Siapa?
Nindi bergerak gelisah dalam tidurnya, tiap jam matanya terbuka dan ia mengambil ponselnya untuk tahu waktu yang ditunjukkan. Setelah itu berusaha memejamkan mata lagi.
Pukul 03.00 Nindi tak lagi bisa memejamkan mata. Di luar hujan sudah reda. Sekelebat bayangan lewat tak jauh dari mobilnya. Nindi penasaran.
Bayangan yang ia lihat bukan bayangan orang dewasa, tetapi anak-anak usia SD. Demi memenuhi rasa penasarannya Nindi keluar dari mobil, lalu mengikuti bayangan yang ia lihat.
"Zahra?" gumam Nindi.
Ya, bayangan itu ternyata adalah sepupu Ardiansyah yang bernama Zahra.
Nindi mengikuti ke mana Zahra melangkah. Dari lapangan menuju ke arah semak-semak. Zahra berhenti di dekat pohon besar dan Nindi bersembunyi di balik semak-semak.
Zahra terlihat seperti berbicara dengan seseorang bahkan tersenyum dan tertawa tetapi Nindi tidak melihat sosok manusia lain di sana hanya sebuah pohon besar.
Zahra bicara sama pohon?
Dia gak gila kan? Atau dia mungkin stress karena ibunya wafat?
Bulu kuduk Nindi meremang melihat keanehan Zahra. Kalau saja ada sosok hantu yang berbicara dengan Zahra di situ ia pasti akan teriak kencang dan lari tunggang langgang, tetapi ini tidak ada sosok apa pun.
Gue mesti balik ke mobil, insting Nindi bicara.
Pelan tapi pasti ia kembali ke mobil, pikirannya masih tak lepas dari keanehan Zahra. Tidak lama kemudian Zahra kembali ke tenda.
***
Nindi berjalan menuju dapur umum. Di sana beberapa temannya sedang sibuk menanak nasi dan membuat lauk. Menyadari kehadiran Nindi, mereka menatap sinis.
"Princess mending jangan di sini. Nanti kalo masak bakal gosong, bikin kita sakit sakit perut."
"Nanti kukunya rusak."
"Mending ikut senam, sana!"
Reaksi para relawan dari kampusnya itu mirip para pelayan sebuah resto asal luar negeri yang sedang jadi pembicaraan banyak orang. Judes, sinis, dan menyebalkan.
Tak mau berdebat dengan mereka yang tak menginginkan keberadaannya, Nindi menuju tanah lapang di mana para pengungsi sedang senam pagi bersama para relawan.
Satu sosok yang menarik perhatian Nindi di tanah lapang itu adalah Zahra. Zahra terlihat bersemangat mengikuti gerakan senam.
Haruskah aku tanya kenapa dia ngomong sendiri semalam?
Apakah aku harus memberitahu Ardiansyah?
Ngomong-ngomong soal Ardiansyah, kemana dia?
Nindi celingukan tetapi tidak mendapati sosok pria yang sedang menjadi incarannya itu.
"Ayo senam, Kak!" Suara gadis kecil itu membuyarkan perhatian Nindi yang terus mencari keberadaan Ardiansyah. Ternyata Zahra mendekatinya tanpa ia sadari.
"Eh, Zahra." Senyum kikuk Nindi pada gadis kecil itu. "Aa Ardi ke mana?" lanjutnya bertanya.
"Aa pergi sama Abi ke pasar."
Nindi mengangguk anggukkan kepalanya. Akhirnya ia tahu keberadaan pujaan hatinya itu.
Menatap wajah gadis kecil itu, kejadian semalam kembali terlintas. Apa gue tanya aja langsung ya kenapa dia semalam ngomong sendiri? Nindi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kakak kutuan ya? Kok garuk-garuk kepala?"
"Kutuan? No way!" Pertanyaan gadis kecil itu menyentil ego Nindi, dia yang selalu menjaga kesehatan dan kecantikan tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki masa dikira kutuan, enak saja.
"Kan kalo kutuan kepala jadi gatel, soalnya kutu suka ngisep darah di kepala," terang Zahra tanpa rasa bersalah.
"Kakak tuh ya, selalu jaga kebersihan kepala dan rambut, rajin ke salon juga untuk perawatan. Gak mungkin lah kutu bakal mampir, nempel di rambut aja si kutu pasti kepeleset. Lihat nih, rambut Kakak halus, lembut, wangi, dan berkilau." Nindi mendekatkan kepalanya ke wajah Nindi. "Nih, pegang aja kalo gak percaya." Nindi mengambil tangan Zahra lalu meletakkannya di rambut halusnya.
Jemari Zahra mengelus rambut Nindi. "Wangi ya rambut Kakak, lembut. Seperti rambut Umi." Zahra menunduk.
Nindi tersentak melihat wajah Zahra yang berubah menjadi suram, ia tidak bermaksud membuat gadis kecil itu bersedih. "Maaf kalo Kakak bikin kamu sedih."
"Gak papa, Kak. Nanti malam juga aku ketemu Umi." Zahra kembali ceria.
Jadi yang semalam Zahra bicara dengan....
Bulu kuduk Nindi meremang.
***
Malam telah larut, kali ini Nindi tidak berada dalam mobil. Ia bersama teman-temannya dan pengungsi lain di dalam tenda. Matanya tak bisa terpejam, teringat akan Zahra. Apakah gadis kecil itu akan ke tempat pohon besar itu lagi? Nindi penasaran.
Nindi merapatkan jaket dan kupluk yang ia pakai, dingin terasa menusuk meskipun malam ini tidak turun hujan. Matanya mengintip pada lubang tenda terpal, yang berada tepat di sisinya berbaring. Jemarinya yang tertutup sarung tangan membuka lubang itu sedikit lebih besar.
Nindi segera duduk begitu melihat kaki kecil yang melintas. Zahra. Gadis yang seharusnya tidur di tenda berbeda dengan Nindi itu berjalan menuju tempat yang sama yang dikunjunginya semalam.
Nindi keluar dari tenda, bukan untuk langsung mengikuti Zahra tapi mencari Ardiansyah agar pria itu menyaksikan langsung kelakuan aneh sepupunya. Nindi tak ingin dianggap pembohong atau cari perhatian.
Nindi tahu malam ini Ardiansyah bertugas jaga malam, karena itu menuju ke lokasi pos jaga.
"A, A Ardi!" Nindi percaya diri memanggil Aa pada Ardi karena malam ini sunyi. Kalau ada mahasiswa lain tak mungkin ia sematkan panggilan itu.
"Ada apa? Kok belum tidur?"
"Zahra."
"Kenapa Zahra?"
"Dia berjalan ke sana baru saja, malam kemarin juga." Nindi menunjuk ke arah pohon besar itu berada.
"Yang bener kamu?"
"Bener, ayo ke sana!" Nindi menarik tangan Ardiansyah. Pria itu menepisnya.
"Saya ambil senter dulu."
Ardiansyah mengambil senter yang ada di pos lalu berjalan mengikuti langkah kaki Nindi.
Nindi berbisik, "Tuh, di sana." Telunjuknya menunjuk Zahra yang sedang berbicara sendiri.
"Astaghfirullah, Zahra!" Sontak Ardiansyah berteriak memanggil sepupunya.
Zahra menoleh, tapi bukan wajah manis yang mereka dapati. Matanya melotot dengan seringai yang membuat Nindi bergidik ngeri.
Ardiansyah berlari ke arah Zahra diikuti oleh Nindi. "Ayo pulang, ngapain malam-malam di sini!" Tangan Ardiansyah menarik pergelangan tangan Zahra.
"Zahra mau di sini!" tolak Zahra dengan suara yang berbeda, suaranya terdengar serak dan bukan suara anak-anak. Tangan Ardiansyah pun dihempaskan.
"Pulang, Zahra!" pinta Ardiansyah sekali lagi.
Zahra menggeram, seperti bukan manusia. Matanya menatap tajam pada Ardiansyah kemudian pada Nindi. Lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
"Nindi, panggil abinya Zahra, sekarang!" perintah Ardiansyah.
"I...iya." Gemetar Nindi menjawab. Baru pertama kali ini ia mengalami hal seperti itu.
Nindi berlari cepat menuju tenda lelaki tempat ayah gadis kecil itu tidur.
***
Tengok ceritaku yang lain ya, ada cerita baru nih. Suami Untuk Diriku, judulnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro