Part 14
Aloha 😁😁
Ka_Ra update nih menemani sore kalian, yuk diramaikan ya.
Jgn lupa vote lalu coment yg buanyak ya 😄😅
Happy reading 😉
______________________________________
Hari ini Kara pun enggan untuk masuk kerja dan dia masih tetap berkurung di kamar sejak kemarin sore, bahkan panggilan dari Rafa tidak diindahkan oleh Kara. Kara tidak ingin bertemu dengan siapapun karena emosinya sedang tidak stabil. Bahkan sejak kemarin Kara terus meraung di dalam kamar dan itu membuat mang Diman dan mpok Minah khawatir tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan Kara.
Bahkan Kara melewatkan jam makan sejak kemarin pagi sampai menjelang siang ini, dan dia juga tidak berhenti menangis. Ponsel Kara berdering dan dia melihat nama Andre tertera di layar lalu tanpa pikir panjang Kara menggeser tanda hijau.
“Dek, keluarga kamu sudah sampai di rumah sakit umum Jakarta sekarang. Aku juga lagi di jalan menuju ke sana, kamu mau dijemput aku atau Rafa gak?” tanya Andre dari sambungan telepon.
“Gak, Kak. Biar aku ke sana sendirian aja, ini aku langsung jalan ke sana,” ucap Kara lalu memutuskan panggilan secara sepihak, di saat seperti ini hanya kesendirian yang dibutuhkan Kara. Karena dengan kesendirian dia tidak perlu bersandiwara kuat dalam menghadapi ini semua, yang dia perlukan saat ini adalah kekuatan dari Tuhan bukan dari orang lain.
Mpok Minah dan mang Diman hanya memandang Kara dengan tatapan kasihan, mereka melihat Kara seperti raga tak bernyawa. Lingkaran mata menghitam, wajah terlihat kacau bahkan Kara mungkin tidak menyadari kalau dia belum mengganti pakaian sejak kemarin. Hati mereka terenyuh melihat Kara yang dibendung kesedihan luar biasa, bahkan mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi kesedihan gadis itu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit kembali Kara menangis dan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Seperti ada bongkahan besi panas yang menghujam menusuk raganya saat ini, bahkan sakitnya tidak bisa dia bagi dengan siapapun dan itu yang membuat dia semakin menangis. Dia kini sudah sendiri dan pikirannya kalut memikirkan itu, dia bingung bagaimana harus tetap bertahan hidup.
'Kenapa Tuhan memberikan cobaan ini padaku, sungguh tidak adil yang aku rasakan. Kenapa Tuhan tidak sekalian mengambil nyawaku supaya aku tidak perlu merasakan kesesakan ini?' teriak Kara di dalam hatinya. Rasa sakit, sedih, takut, bimbang, perasaan bersalah semuanya bercampur aduk dan tidak bisa lagi Karamel merasa indahnya hari-hari sebelum mengalami duka yang hebat ini.
Kara seperti lupa akan rasanya hidup bahagia, bagaimana cara dia bisa tertawa dan melewati hari-harinya dengan senda gurau. Semua perasaan bahagia itu seperti menguap dan hanya digantikan dengan duka yang tidak dia inginkan.
👣👣👣
Kesedihan dan kebencian bercampur dalam diri Karamel, dia kembali menyalahkan dirinya. Akibat ide dari Kara maka keluarga yang sangat dia cintai dan juga mencintainya pergi meninggalkan dia untuk selamanya, bahkan harusnya Kara ikut tapi malah dia tetap ada di dunia ini. Airmata menemani dan menjadi saksi bisu dalam pilu yang dia rasakan, jujur Karamel tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi padanya setelah ini.
Kakinya melewati koridor rumah sakit untuk melihat wajah-wajah keluarganya yang terakhir kali, setelah mendapat kabar dari Andre maka Karamel langsung ke rumah sakit. Kakinya berhenti di depan ruangan bertuliskan KAMAR MAYAT, dia juga bisa melihat sosok seorang pria berdiri di salah satu brankar yang dia yakini itu adalah jenazah kakaknya.
“Kak,” sahut Kara dengan suara serak, karena sejak kemarin dia terus menangis.
Pria yang berdiri membelakangi Karamel pun menoleh ke belakang dan sepasang netra coklatnya melihat Karamel yang terlihat kacau, pria itu pun mendekat lalu memeluk gadis itu.
“Kamu harus kuat ya, Dek.” Andre kini merengkuh tubuh mungil calon adik iparnya itu.
“Kak, maafin Kara ya. Seharusnya Kara yang ada disitu,” ucap Karamel di balik tangisnya yang kembali pecah.
“Bukan kamu yang salah, Dek. Gak seharusnya kamu minta maaf karena ini adalah musibah, ini takdir yang harus kita terima,” sahut Andre sambil mengusap kepala Karamel.
Airmata terus mengalir membasahi kedua pipinya, bahkan dia tidak punya tempat mengadu. Kesedihan berhasil menguasai jiwa dan raganya, ingin rasanya dia ikut menyusul keluarganya karena dia tidak bisa membayangkan bagaimana ia harus bertahan.
👣👣👣
Lututnya terasa lemas saat dia memandangi wajah kedua orangtuanya yang terlihat damai dalam tidur panjang mereka, rasa sakit di kepala Kara pun berhasil merebut kesadarannya. Tubuh mungil Kara terjatuh namun ada tangan yang sigap menopang tubuh itu.Tanpa aba-aba maka Rafael membawa Kara ke ruang UGD sedangkan Andre mengurus prosedur formalin jenazah keluarga Karamel.
Rafa terus mengawasi Kara yang sedang tertidur dalam ketidaksadarannya, walaupun mata itu tertutup tapi Rafa bisa merasakan kesedihan bahkan bagaimana terpuruknya Kara saat ini.
“Kara, aku janji bakal terus ada di samping kamu. Aku janji bakal jagain kamu terus, Kar. Kamu harus tahu kalau aku sayang sama kamu. Kamu harus tetap kuat ya, Kara. Aku sayang kamu,” sahut Rafa yang terus mengenggam tangan kanan Kara dan membawa punggung tangan itu menyentuh bibirnya.
“Maaf, Pak. Apa bapak keluarga pasien?” tanya seseorang dari belakang Rafa dan dia pun menoleh untuk melihat orang tersebut.
“I.. Iya, saya keluarganya Kara.” Jawab Rafa dengan suara parau namun matanya membulat saat melihat siapa lawan bicaranya.
Gadis yang dulu memberi arti cinta dengan takaran yang pas tapi Rafa merasa cukup dengan takaran itu, gadis itu kini berdiri di hadapan Rafa mengenakan seragam putih dengan stetoskop melingkar di lehernya. Seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat namun entah kenapa bibirnya terasa keluh saat ini.
“Maaf, Pak tapi saya perlu memeriksa pasien,” sambung wanita yang adalah seorang dokter, dokter yang bertugas untuk menangani Karamel.
Sempat ada rasa heran terbersit dalam pikiran Rafael namun perhatiannya tidak terfokus pada hal itu, kini yang penting bagi dia adalah Kara.
Rafa pun menjauh sambil memperhatikan gerak-gerik wanita yang memeriksa kondisi Kara, seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat tapi kenyataan saat ini adalah keduanya adalah orang yang berhasil mencuri hati Rafa.
Matanya memandangi Kara yang terbaring lalu dokter yang memeriksa Kara bergantian, yang satu adalah pencuri hatinya namun membiarkan hati itu patah tanpa penjelasan apapun dan yang satu adalah pencuri hati sekaligus pemberi warna dalam kehidupan Rafa belakangan ini.
👣👣👣
Mayat keluarga Kara sudah tiba di rumah duka sejak kemarin malam dan Kara sengaja meminta untuk membawa anggota keluarganya ke rumah mereka sendiri. Dia ingin menghabiskan waktu terakhir bersama keluarga yang sangat dia sayang di rumah ini, rumah yang penuh dengan kenangan suka dan duka bersama dengan mereka semua. Entah sudah berapa banyak airmata yang sudah dia habiskan sejak kejadian buruk menimpanya, bahkan sudah berapa orang yang berusaha menenangkan tapi tak ada satupun yang berhasil.
“Sayang, ada Tante dan Om yang bisa jagain kamu, Nak. Kamu jangan menyalahkan dirimu terus ya,” sahut tante Kirana yang datang jauh dari Semarang untuk menghibur keponakan tersayangnya ini.
“Seharusnya Kara juga ada di sebelah kak Riris, Tan. Gak seharusnya Kara sendirian kayak gini.” Kara masih terus menyalahkan dirinya karena hanya dia yang bertahan di dunia ini.
“Hush, Om gak mau dengar kamu ngomong gitu lagi ya. kamu gak sendirian di sini, masih ada kami yang sayang sama kamu,” sambung om Adam yang adalah suami tante Kirana.
“Tan, aku mau bawa Kara makan dulu ya. Dia belum makan dari kemarin malam,” sahut Windy lalu membujuk dan menarik tangan Kara pelan untuk mau makan ke belakang.
“Aku gak butuh makan, Ndy. Aku mau ikut mereka, aku gak mau hidup sendirian,” rengek Kara menolak suapan dari Windy.
“Sayang, kamu gak sendirian. Ada aku, Dian, Erwin dan juga Jonathan yang bakal nemani kamu. Kamu harus kuat, Sayang,” sahut Windy yang masih terus berusaha memberi kekuatan untuk Kara.
“Aku gak mau, Ndy,” teriak Kara lalu mendorong piring yang dipegang Windy dan isi piring itu pun berserakan ke lantai, Windy langsung membawa Kara ke dalam pelukannya. Dia tahu apa yang dirasakan oleh Kara saat ini, pasti berat dan tidak akan sanggup melewati ini semua sendirian.
“Masih gak mau makan juga ya, Ndy?” tanya Rafael yang baru tiba siang ini karena tadi harus ke kantor mengurus pekerjaan.
“Iya, Kak. Kata kak Andre kalau Kara gak makan sejak tadi malam,” jawab Windy dan menyerahkan Kara yang masih menangis dalam pelukannya pada Rafa dengan harapan kalau Kara akan tenang.
“Kar, aku suapin kamu ya. Kamu harus makan dikit ya, Kara. Aku gak mau kamu sakit, Kara.” Rafa memohon sambil mengelus pipi Kara dengan lembut.
“Bagus dong kalau aku sakit, kalau perlu aku bisa nyusul Papi dan Mami. Mereka semua lagi nungguin aku. Aku harus sama mereka,” sahut Kara yang berusaha melepaskan pelukan Rafa.
“Kara plis, aku mohon sama kamu. Kamu jangan kayak gini, aku gak sanggup lihat kamu kayak gini.” Rafa masih terus memeluk Kara walaupun gadis itu terus memberontak di dalam pelukannya.
Mendengar kegaduhan itu maka tante Kirana menyusul ke belakang dan dia melihat ponakannya berada dalam pelukan lelaki yang tidak dia kenal, Kirana pun menepuk lengan Rafa dan meminta untuk melepaskan Kara.
“Sayang, ini tante, Nak. Tante suapin kamu ya, Sayang. kamu gak mau buat Mami kamu sedih kan?” tanya Kirana dan merasakan gelengan dari Kara.
“Kalau gitu, kamu harus makan ya, Sayang. Sedikit juga gapapa, Nak. Habis makan baru kamu nemani Mami dan Papi kamu ya, Sayang. Om Nuel dan tante Olivia sudah datang, mereka mau ketemu sama kamu,” sambung Kirana lagi berusaha untuk membujuk Kara.
“Tapi nanti Kara boleh ikut Mami kan, Tante? Mami pasti kesepian kalau gak ada Kara, Mami pasti kangen sama cerita-cerita Kara. Kara harus nemani mereka di sana, Tan,” sahut Kara di balik isak tangisnya dengan suara tercekat.
“Makanya kamu harus makan biar bisa nemani Mami kamu, hanya orang yang kuat bisa ada di situ sayang.” Kirana berusaha menahan tangisnya tidak pecah padahal dia tidak tega melihat kondisi Kara yang terpukul seperti ini.
“Iya, Tante. Kara janji bakal makan biar Kara bisa ikut. Ayo cepat tante suapin Kara, sebelum Kara ditinggal sama Papi. Kan tante tahu kalau Papi orangnya disiplin, kalau Kara gak cepat pasti ditinggal Papi.” Sambung Kara lagi yang kini sudah membuka mulutnya untuk menerima suapan berikutnya.
Tidak tahan melihat Kara yang terpukul seperti itu maka Rafa pun keluar untuk menyembunyikan tangisannya dari Kara. Dia tidak berhasil untuk menjaga Kara, seharusnya dia menjadi orang yang menopang Kara saat ini. Harusnya dia yang menemani Karamel di dalam isak tangisnya, benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi pada orang yang sangat dia sayang.
Bahkan Rafa melihat tatapan Kara kosong saat memandangnya tadi, pandangan gadis itu tidak seperti biasanya.
Pandangan yang memancarkan kasih sayang di dalam iris Kara tapi sejak kemarin Rafa tidak menemukan itu. Hatinya berontak melihat gadis yang dia cintai terpuruk seperti saat ini, kesedihan mendalam tercetak di wajah itu. Wajah yang biasanya memancarkan kesejukan dan kini terganti dengan guncangan yang luar biasa.
👣👣👣
Gimana?
Masih dapat gak sedihnya?
Bisa ikut ngerasain kesedihannya Kara gak?
Spoiler : beberapa part masih tentang kesedihan Kara yang ditinggal keluarganya, apalagi saat dia harus melihat semua jenazah anggota keluarganya masuk ke dalam peti.
Next gak nih?
Jangan lupa taburan bintang plus coment nya ya.
Itu bisa jadi amunisi buat aku, biar aku makin yakin buat publish smpai ending 😉
Makasi ya
Love Tik_Tob ♥♥♥♥♥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro