boyfriend?" tanya Chris berbasa-basi setelah memberi selamat kepada Darren dan Nada.

Mendapat pertanyaan itu kening Jana mengernyit. Chris adalah satu-satunya kolega yang berani melemparkan pertanyaan bersifat pribadi itu kepadanya.

"Menurutmu?" tanya Jana bersikap misterius. Tangannya mengambil softdrink kemudian meminumnya sedikit hanya untuk membasahi tenggorokannya.

"Saya pikir belum. Seorang Jana pasti akan bikin dunia gempar kalau kamu punya pacar."

Jana tertawa. Satu tangannya bersidekap sambil menggenggam clutch. Ia berdiri saja sudah terlihat elegan. Ditambah make up bold nya malam ini menyempurnakan gaun hitamnya. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak menatap Jana.

"Saya pikir, punya pacar atau tidak itu bukan sesuatu yang harus diberitakan atau diumbar. Itu masuk dalam privacy saya. Jadi nggak ada alasan untuk banyak bicara soal pacar. Apalagi, saya butuh jaringan untuk bisnis saya," jawab Jana dengan senyum simpulnya.

"Tapi bukannya seseorang butuh pengakuan?"

"Sometimes. Tapi untuk seseorang seperti saya, punya waktu masing-masing. Saatnya bekerja, saatnya membangun hubungan dengan kolega termasuk anda, dan saatnya saya dengan kehidupan pribadi saya itu ada porsinya masing-masing."

"Wow, saya malah nggak kepikiran sejauh itu."

Jana baru akan menjawab ketika ponselnya berdering. Ia segera menjauh, berpamit pada Chris dengan kode dari gerakan tangannya. Ini untuk kesekian kalinya laki-laki bernama Prasa itu menelepon dirinya.

"Hei, aku belum balik ke hotel. Masih di acaranya Darren," ucap Jana menahan geram.

"Kenapa kamu yang sewot? Harusnya aku dong yang kesal. Sayang, fotomu serasi banget sama dia."

"Foto apa?"

"Wait, I'll send you a picture."

Sebuah foto saat Jana dan Chris memasuki gedung hotel itu, membuatnya menahan napas. Entah siapa yang iseng. Hanya saja perasaan Darren tidak mengundang pers. Jana kini berbalik, menelepon Prasa.

"Kenapa sih? Aku cuma jalan bareng masuk gedung."

"Iya, jalan bareng. Tapi jangan diulangi lagi. Tahu kan kenapa?"

Tahu sekali. Beberapa bulan mengenal Prasa, Jana hafal betul dengan sikap Prasa yang sulit ditolerir ketika berhubungan dengan seseorang yang bernama Chris.

"Iya!"

"Miss you so bad. Kamu pulang jam berapa?"

"Besok pagi. Aku flight yang pertama."

"Ke hotelnya?"

"Kayaknya sebentar lagi."

Lagi. Laki-laki menutup teleponnya begitu saja. Jana menggeleng pelan kemudian kembali berbaur dengan tamu undangan lainnya. Kali ini ia tidak bersama Chris lagi. Ia lebih memilih menyendiri di satu meja.

"Na, thank you, ya. Lo udah bantuin banyak buat kita," ucap Darren menghampiri Jana bersama Nada.

"Its oke. Bahagia gue itu lihat kalian sekarang, selamat ya?"

"Makasih. Cepet nyusul ya, Na."

Jana tertawa lirih, "Belum ada kandidatnya."

"Prasa."

Jana terdiam pias. Sementara Darren terbahak puas mendengar jawaban Nada. Singkat memang, tapi bikin seret tenggorokan.

"Udah malem, kayaknya gue balik ke hotel. Boleh ya?"

"Mau diantar Edwin?" tanya Darren.

"Nggak usah. Sekali lagi, selamat ya, bahagia selalu."

Gadis itu segera beranjak meninggalkan gedung itu di tengah mereka yang sedang tenggelam dalam pesta. Sekali lagi dia menoleh pada keramaian itu sebelum benar-benar pergi. Sejak dulu, Jana tidak begitu menyukai pesta sebenarnya. Apalagi pesta pernikahan. Alasannya, ya karena Jana merasa bukan bagian dari mereka.

Kakinya melangkah gontai, memasuki lobi hotel tempatnya menginap. Ia tertawa lirih. Sial, kesepian itu diam-diam kembali muncul. Beberapa tahun belakangan, Jana bisa menyembunyikan diri dengan segala kesibukannya. Saat ini baru libur dua hari demi menghadiri pesta pernikahan Darren, ia kembali mampu merasakan kesepian itu.

Di antara langkah kakinya yang sedikit limbung, Jana mengeluarkan kunci kamar hotelnya. Namun ketika ia menegakkan wajahnya, seketika kakinya seperti terpatri di tempat. Beberapa kali ia mencoba mengerjabkan mata, sosok itu masih berada di sana dengan senyum lebarnya.

"Hai,"

Bibir Jana bergetar. Dia? Napasnya kini tersengal-sengal sebelum menghambur, memeluk laki-laki itu. Kali ini bahkan begitu erat.

"Hai, kamu kenapa?"

Suaranya malah membuat Jana tersengal-sengal menahan tangis. Di saat merasa sendiri seperti ini, laki-laki itu muncul di hadapannya seperti sebuah jawaban.

"Sayang?"

"Nggak. Kaget aja. Kok kamu nggak bilang mau ke sini?"

"Kalau bilang-bilang namanya bukan kejutan lagi."

Jana mengangkat wajah basahnya. Ia membiarkan Prasa menangkup wajahnya dengan dua telapak tangannya. Sementara ibu jarinya membebaskan pipi gadis itu dari air matanya. Sesaat terdengar tawa kecil dari Prasa sebelum bibir merah itu melabuhkan kecupannya di dahi Jana.

"Masuk, yuk. Kamu kapan sampai?" tanya Jana melupakan rasa sepinya. Ia menguraikan pelukannya kemudian membuka pintu kamarnya.

"Tadi. Pas kamu keluar dari lobi mau ke acara."

Jana menoleh seketika. Wajahnya terperangah. Demi? Serius? Dalam diam ia mengembuskan napas lega. Untung saja saat tadi ia berada di situasi aman. Maksudnya tidak yang begitu dekat apalagi saling bersentuhan. Jana mengerjabkan mata, seiring dengan tawa Prasa yang kembali berderai.

"Panik gitu mukanya?"

"Nggak aku pikir tadi pas kamu kirim foto itu, di acaranya Darren ada tukang gosip nyelinap."

"Besok aku live sore sampai malam. Jadi aku pikir aku bisa ke sini nyamperin kamu."

"Bisa emang pesan tiket on the spot?"

"Bilang makasih dong sama Febi."

"Febi asistenku ya?"

"Kita udah jadi teman."

Jana berdecih. Satu tangan laki-laki itu kini singgah di pinggang Jana. Gadis itu memutar tubuhnya, tangannya mengalung di leher Prasa, menghapus jarak dari keduanya hingga dahinya menyatu. Harum peppermint yang sudah menjadi candu bagi Jana. Tidak ada hal lagi yang membatasi Jana setelah Jana memutuskan untuk berani menjatuhkan keputusan. Bibir Prasa mulai menggoda Jana. Gadis itu tertawa lirih. Hingga kemudian benar-benar tanpa jarak.

Keintimannya pecah ketika sebuah suara dari seseorang berbatuk kecil. Baik Jana maupun Prasa mengangkat wajah tanpa melepaskan pelukannya. Dalam hitungan detik Jana merasakan remasan kuat di punggungnya. Jana sendiri hanya melempar senyum pada sosok itu.

"Hai, sorry," ucap Jana akhirnya melemparkan senyumannya pada laki-laki itu.

"Your boyfriend?"

"Ya. She is mine, sorry," jawab Prasa penuh penekanan.

Jana terdiam, bibirnya tersenyum penuh arti. Kepalanya kini bersandar di bahu Prasa. Laki-laki itu masih berdiri dengan tenang.

"Saya cari kamu di sana tadi," tuturnya.

"Oya? Ada apa? Saya sudah pulang. Btw, ini waktu bagi saya dengan kehidupan pribadi saya. Chris, we can talk about business tomorrow," ucap Jana melambaikan tangannya kemudian menutup pintu kamarnya.

Menyisakan laki-laki bule yang berdiri dengan bahu luruh. Jana bukan gadis yang bisa ia tebak kehidupannya. Kenapa sampai menyeret rasa penasarannya hingga sejauh ini? Ia hanya melihat Jana sebagai gadis pekerja keras. Dan memang tidak pernah melihat Jana keluar dengan seorang laki-laki. Atau desas-desus dalam circle bisnisnya, tidak pernah ia temukan nama Jana. Makanya dia beranggapan Jana masih available. Namun malam ini, seseorang yang tidak ia kenali, menjadi jawaban Jana atas kehidupan pribadi yang tidak pernah ia endus.

Senyum tipis menahan kecewa menghiasi bibirnya sambil melangkah meninggalkan kamar 1470. Dari sekian banyak orang, mengapa harus Jana yang membuatnya merasa kecewa? Chris melewati kamarnya sendiri. Sepertinya ia butuh udara segar dan sesuatu yang bisa sedikit melupakan rasa kecewanya. Why? Mengapa harus Jana yang ia sukai?

***

Tbc

😆😆😆belok dikit.

25 January 2022
Salam,
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro