Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 17 Something in her heart

"All the restaurant shuts the fucking down!" Janesh berteriak keras. Seluruh kru saling berpandangan kebingungan. "Kalian semua balik aja ke dorm! Got it?"

Dika sempat terpana, sementara Kiran mulai terisak. Peserta lain bahkan membeku, seakan tak berani bergerak. Ekspresi Janesh sudah seperti monster yang akan mengobrak-abrik kitchen. Bahkan tak satu pun kru yang mau mendekati Janesh.

"J, are you fucking crazy? This is the moment! Sudah sekian lama lo selalu menghalangi buat bikin Kiran ngaku, dan sekarang lo malah mau shut down? This show will be reach the  fucking hit!" Dino berlari ke arah panggung sambil berteriak memaki Janesh.

Janesh memandang Dino dengan amarah, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Dika. "Dika, bawa Kiran balik ke dorm!" Dika masih bergeming karena syok. "Dika, are you hear me? Take that fucking girl, RIGHT NOW!"

Dika gelagapan lalu segera menyambar pundak Kiran dan membawanya kembali. Kiran menangis di bahu lelaki itu dan pasrah mengikuti sahabatnya.

Dino Albenazar

"J, you will be sorry for this!" Dino semakin kalap meluapkan amarahnya. Tetapi pembicaraan mereka semakin sayup, ketika Kiran semakin jauh melangkah.

Ini suatu hal yang sungguh gila, Kiran berpikir. Merasa ketakutan dan menggigil atas apa yang sudah ia perbuat. Ia bodoh dan tolol, sekarang karirnya sudah tak ada harapan.

🍝🍝🍝🍝🍝

Rambutku mulai panjang, pikir Kiran ketika ia menatap cermin pagi ini sebelum pergi ke kedai mungilnya. Sedikit ingatan mengenai rambut panjang menggelitik hatinya, lalu mengobrak-abrik pertahanan hatinya. Apa aku harus memanjangkannya? Nah, itu suatu pikiran yang bodoh.

"Kiran!" Ketukan di pintu kamar menyadarkannya dari lamunan. "I'm in." Brie memasuki kamar lalu dengan histeris memeluk sahabatnya.

"Ya ampun. Rambutmu!" pekik Kiran terkejut. Dulu Brie memotong rambutnya demi membela Kiran dan sakit hatinya, sekarang gadis itu semakin berani dengan mewarnai rambutnya dengan warna fuschia dan hijau.

Sabrina Wasserman atau Brie

Brie dengan bangga mengibaskan rambutnya yang juga mulai memanjang sebahu. "Bagus kan? Sesuai dengan brand kedai kita. Aku bahkan memesan warna fuschia ini dari London, agar sama dengan warna cat dindingnya."

Kiran sedikit merasa aneh dengan pemikiran sahabatnya. Tapi Brie tetaplah Brie. Gadis pemberani dan mandiri, yang tak mau membiarkan dirinya disetir oleh apapun dan siapapun. Berbeda dengan Kiran. "Eh, Brie. Aku nggak harus bikin rambutku kayak gitu kan?"

"Kalo kamu mau, boleh juga lho kembaran. Duh, aku nggak sabar tahu nggak. Enam bulan dan kita udah viral di mana-mana. Mungkin aku mau bikin anniversary besar-besaran. Mungkin kita harus mengundang Isyana atau Tulus. Atau mungkin Andmesh juga oke. Gimana pendapatmu?" Brie melonjak-lonjak kegirangan saat menyebut nama penyanyi favoritnya.

"Brie, anniversary itu satu tahun lho. Kita baru enam bulan. Terlalu dini kalo mau bilang kita udah sukses." Kiran menatap sahabatnya sangsi, lalu menarik sebuah cardigan berwarna pink dari lemarinya, berusaha mengabaikan sebuah jaket berwarna putih yang selama ini tergantung begitu saja di sana. "Udah, ayok berangkat sekarang."

"Please, Kiran. Kita ini anak baru dan langsung laris, itu luar biasa. Mengenai anniversary, aku kan udah bilang jangan khawatirin uangnya, aku bakal minta warisan daddy dikasih lebih awal. Bisnis ini ternyata menggiurkan, aku nggak nyangka responnya bisa PHEW! Meledak. Totally amazing!" Brie masih antusias, kakinya bahkan masih melonjak-lonjak sembari lengannya melingkar di lengan Kiran.

"Gila, masak kamu doain daddy-mu mati lebih awal sih? Anak durhaka banget!" Kiran mendelik ke arah sahabatnya.

Gadis itu kemudian mengambil gitar yang terletak di ruang tamu rumahnya, lalu berpamitan kepada kedua orang tuanya. Brie masih bersemangat, bahkan saat mobil yang ia kendarai melaju menuju kedai.

Kiran hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan ajaib sahabatnya. Tetapi ia sungguh berterima kasih memiliki sahabat sebaik dan seloyal Brie. Setelah Kiran di DO karena tidak mengisi KRS serta formulir pengajuin cutinya ditolak, Brie lah yang menyemangati dan memotivasinya untuk tetap bertahan pada apa yang sudah ia perjuangkan.

"Kiran, kamu udah sejauh ini! Dulu kamu sering cuti, bolos kuliah demi bisa belajar sama Chef Rahardi, sambil cari uang nyanyi di kafe-kafe, kamu bisa masuk top five Hard Kitchen. Itu bukan suatu hal yang mudah. Apa kamu mau melepas semua perjuanganmu dan keterampilanmu hanya karena kamu di DO? Emang sih, aku beneran jengkel karena semua itu demi Janesh dan ternyata kamu disia-siain sama dia. Cuma apakah kamu rela semua hasil belajar masakmu itu sia-sia?" Brie bahkan menggoncang kuat tubuh Kiran yang hanya menatapnya dengan pandangan kosong.

Kini Kiran sudah mulai bisa menerima apa yang dulu membuatnya kuat dan terhempas di saat bersamaan. Seiring berjalannya waktu, gadis itu mencintai apa yang ia kerjakan saat ini. Meski pun sesekali rasa sakit sering merayapi hatinya. Memasak pernah mendekatkan aku pada orang yang aku cintai, dan memasak pulalah yang menjauhkan aku darinya.

"Hei, kamu kok ngelamun?" Brie menepuk pundaknya. Kiran melihat sekeliling dan baru menyadari bahwa mobil sahabatnya sudah berada di depan kedai mungil. Sebuah rumah kecil yang disulap menjadi kedai berwarna fuschia dan hijau, dengan tulisan berwarna merah menonjol di atas atapnya.

"Aku lagi pikirin menu baru. Mungkin yang ala western. Pasta pedas atau semacamnya." Kiran mengalihkan perhatian sahabatnya agar tak mencecarnya karena melamun.

"Kenapa nggak fusi Korea lagi? Gelombang Cinta Korea laris manis enam bulan ini." Brie keluar dari mobil dan melangkah memasuki kedai bersama dengan Kiran.

Rose Pasta

Sejujurnya, Kiran malah belum punya ide apa pun lagi untuk menu baru, jadi dia hanya mengiyakan pendapat sahabatnya. "Kayak Rose pasta gitu? Dengan tambahan tteokboki? Eh, tapi aku belum menguasai resep tteok. Atau Rose pasta dengan sentuhan western?"

Brie membuka gerendel yang mengunci pintu depan dan langsung terbatuk-batuk dengan dramatis. "Astaga, debunya. Padahal baru beberapa jam. Masalah menu, kamu pikirin lagi. Aku percaya aja, aku nggak terlalu ngerti juga. Betewe, nanti pas kamu nyanyi, ada pelanggan yang request lagu. Bisa kan?"

Kiran tersentak. "Hah? Request lagu apaan? Lagian kalo rame, aku jelas nggak akan nyanyi lah. Aku pasti bantu karyawan."

"Udahlah. Karyawan kita udah cukup handal kok. Kamu fokus sama menu baru. Syukur-syukur bisa kita launching waktu anniversary kedai ini. Mungkin kita bisa kasih nama sama kayak nama kedai kita." Brie mengambil kemoceng dan mengibaskannya ke arah kursi yang ditata terbalik ke atas.

Kiran menatap nama kedai yang juga tertera di dinding, sebuah tulisan berwarna merah dengan lambang hati besar di belakangnya. Gadis itu sedikit termenung, seberkas ingatan menyeruak begitu saja tanpa dicegah.

"Kita bisa bikin pasta sedikit pedas, seperti selera orang Asia kebanyakan. Tetapi tidak terlalu pedas, light aja. Sehingga western people masih bisa suka. Dan tentu saja, sahabat baik pasta adalah keju dan bawang putih. Tidak cukup populer, tapi orang akan mudah menyukainya. Sesuatu yang tak hanya dimasak menggunakan ukuran dan bahan yang tepat, tapi juga bisa dimasak dengan hati."

Heart Pasta, gumam Kiran dalam hati, seiring dengan lampu kedai yang mulai menyala, menonjolkan tulisan berwarna merah berkelap-kelip di tengah dinding. Heart Kitchen.

Hola, Keliners!
Jadi gimana pendapat kalian dengan episode ini?

Jadi, Kiran menang atau nggak menurut kalian? Jawab di komen ya!
Luv, luv ❤😘
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro