✉ 4 ✉
Sabtu ini tampak cowok—berbadan kurus dan juga pendek, berkulit putih dengan freckles di wajahnya—sedang rebahan di ranjang king size. Matahari memasuki celah jendela sehingga membuat silau matanya saat menoleh ke arah tersebut.
Felix tau bahwa sekarang sudah mulai terang. Namun, saat ini ia malas beraktivitas. Mandi saja belum, padahal jam beker di atas meja kecil, di samping ranjangnya menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit.
Tidak biasanya Felix begini. Hal ini disebabkan oleh Jisung menjauhinya. Saat libur biasanya ia bersama Jisung. Sekarang sepi sunyi serasa di dunia ini sendiri tanpa seorang pun menemani.
Selagi larut meratapi nasip, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar.
Tok Tok Tok!
Felix menoleh ke arah pintu. “Siapa?!” teriaknya.
“Bi Inem, Den,” jawab seseorang—merupakan salah satu pembantu di rumahnya— berdiri dibalik pintu kayu putih.
Felix bangkit dari ranjangnya dan melangkahkan kaki mendekati pintu. Kemudian, ia memutar anak kunci dan menekan kenop pintu di hadapannya.
“Ada apa, Bik?” tanyanya dengan wajah lesu dan rambut berantakan seperti sarang burung.
“Pagi tadi, Den. Den Felix tidak sarapan. Apa perlu Bibik antarkan makanan atau Den Felix ingin dimasakin sesuatu?”
Umur Bi Inem sudah lebih dari empat puluh. Garis-garis usia tampak diwajahnya. Rambut yang panjang sebahu dikuncirnya.
“Apa aja deh, Bik. Semua masakan Bibik, Felix suka,” jawabnya sembari tersenyum hingga matanya menyipit hampir tidak terlihat bola matanya.
“Baik, Den.Bibi izin turun, mau ke dapur.”
Felix mengedipkan kedua matanya lalu mengangguk sebagai jawaban.
Bi Inem berlalu meninggalkan kamar Felix, sedangkan cowok itu kembali rebahan di kasurnya. Sambil menunggu makanan, ia bermain game online di ponselnya.
***
Kegiatan Felix siang ini yaitu main Mobil Lejen, hanya berlaku kurang sejam dan ia mulai bosan.
Setelah itu nonton TV sambil makan cemilan. Ia menonton Spongebob yang menurutnya sangat lucu. Pada awalnya ia terhibur sampai terkekeh-kekeh. Namun, lama-lama ia tidak merasakan kelucuan lagi. Di raihnya ponsel yang tergeletak di atas karpet beludru tepat di samping kirinya. Ia melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul empat belas lewat lima puluh menit.
Kenapa waktu berjalan sangat lambat hari ini?
Felix bertanya pada batinnya.
“Ahh!!!” Felix kesal.
Sedari dulu Felix sering kesepian, tapi hari ini yang lebih parah baginya.
Setelah mondar-mandir seperti setrikaan, Felix memutuskan untuk berenang. Tidak perlu keluar rumah karena di rumahnya yang megah sudah terfasilitasi kolam berenang. Walaupun jarang sekali ia berenang di rumah. Seringnya di kolam barenang umum bersama Jisung dan teman-temannya yang lain.
***
Felix sudah turun dan hampir sampai di dekat kolam berenang. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang sangat dibencinya berada di dalam sana.
“Aish.” Felix berdecak kesal. Ia sangat ingin berenang sekarang.
Felix melanjutkan langkah kakinya menuju kolam berenang. Jeno yang melihat kehadirannya berenang ke tepi lalu keluar dari genangan cairan bening itu.
“Hai, Lix!” sapa Jeno mendongak sembari mengangkat telapak kananannya dan juga tersesenyum meperlihatkan gigi putihnya.
Jeno hanya mengenakan celana renang hitam, sedangkan Felix masih mengenakan handuk kimono berwarna biru laut dan berdiri di hadapan Jeno yang sedang duduk di tepi kolam.
“Ck, nggak usah hai-hai, deh! Lagian siapa yang mau akrab sama lo, tukang drama,” ucap Felix menatap tajam Jeno dengan membesarkan matanya.
“Lu kira gue mau akrab gitu sama lu? Nggak,” jawab Jeno menatap serius Felix, kemudian ia tertawa, “ha.. ha.. ha.. Seorang Jeno nggak mau berteman sama anak bodoh kayak lu!”
Felix tersinggung dengan ucapan Jeno. Ia akui bahwa omongan Jeno mengatakan dia bodoh benar, apa adanya, tapi ucapan itu membuat dirinya terasa terhina.
“Gue memang bodoh, tapi gue nggak palsu kayak lu sama nyokap lu. Lu lupa ya, siapa pemilik rumah semegah ini?” Felix menunjuk ke arah kanan sedit meninggikan lengannya, tetapi matanya menatap tajam Jeno.
“Milik gue,” ucapnya percaya diri sambil telunjuknya mengarah ke dadanya lalu ia tersenyum licik seolah dia lebih unggul dari seseorang dihadapannya.
Jeno bangkit dari duduknya dan menatap Felix tajam berapi-rapi. Kemudian, ia mengambil handuk kimono yang tergeletak di atas kursi putih lalu mengenakannya. Ia pergi meninggalkan Felix yang tampak tersenyum puas membuat emosinya meluap, tapi sayang ia tidak bisa membalas.
Setelah Jeno berlalu, barulah Felix berenang dengan nikmat. Ia merasa puas karena hari ini membuat wajah Jeno memerah menahan kekesalan.
***
Bi Inem kelupaan sesuatu. Ia mengambil sebuah benda yang terdapat di dalam laci kamarnya dan bergegas menuju kamar Felix yang terdapat di lantai dua.
Kebetulan sekali, sosok yang ingin ditemui sedang berjalan menuruni anak tangga. Bi Inem menghampiri Felix.
“Ada apa, Bik?” tanya Felix.
Bi Inem menjulurkan sebuah amplop berwarna merah muda yang tampak kerimuk dengan garis lipatan-lipatan. Felix mengerutkan keningnya melihat benda itu.
“Ini amplop tadi bibik temukan di saku celana sekolah Den Felix.”
Felix mengambil amplop itu dan tersenyum pada pembantunya itu.
“Makasih, Bik.”
“Sama-sama, Den.”
Felix membalikkan badannya dan menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya. Bi Inem pun berlalu kembali ke dapur.
Setiba di kamarnya Felix duduk di tepi ranjang. Ia tidak menyadari amplop itu dimasukkannya ke dalam saku celananya. Karena tidak ada kerjaan, ia membaca isi surat tersebut.
Aku tau kamu tidak membaca isi suratku dan membuangnya ke tong sampah
Tapi aku tidak akan menyerah
Aku akan terus memasukkan suratku ke dalam lockermu
Karena aku yakin kamu akan membacanya
Lagi-lagi si pengirim tidak menuliskan namanya. Felix melemparkan selembar kertas itu asal hingga terjatuh di lantai. Ia masih berpikir ini ulah orang iseng. Lagian siapa pula yang suka pada cowok sepertinya.
Jangan lupa votmen-nya
😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro