
Stranger
Cast : Kim Hanbin
—Ooo—
Di sinilah aku sekarang. Sebuah tempat terpencil, jauh dari kegaduhan kota besar. Hanya salah satu tempat tersudutkan dengan suasana pagi yang begitu menyejukkan. Tempat yang sama di mana aku bisa menemukan banyak hal yang lekat dengan keaslian alam. Suara riuh kicauan burung yang menyanyi—menjadi melodi unik tersendiri di pagi hari. Begitu juga suara percikan air gunung yang seolah diberikan percuma untuk semua penduduk, serta udara segar yang diterima baik oleh paru-paruku yang terbuka lebar.
Di sini. Tempat yang menjadi tempat pelarianku.
"Selamat pagi, Nona Kim," sapa seorang pria baya yang setiap harinya selalu membopong cangkul di punggung belakangnya, "bagaimana tidurmu? Semoga kau betah tinggal di sini."
Aku tersenyum padanya. Sepertinya aku betah di sini, meski ini sudah jadi hari kelima aku melarikan diri. Benar! Aku seorang buronan.
Sayangnya, bukan polisi yang mencariku. Melainkan, keluargaku. Singkat cerita, aku kabur dari perjodohan yang direncanakan Ayah dan Ibuku. Walau bukan rencana yang wow, tapi aku berhasil menghilang sehari sebelum perjodohan dilakukan. Melalu jendela kamar, aku menjadikan celah itu sebagai jalan keluar demi mendapatkan kebebasanku.
Terlebih mereka memperlakukan pernikahan selayaknya bisnis. Mungkin hal ini lumrah untuk anggota keluargaku yang lain, tetapi tidak denganku. Sangat sulit bagiku menerima doktrin lama yang katanya selalu berlaku di keluarga. Ya, aku sama sekali tak tertarik menikah dengan orang yang tidak dikenal.
Jangankan kenal, aku bahkan tak mengetahui rupanya. Atau namanya. Ditambah mereka bilang perjodohan ini sudah ditetapkan dan langsung direstui Kakek. Oh, ayolah ... Kakek bahkan sudah ada di alam berbeda. Apa dia akan memberi angpao nantinya bila aku menikah? Jangan konyol!
Hipokrit. Begitulah aku menilainya. Menilai mereka. Pastilah ada yang bernilai lebih dari sekadar mengatakan bahwa perjodohan ini sudah diaturkan kedua belah pihak sejak lama. Dan kenapa baru sekarang? Setelah aku berumur 23 tahun, aku baru diberi tahu kalau hidupku sudah ditetapkan jadi milik orang lain. Apa mereka tidak berpikir seharusnya bertanya padaku? Ini hal yang penting. Penting untukku!
Ah ... sudahlah. Semuanya sudah terjadi. Kabur ... sudah jadi pilihanku.
***
"Apa benar di sini tempatnya?"
Berbekal secarik peta lecek, kuputuskan untuk melakukan hal-hal yang belum pernah kulakukan selama hidup. Contohnya seperti saat ini. Mendaki.
Terbilang aku amatir. Bukan! Aku adalah pemula.
Menapaki jalan terjal, berbekal dua buah mentimun dan sebotol minuman, aku siap memulai perjalananku. Semua ini memang ide gila, tetapi hey! terkadang butuh hal-hal seperti ini untuk membuatku tetap waras.
Sial! Awalnya kukira akan mudah. Namun, baru setengah jalan, aku baru sadar kalau jalan yang kuhadapi semakin terjal. Bisa-bisa aku sampai terlambat tanpa sempat menikmati matahari terbenam.
Satu hal yang pasti, aku tidak akan mengulang hal serupa esok hari seandainya aku terlambat memenuhi satu pinta yang terbilang sederhana ini. Berbekal niat teguh, aku kembali menjajakkan langkah—setapak demi setapak—yang kuyakin akan membawaku hingga puncak.
"Kya!" Suaraku terbilang kuat; memekik di hutan ini. Sendirian pula.
Kurasakan jelas ada yang merambat dari bawah kakiku. Dengan mata terpejam aku masih merapal doa dalam hati. Mungkinkah itu binatang yang paling kutakuti? Atau serangga?
"Aku lapar ...."
Sebelah netraku terbuka dan melihat ke bawah. Bukan binatang, tapi seorang manusia yang memegang tanganku.
Bagaimana bisa aku tidak melihat dia yang ternyata tertidur di hutan senyap seperti ini? Menutupi dirinya dengan jaket berwarna coklat, kukira awalnya dia adalah gundukkan tanah. Beruntung aku tidak menginjaknya.
"Kau tidak apa-apa?" Sembari mengeluarkan mentimun yang kubawa, aku menawarkan padanya.
"Ah ... akhirnya! Terima kasih."
Sungguh orang yang aneh. Dia terlihat begitu tenang dan tak ketakutan. Mulutnya mulai mengunyah mentimun yang kuberi asal padanya. Sama sekali tak terlihat curiga seandainya aku memberi racun padanya. Bagaimana bisa ada orang yang hidup seperti ini?
"Kau bisa berdiri?" tanyaku yang sepertinya diabaikan olehnya.
Butuh waktu yang singkat baginya melesapkan satu buah mentimun ke perutnya. Kemudian menepuk-nepuk celananya saat sudah berdiri.
"Kau juga mau ke atas?" Jarinya menunjuk pada puncak gunung yang belum berhasil kutaklukkan. Pria ini, dia bahkan tidak menjawab tanyaku.
"Kalau begitu aku akan membantumu," lanjutnya tak menunggu jawabanku.
Dia benar-benar aneh. Tersenyum pada saat aku mencurigai dirinya yang menawarkan pertolongan. Padahal tidak ada yang memintanya bersikap sok baik.
Dia berkata lagi, "Tenanglah. Aku bukan psikopat yang akan membunuhmu setibanya di atas. Lagipula aku sudah pernah mendaki gunung ini. Jadi aku yakin bisa membawamu tiba ke atas tepat waktu."
Dia terus berceloteh di saat aku semakin waspada. Seolah bisa membaca pikiranku yang curiga padanya.
Namun, baiklah. Aku juga tidak punya pilihan lain. Lagipula ia tak akan mendapatkan apa-apa seandainya benar seorang psikopat. Aku yang sekarang tak lebih dari tuan putri yang gelandangan. Mencari peruntungan menyaksikan matahari terbenam. Permintaan sederhana untuk kehidupan naif yang selama ini kujalani.
***
"Apa ini sepadan dengan perjuanganmu?"
Kelopak mataku mendengar pertanyaannya. Terlebih pertanyaan itu terlontar dari pria yang kuanggap sangat aneh.
"Tentu saja. Semua ini sepadan." Aku tidak berbohong. Buktinya, kabur selama lima hari bisa membuatku menikmati mentari dengan bebas. Ini yang Kuba makan kebahagiaan sederhana, tapi sedikit rumit. Intinya ... aku suka. Aku hanya tidak begitu pandai mengungkapkannya.
Menjadi burung dalam sangkar? Itu juga bukan diriku. Memang, keluargaku bukan tipe pengekang. Mereka masih memperbolehkanku main bersama teman-teman yang lain. Aku juga diberi akses pakaian yang kuinginkan. Namun, sayang. Tidak ada yang bertanya padaku apakah mereka—teman-teman yang bersamaku itu—adalah orang yang kusukai? Kuinginkan? Bukankah mereka bagian dari kolega keluargaku?
Sama halnya dengan masalah baju. Meski ia bebas memilih, tetap saja ia selalu disorot tentang mana yang pantas mana yang tidak. Harus selalu mengutamakan etika dan keeleganan seorang wanita berkelas.
Aturan. Terlalu banyak batasan-batasan yang membuatku sesak. Baik tentang yang kuinginkan atau yang harus kulakukan. Kebebasan ... harga yang mahal bagiku.
"Namaku Kim Hanbin .... "
Sebuah uluran tangan darinya masih membuatku ragu.
"Kim Sohyun ...." Tidak menyambut ulurannya, kurasa sudah cukup baik mengucapkan nama saja. Tetap memperkenalkan diri.
Pria itu berdehem ringan sebelum secara perlahan menarik tangannya kembali. Sepertinya ia kecewa karena aku terlihat sedang menolaknya.
"Hari akan segera gelap. Semakin sulit untuk turun kalau terlalu gelap!"
Pria bernama Hanbin itu mengingatkan. Padahal aku masih mau ada di sini. Bayangkan saja, butuh
upaya beberapa jam untuk tiba di sini. Dan sekarang, belum ada dua puluh menit aku menghabiskan waktu, kini waktunya pergi? Yang benar saja!
"Baiklah. Kalau begitu aku pergi duluan. Senang berkenalan denganmu, Nona Kim."
Mulutku membulat. Aku tidak percaya pria kim itu benar-benar meninggalkanku. Dia turun gunung sendirian. Ternyata bukan gertakan belaka.
Namun, sudahlah. Kurasa menghabiskan waktu sepuluh menit lagi tidak akan terlalu buruk. Sayang, aku salah. Baru beberapa menit, aku bisa melihat langit sengaja tergulung kelam dengan cepat.
Sial! Langit gelap ini mempersulit langkahku untuk bergegas turun. Aku bergerak tak ubah layaknya sedang meraba. Menebak asal setiap langkah yang harus ditapaki, walau kadang tak selamanya tebakan itu beruntung.
"Kya!"
Sebuah tangan terulur dan tepat menangkap lenganku. Berhasil menahan tubuhku yang tadinya bakal terjatuh dengan konyol.
"Kau ...?"
"Senang berjumpa denganmu lagi, Nona Keras Kepala!"
Menyebalkan, tapi mau bagaimana lagu. Aku bersyukur pria Kim itu kembali dan menolongku. Walau tak menampik, ucapannya tak lagi seramah tadi.
"Kau mau aku membiarkanmu terjatuh lagi? Atau kali ini memegang tanganku dan percaya pada tuntunanku?"
Pilihan yang sulit. Di satu sisi, aku masih curiga pada pria yang mengenakan plester di mukanya dengan bare face yang membuatnya tidak terlihat meyakinkan. Namun, di sisi lainnya, jatuh juga bukan pilihan yang menarik untuk membuatnya terjebak di hutan gelap.
Pria bernama Hanbin tampak menyeringai. Sepertinya dia suka membuatku tak berkutik.
***
Layaknya anak kecil, aku begitu bersemangat melihat cucuran angin pegunungan yang jernih dan sangat menyegarkan. Memaksa sisi anak kecilku menyeruak bebas dan ingin terus menikmati dingin ini.
"Biar kutebak! Pasti ini pertama kalinya kau ke sini. Bagaimana? Tebakanku benar, 'kan?"
Ucapan pria Kim itu menyabotase suasana hatiku yang kontan murung. Dia tertawa selayaknya sedang mencemooh.
"Kabur?"
Lagi, pria yang sama mengatakan hal yang kali ini membuat dahiku mengernyit.
"Berarti benar! Wow ... kenapa aku bisa sehebat ini menebak?" puji Hanbin pada dirinya sendiri.
"Silakan makanannya, Tuan Kim."
Kalau sudah begini, aku menyesal mengikutinya saat dia menawariku makan malam. Akan lebih bila aku langsung kembali ke penginapan. Perlu diingat alasan aku memenuhi permintaannya karena dia yang menawarinya. Katanya untuk balas budi untuk mentimun yang kuberikan padanya.
Bertempat di salah satu rumah penduduk, juga tempat pria Kim itu menginap, seorang bibi paruh baya sudah mempersiapkan makan malam. Makan malam terbuka, di salah satu meja lebar yang terletak di luar rumah.
"Sepertinya kau cukup dikenal," ujarku sambil mencicipi rasa makanan dengan ujung sumpit.
Aku merasa dia sudah sering ke sini. Buktinya sesaat kami berhasil tiba di kaki gunung, beberapa pria baya begitu ramah menyapanya. Seperti sudah mengenal pria yang duduk di depanku ini cukup lama.
"Aku memang terkenal. Semua orang di sini memang mengenalku. Hanya kau yang tidak!"
Dia menunjukku dengan dengan ujung sumpitnya. Pria itu sungguh mengesalkan dengan rasa percaya dirinya yang tinggi.
"Cih ... tidak mengenal dirimu malah jadi keberuntunganku!"
Kamu berdua mulai menikmati makanan sambil sesekali melemparkan sindiran-sindiran halus.
Hanbin mendengkus sinis, tapi tak lantas menghentikannya memasukkan potongan-potongan makanan ke mulutnya.
"Aku sering ke sini sendirian. Awalnya untuk menyesali kelahiranku yang terlihat mewah, tetapi malah terlihat menyedihkan. Ketika semua jalan hidupku tak ubah seperti skenario yang sudah diatur, termasuk masalah pasangan hidupku!"
Pembicaraan yang menarik. Tanpa sadar atensiku terus menatap dia yang seperti sedang membaca isi hariku. Kisah hidup yang sama.
"Kau juga kabur?" tanyaku semangat.
Pria itu mengangguk. "Dulu. Sekarang tidak lagi. Setelah aku sadar tidak semuanya terlihat buruk. Dengan yang aku miliki saat ini, ternyata aku bisa mengubah hidup orang lain. Sesuatu yang dulunya kuhindari."
"Bukankah tidak adil ketika kau harus menjalani seumur hidupmu dengan orang asing yang tak kaukenal? Misalnya menjalani pernikahan tanpa cinta? Ucapanmu terlalu naif, Tuan Kim," tandasku dengan sedikit sindiran.
Pria itu tersenyum. "Mungkin benar. Tapi bukankah luar biasa ketika seseorang yang dianggap asing, tiba-tiba menjadi orang yang paling berarti dalam hidupmu?"
Masih menyimak setiap kata yang terlontar, aku terdiam. Sekali lagi, Hanbin terlihat sangat percaya diri dengan ucapannya.
"Kita semua awalnya bertemu sebagai orang asing. Hanya masalah waktu yang akan mengubah hubungan seseorang. Apa itu menjadi seorang sahabat, teman, keluarga, atau mungkin menjadi pasangan seumur hidup. Bagiku tak perlu waktu bertahun-tahun untuk membuat ia mencintaiku, selama ia mau membiarkan aku masuk mengisi hidupnya!"
Kalimat yang panjang, tapi anehnya aku sama sekali tidak bisa membantah.
"Bagaimana menurutmu, Nona Kim?"
Hipokrit. Selama ini aku bilang begitu. Bukankah hari ini juga semestinya sama? Namun, kenap bibir ini kelu sekadar ingin menyangkal?
***
Suasana pagi yang sama dengan hari sebelumnya, tapi tidak dengan bunyi ketukan dari luar pintu yang terdengar menuntut. Membuat mata yang enggan terbuka, kini terpaksa terjaga.
"Nona Kim!"
Aku spontan memundurkan langkahnya tatkala menemukan dua pria tegap berjas hitam lekas menarik tangannya.
"Lepaskan aku!" pekikku tak sanggup melawan.
"Maafkan kami, Nona. Tapi ini perintah dari tuan besar!"
Sial! Aku terus menggeliat. Berusaha melepaskan diri, tapi masih gagal hingga keduanya berhasil membawaku dengan paksa ke mobil.
Kurang dari empat jam, mereka berhasil membawaku pulang. Kali ini benar-benar pulang ke rumah. Tidak jauh dari yang sudah-sudah, kali ini pun aku masih dikurung di kamar. Hanya saja ada yang berubah. Jendela kamarku dikunci. Agaknya mereka sudah belajar dari pengalaman dan tak membenarkanku kabur dengan mudah.
Aku benci keluargaku. Bahkan aku tidak diperkenankan berpamitan dengan penduduk desa yang sudah berkenan menampungku. Bukan! Selain itu ... aku belum berpamitan dengan Kim Hanbin. Meski aneh, dia adalah pria yang meninggalkan kesan unik.
"Sohyun-ah ...."
Aku lekas menoleh ke arah sosok anggun yang baru memasuki kamar. Siapa lagi ... dia adalah Ibu.
"Hyun, mengertilah. Ini yang terbaik. Ibu dan Ayah tidak akan memberikan yang terburuk untukmu. Jadi Ibu mohon, temui mereka. Sekarang mereka ada di bawah menunggumu."
Ini yang terbaik kata mereka? Mungkin. Namun, bagaimana kalau mereka salah? Bahwa semua ini merupakan bencana?
Kita semua awalnya bertemu sebagai orang asing.
Ganjil. Kenapa kalimat itu tiba-tiba melintas. Mengingatkannya lagi pada Hanbin. Padahal itu pertemuan pertamanya, tetapi meninggalkan kesan mendalam.
Satu per satu anak tangga mulai membawaku menemui calon keluarga baru. Sekarang ini tidak ada jalan lain selain memulang nasibku pada takdir. Bila takdir yang membawaku pada perjumpaan yang unik, maka kali ini juga aku berharap pertemuan ini bisamemutar hidupnya pada akhir yang seperti banyak orang harapkan—bahagia.
"Ah ... maafkan putraku sudah bilang akan datang terlambat. Dia baru saja pulang dari—"
"Maaf. Aku segera buru-buru ke sini saat mendapat kabar putri Kim sudah kembali. Maafkan karena aku terlambat!"
Suara yang sama. Perawakan yang sama. Senyum yang sama. Bedanya, ia terlihat rapi. Tak ada rekat plester di wajahnya.
"Perkenalkan, namaku Kim Hanbin. Senang berjumpa denganmu, Kim Sohyun-ssi." Tangan itu terulur untuk kedua kalinya.
Menyisakan aku yang tertegun dengan lelucon lainnya. Aneh, mata ini malah memerih dan rasanya ingin menangis.
"Bolehkah kuanggap kau bersedih karena merindukanku?"
Kepercayaan diri pria itu sungguh sulit dibantah. Akan tetapi, itu yang menjadi keunikannya. Berhasil membuat tangis dan tawa ini lekas berganti.
"Senang berkenalan denganmu, Tuan Kim."
** THE END **
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro