Episode 3 Tergila-gila sama gila beneran itu beda tipis
"Itu cowok ke delapan yang nembak kamu, lho. Kenapa masih ditolak juga?" Sabrina mendelik ke arah Kiran yang santai meminum es teh di kantin kampus.
"Ya sebodo. Orang nggak suka juga." Kiran mengibaskan rambut panjangnya. "Hari ini ada tugas nggak sih, Brie?"
Brie, panggilan kesayangan Kiran untuk Sabrina, semakin melotot. Sementara yang dipelototi hanya melengos.
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Malih! Gue tuh heran ya sama lo. Banyak cowok berusaha ngedeketin lo, tapi lo cuekin gitu aja. Emang lo mau cari yang kayak gimana lagi sih, Ran?" omel Brie panjang kali lebar.
"Gini lho, Brie, cinta itu nggak bisa dipaksain. Mau tuh cowok jungkir balik, bawain aku kue bolu dari Mars juga, kalo aku nggak suka sama dia, gimana coba? Terus kamu ngomel-ngomel gini buat apa, apa kamu mau nyuruh aku pacaran dengan cowok yang nembak aku? Gila, masak aku pacaran sama puluhan orang?" Kiran mengangkat bahu cuek.
Sabrina Wasserman
"Delapan, Neng. Lo nggak sefemes itu untuk ditembak puluhan cowok." Brie duduk dengan kesal di hadapan Kiran seraya mengunyah batagornya. Kiran menatapnya dengan ekspresi cute. Gadis itu sedang menirukan ekspresi aegyo yang sering dilakukan oleh artis-artis Korea itu. Ini untuk orang yang bermental baja, yang siap di-bully. Nggak siap bully, apalagi kagok, mending nggak usah pake aegyo. Dijamin gagal kalo gitu.
Kirania Aryavedi
"Ih jijay." Nah kan? Kiran hanya nyengir saat mengetahui aegyo-nya gagal. Brie melanjutkan mengunyah batagor dengan bumbu kacang yang pedas dan nikmat. Hmmm, aromanya. Hidung Kiran kembang kempis mencium aroma bumbu kacang yang melimpah.
"Aku boleh incip ya, Brie?"
"Alah, kayak sama sapa aja sih lo. Ambil aja, biasa juga langsung comot." Brie menyodorkan garpu yang sedari tadi menganggur di piring. Kiran menerasan jeruk nipis ya? Daun jeruknya juga kebanyakan nih. Tapi paduan kacang sama cabe merahnya oke," sahut Kiran setelah lidahnya merasakan bumbu kacang yang melumuri batagornya. "Ih, pedes banget, gila. Kamu pake sambal semangkok ya?"
Brie mengangkat bahu. "Cuma dikit aja kok. Batagor mbak Rahmi ini hambar kalo nggak pake cabe, makanya gue kasih sambel banyakan dikit. Lo kayak chef aja deh. Sok-sokan ngasih ripiu segala."
Brie menyeruput es jeruknya dengan cepat. Kiran tahu kalo sahabatnya itu gampang banget teralihkan perhatiannya. Sehingga dia segera membahas makanan. Lagipula bagi Kiran, satu-satunya lelaki yang menarik hatinya hanya Chef J. Boleh lebih, tidak kurang.
"Lo beneran jatuh cinta sama chef songong itu?" lanjut Brie lagi.
Kiran menelan cepat batagor yang sedari tadi dikunyah lalu menukas, "Siapa?"
Brie mencebik. "Ih, ni anak. Si Chef selebriti, J atau Jay itulah. Who else?" Brie memang berasal dari New Castle, sehingga bahasa Inggrisnya cukup bagus. Bahkan kadang dia lebih sering bicara dengan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Sementara Kiran yang tak pernah tahu bedanya New Castle atau New York, tak pernah mempermasalahkan hal itu.
"Oh." Kiran memalingkan muka. Gadis itu sungguh sebal jika Brie kembali membahas hobi Kiran yang ngefans pada Janesh. Brie lebih sering meledek daripada memberi support. Tapi herannya Kiran masih suka nongkrong bareng Brie.
"Ya ampun, Kiraaaaan ...." Baiklah, kuliah "Kegilaan lo pada Janesh tidak akan memberikan faedah" dimulai, 2 SKS, dua jam dari sekarang. Jika Brie sudah menyebut nama Kiran dengan nada yang panjang dan membosankan, itu berarti Brie akan mengomel mengenai Janesh. Tetapi tentu saja jangan harap Kiran mau mengindahkan petuah Brie.
".... jadi lo mestinya mikir, kalo cinta lo pada si Janesh itu nggak akan kesampaian. Realistis aja deh, dia siapa, lo siapa. Dia kenal lo aja enggak. Gue nggak ngerti kenapa lo sampe segitu cinta matinya sama chef songong itu padahal lo tahu lo nggak akan bisa nikah sama dia."
"Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin, Brie Sayang. Sekarang dia emang nggak kenal aku, nggak tahu aku. Aku juga bukan siapa-siapa. Tapi tunggu pada saatnya nanti, aku akan buktikan kalo aku beneran serius jatuh cinta sama dia!" Kiran bangkit dan berjalan keluar dari kantin. Kali ini gadis itu bahkan menghentakkan kaki sebelum berbalik menjauhi sahabatnya.
"Wait, Kiran!" panggil Brie berlari-lari kecil menyusul Kiran. Setelah kakinya berhasil mensejajari langkah Kiran, Brie memegang bahu sahabatnya itu. "Lo marah?"
"Yeah, yeah. Aku marah. Aku capek tahu, kamu mesti maksa-maksa aku buat lupain Janesh. Ini bukan sekedar ngefans, nggak cuma kagum aja. Aku beneran cinta sama dia, aku pengen ketemu dia suatu hari nanti, aku memimpikan untuk bisa mendampinginya. Hanya karena dia selebritis dan aku bukan, bukan berarti aku nggak bisa dapetin cintanya!"
"Kiran, gue cuma nggak mau lo bakal sakit hati, karena dunia lo sama dunia Janesh itu beda! Lo sekarang pede banget bisa dapetin cintanya, tapi apa lo yakin, dia sebetulnya sudah punya pacar, or else, dia cocok sama lo?" Brie kembali berargumen.
"Brie, jika aku punya cara untuk nggak mencintai Chef yang entah sekarang lagi sama siapa dan dimana, aku pasti melakukannya!" Kiran bersedekap, jengah dengan perdebatan tak berguna mengenai Janesh.
Brie menghela napas, seolah jengah lalu menutup dengan kalimat pamungkas yang nggak kalah menohok, "Tergila-gila sama gila beneran itu beda tipis, Kirania!"
****
Kiran menyalakan ponselnya dan menatap foto Janesh yang terpampang di sana sebagai layar kunci. Gadis itu bersiap mendengarkan kelas memasak daring yang dikomandoi oleh Janesh hari ini. Dipasanglah earphone di telinga lalu Kiran membuka laman web yang menampilkan foto Janesh berukuran besar yang sedang tersenyum (ini adalah fenomena langka--senyumnya itu) seraya memegang piring dengan tumpukan sayuran yang ditata dengan apik. Kiran rela mengeluarkan banyak uang demi mengikuti kelas daring yang dimentori oleh Janesh, Delight Cooking Class.
Berbeda dengan tuduhan kebanyakan orang, Kiran sungguh serius belajar. Gadis itu bahkan menghabiskan waktu berjam-jam di dapur demi mengkreasi ulang resep yang dibagikan Janesh di kelas tersebut. Termasuk tips dan trik mengolah bahan makanan. Bisa dibayangkan, setahun yang lalu Kiran bahkan tidak bisa dengan benar menggoreng tempe, sekarang dia mahir membuat beberapa masakan western dan Indonesia.
Kini Kiran fokus belajar membuat main course, setelah gadis itu cukup percaya diri dengan pastry. Dia masih mencoba beberapa resep sederhana, setidaknya agar Kiran siap mengikuti kompetisi memasak itu. Untuk menjadi chef, kita harus menguasai semua jenis masakan meskipun tidak harus expert di semuanya. Setidaknya menu appetizer, menu utama dan dessert. Karena bekerja menjadi chef di sebuah hotel atau restoran, kita tidak pernah tahu kita akan berada di pos mana. Meskipun ada juga yang menjadi spesialis di bidang tertentu, seperti Wok station, Garnish station, Sautee station, Pasta Station dll. Seperti di drama Korea Wok of Love itu. Tetapi tentu saja, sekalipun ada chef spesialis di Wok station, jika ada pos kosong dia harus siap ditempatkan di sana.
"Jadi tentu saja, memasak itu tidak hanya sekedar menggunakan intuisi, tetapi kita gunakan logika di sana. Timing, the heat, and the atmosphere must be right on order to create the perfect dish." Janesh memberikan kalimat pamungkasnya. Aaah, sungguh Kiran nggak bisa melepaskan netranya dari pemandangan indah yang tersaji dari layar ponsel sekarang. Persetan si Tio atau Timo, siapapun lah nama cowok yang nekat menembaknya tadi. Cowok itu nggak ada apa-apanya dengan chef yang telah merebut hati Kiran. J, just wait for me right there.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro