Mertua Idaman
"Kamu, mundur! Ikut saya," perintah Ardiansyah pada Nindi.
Mahasiswi baru yang sedang mengikuti ospek ini segera mundur, patuh pada perintah seniornya yang merupakan Sekum BEM.
Berbagai prasangka berputar di otak cantik Nindi. Ia merasa tak berbuat salah tetapi kenapa seniornya ini menyuruhnya keluar barisan dan mengikuti langkahnya.
Mahasiswa semester 5 itu berhenti di depan sebuah ruangan dengan tulisan Ruang Kesehatan di atas pintunya. Nindi penasaran apakah Ardiansyah cenayang? Sedari Subuh tadi Nindi memang sudah merasakan perutnya mulas, tetapi ia memaksakan diri berangkat ke kampus karena tak ingin bolos ospek.
"Masuk!" Suara Ardiansyah menginterupsi lamunan Nindi.
"I... iya, Kak."
Gua mau diapain? Ini ruangan juga sepi banget, batin Nindi bicara.
Ardiansyah menuju ke arah sebuah lemari dan membukanya, dua buah benda ia ambil.
"Nih, pakai! Kamu tembus." Ardiansyah memberikan satu buah pembalut dan celana dalam sekali pakai.
Nindi berusaha melihat bagian belakang tubuhnya. Ia menarik rok hitamnya dan memang ada sedikit noda di sana. Ia merasa sangat malu pada seniornya itu. Nindi menerima 2 benda itu sambil menunduk. "Makasih, Kak."
"Sama-sama. Kamu istirahat aja di sini. Nanti saya ke sini lagi." Ucapan Ardiansyah terdengar datar.
Mahasiswa berkulit sawo matang itu pergi setelah menutup pintu.
Nindi segera memakai pembalut dan celana yang diberikan oleh Ardiansyah. Seketika hatinya menghangat, ternyata senior yang terkenal tegas itu perhatian padanya. Rasa mulas di perutnya kembali datang. Nindi memutuskan untuk berbaring.
Pintu diketuk dari luar. Nindi segera duduk di brankar ruang kesehatan.
"Boleh saya masuk?" Suara bariton milik Ardiansyah terdengar.
"Masuk aja, Kak."
Satu kantung keresek dibawa Ardiansyah dan diberikan pada Nindi. "Ini, untuk meredakan nyeri haid kamu."
Nindi melihat isi keresek, dua botol jamu pereda nyeri haid ada di sana. "Kok Kakak tau perut saya sakit?"
"Perempuan kan kalo lagi haid perutnya sakit, kata Bunda begitu."
"Oh, Bundanya Kakak yang ngasih tau."
"Iya, Bunda juga bilang. Minimal sebulan sekali perempuan pasti merasakan sakit, karena itu aku harus sayang sama perempuan." Ardiansyah mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan.
"Jadi karena itu Kakak sigap membantu aku, bundanya Kakak baik banget ya." Nindi menarik kesimpulan.
Ardiansyah tersenyum. "Aku balik ke anak-anak dulu, kamu istirahat aja di sini. Kalau udah enakan baru kembali ke barisan. Atau kalau terlalu sakit, kamu boleh pulang."
Nindi merasa kagum pada seniornya yang satu ini, jarang sekali lelaki bisa sesensitif ini terkait kebutuhan perempuan. Terbersit dalam benak Nindi untuk menjadikan Ardiansyah seniornya menjadi pacar yang ke sekian atau mungkin pacar terakhirnya.
"Makasih, Kak. Oh ya, titip salam buat bundanya Kak, kayaknya bundanya Kakak mertua idaman deh. Mau dong jadi menantunya." Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir merah Nindi.
Ardiansyah tersenyum tanpa menanggapi dengan kalimat apapun lalu keluar dari ruangan.
***
"Bun, tadi aku nolongin adek kelas yang lagi haid. Terus pas aku cerita sedikit tentang Bunda, eh dia mau jadi menantu Bunda katanya." Ardiansyah berucap sambil berbaring.
"Dia gak terlalu cantik tapi senyumnya manis, kayak Bunda."
"Terus dia tadi titip salam buat Bunda."
Ardiansyah memiringkan tubuhnya. "Katanya Bunda itu mertua idaman, loh," ucap Ardiansyah sambil mengusap sayang nisan ibunya lalu mengecupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro