Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 - Penutup cerita

Kepergian Arsy ternyata meninggalkan luka yang begitu dalam. Terlebih, bagi orang-orang yang mencintai lelaki manis itu. Aku adalah salah satu dari mereka. Manusia yang masih sulit berlapang dada akan rasa kehilangan.

Semasa hidupnya, Arsy selalu mengajarkanku untuk mengerti makna sesungguhnya dari keikhlasan. Sayangnya, mengikhlaskan bukan hal yang mudah. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mengikhlaskan kepergian Arsy, termasuk dengan melakukan berbagai aktivitas penunjang kesibukan untuk melenyapkan rasa sedih itu. Namun, kegagalan selalu terpampang nyata di hadapanku. Nyatanya, aku gagal untuk tidak memikirkan mengenai Arsy.

Tanpa aku sadari, hari ini tepat dua minggu kepergian Arsy. Aku mengajak Vero untuk mengunjungi makam lelaki itu, mengingat seminggu terakhir ini aku belum pergi sama sekali. Sebelum pergi ke makam Arsy, aku meminta Vero untuk berhenti di Ave florist. Ave florist adalah tempat yang menjual berbagai macam bunga segar. Aku ingin menghiasi makam Arsy dengan bunga lily putih. Warna putih identik dengan segala sesuatu yang bersifat suci, termasuk bunga lily itu sendiri. Aku membelikan bunga lily ini sebagai lambang ketulusan sekaligus persahabatanku dengan Arsy.

Setelah membeli bunga, kami lantas melanjutkan perjalanan menuju makam. Tak butuh waktu lama, mobil Vero berhenti di parkiran pemakaman. Aku turun dan mulai menjejaki kakiku di tanah pemakaman itu. Seolah sudah begitu hafal dengan jalan di sekitar sini, aku tidak tersesat dan langsung bersimpuh di hadapan sebuah makam dengan tulisan Arsy Mahaprana.

Aku memperhatikan makam baru untuk peristirahatan terakhir Arsy itu. Seingatku, terakhir kali aku ke sini, makamnya masih berupa gundukan tanah.

Aku mengelus nisan itu dengan perlahan. Senyumku seolah tertahan di ujung bibir, hingga orang lain yang melihatku tentunya akan merasa bahwa ini bukan senyum ikhlas yang biasa kutampilkan.

“Hai, Ar. Aku datang lagi. Jangan bosen ngelihat aku terus, ya,” ujarku sembari terkekeh kecil. “Kali ini aku datang bawain kamu bunga lily. Cantik, kan, kayak aku? Bunga lily ini aku taruh di sini.” Aku lantas menaruh bunga lily yang kubeli tadi di samping dekat nisan Arsy.

“Kamu tahu nggak filosofi bunga ini? Bunga lily putih itu pertanda ketulusan sekaligus persahabatan, Ar. Dan, sekarang bunga ini akan menjadi lambang ketulusan yang kamu berikan saat berteman sama aku dan persahabatan yang kita punya. Kamu sendiri pernah bilang, yang namanya sahabat itu gak bakalan pernah ada kata mantan. Sama seperti kita. Sekalipun kita udah beda dunia, kita tetap sahabatan. Iya, kan, Ar?”

Aku mengusap air mataku yang luruh begitu saja, lantas mencoba untuk tersenyum kuat. “Nggak terasa, ya. Udah dua minggu kamu ninggalin aku. Apa kamu nggak niat buat nemuin aku di mimpi? Aku selalu nungguin kamu, loh, Ar. Setidaknya, kalau aku udah nggak bisa ngomong sama kamu seperti biasa, aku pengen bisa ngomong sama kamu di dalam mimpi.”

Aku menoleh ke sebelah dan mendapati Vero yang ikut bersimpuh di makam Arsy. Ia tersenyum kepadaku seolah tengah memberikanku kekuatan lebih.

“Ar, maaf. Kayaknya aku nggak bisa lama-lama di sini. Habis ini aku harus ke kampus. Gak sampai sebulan lagi, ujian akhir udah dilaksanakan. Doain aku, ya? Semoga aku dapat nilai yang bagus di ujian aku nanti. Doain aku juga, semoga aku bisa jadi guru yang baik nantinya.” Aku menghela napasku perlahan. “Seandainya aja, kamu masih hidup. Kita pasti bisa wisuda bareng-bareng. Kelihatannya seru. Iya, kan, Ar?”

“Jawab, Ar. Kenapa kamu diam aja? Aku benci aku yang kayak gini, Ar. Aku nggak bisa pura-pura kuat tanpa kamu,” ucapku dengan sesenggukan. Isak tangisku mulai terdengar. Vero lantas menarikku dalam pelukannya. Semenjak kepergian Arsy, hanya pelukan Vero yang sedikit bisa menenangkanku.

“Aku pulang dulu, ya, Ar. Nanti aku datang lagi,” lirihku lantas melepaskan pelukan Vero. Aku menggeser sedikit tubuhku untuk dapat memeluk nisan milik Arsy yang telah kubersihkan dengan tangan. “Aku sayang kamu, Ar. Sayangnya, aku selalu kalah telak dengan Tuhan yang jauh lebih sayang sama kamu.”

Setelah puas memeluk nisan Arsy, aku lantas bangkit dari posisiku tadi dengan dibantu oleh Vero. Aku terpaku cukup lama di tempat sebelum akhirnya aku berbalik badan untuk pulang. Namun, pergerakanku terhenti tatkala beberapa meter di depanku, seseorang berdiri di sana dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Cukup lama kami saling bertukar tatap, akhirnya ia berjalan menghampiriku dan Vero.

“Bang Radi, saya barusan habis ngejenguk Arsy. Ternyata, makamnya udah bagus, ya,” ujarku sedikit kaku, mengingat hubunganku dengan Bang Radi yang tidak pernah baik sebelumnya.

“Maafin saya, Bel,” ucapnya yang membuat aku tertegun. “Selama ini, saya terlalu keras sama kamu. Mungkin, ada banyak kalimat saya yang nyakitin perasaan kamu. Saya minta maaf.”

Aku tersenyum lantas menggelengkan kepalaku. “Nggak perlu minta maaf, Bang. Saya nggak pernah nyimpan dendam sama Abang. Lagipula, saya tahu, Abang ngelakuin semua itu biar saya berhenti nyusahin Arsy. Tapi masalahnya, saya nggak pernah bisa ngerti, hingga kehilangan Arsy menyadarkan saya. Saya udah terlalu banyak nyusahin dia.”

“Setelah kepergian bunda saya, saya yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap Arsy. Awalnya saya pikir, dengan saya ngelarang kamu dekat sama Arsy. Arsy akan lebih fokus dengan kesehatannya. Tapi, saya salah. Arsy seolah menyadarkan saya, karena nyatanya, kamu adalah sumber kekuatan bagi Arsy. Hanya dengan kamu, saya bisa melihat cahaya di mata Arsy kembali berbinar setelah pernah redup sebelumnya akibat ditinggal pergi oleh bunda.”

Aku meresapi setiap kalimat yang dilontarkan Bang Radi tanpa berniat menyelanya.

“Mencoba memisahkan kamu dengan Arsy adalah opsi terburuk yang pernah saya lakukan. Karena, tanpa pernah saya ketahui, cara itu justru bisa melukai perasaannya.”

“Maksudnya? Melukai perasaan apa, Bang?”

Bang Radi tidak menjawab. Ia justru menyodorkan sebuah amplop berwarna biru muda kepadaku. “Saya rasa, saya nggak punya hak buat melanjutkan itu. Biar surat di amplop ini yang akan jelasin semuanya sama kamu. Sebelum Arsy masuk rumah sakit, dia nitipin surat ini sama saya. Dia minta saya untuk kasih surat ini ke kamu hari ini.”

Aku mengambil amplop itu dan membalikkannya hingga terdapat sebuah tulisan yang ditulis rapi. Tulisan itu ialah milik Arsy.

Teruntuk Bella, gadis tertangguh yang pernah Arsy temui.

•-•-•-•-•

Aku menutup pintu indekosku setelah kegelapan menghampiri. Dengan gerakan cepat, aku melangkah masuk ke kamar lantas mengobrak-abrik isi tas untuk mendapatkan sebuah amplop yang diserahkan Bang Radi tadi pagi.

Seharian ini, aku belum membuka amplop itu mengingat kesibukanku di kampus seharian. Aku harus berkutat di perpustakaan kampus sekaligus perpustakaan daerah untuk menemukan buku referensi penunjang tugas akhir menjelang ujianku. Maka dari itu, aku baru bisa kembali menyentuh amplop itu malam ini.

Aku mendaratkan tubuhku di atas ranjang sembari merobek sisi tepi amplop dengan perlahan. Setelah itu, aku menaruh amplop itu di pangkuanku dan mulai membuka lipatan surat yang ada di dalamnya.

Halo cantiknya Arsy. Apa kabar? Semoga kamu selalu baik-baik aja.

Baru tiga kalimat pembuka, namun semuanya terasa begitu berat.

Jaga diri baik-baik, ya. Maaf kalau Arsy ngingkarin janji buat selalu ada buat kamu. Maaf juga karena Arsy udah nyembunyiin fakta besar selama ini dari kamu. Arsy yang selama ini kamu kenal kuat, nyatanya lemah, Bel. Seandainya kamu tahu dari awal soal keadaan aku, pasti kamu bakalan malu punya teman kayak aku. Iya, kan?

Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat. Bagaimana bisa aku berpikiran seperti itu? Sama sekali tidak terbesit di pikiranku untuk malu mempunyai teman seperti Arsy. Yang ada, aku sangat beruntung memilikinya. Dengan keadaannya yang seperti itu, ia bisa bersikap kuat di hadapanku.

Bel, kamu ingat gak hari ini tanggal berapa? Hari ini, tepat dua tahun pertemuan kita. Aku masih ingat waktu itu bunda pulang trus bawa satu anak perempuan. Anak perempuan itu ternyata kamu. Waktu kamu datang ke rumah dalam keadaan yang kacau. Pas aku tanya sama bunda, katanya kamu sempat mau loncat dari jembatan. Awalnya, kamu nggak berani cerita masalah kamu sama kami, hingga akhirnya kamu berani buat ceritain semua ketakutan kamu.

Aku terus menyelami isi surat Arsy dengan genangan air yang mulai tercipta di sudut mataku. Ternyata, Arsy masih ingat dengan tanggal pertama pertemuan kami yang sudah aku lupakan. Pantas saja, Bang Radi mengatakan bahwa surat itu memang sengaja diberikan pada hari ini sesuai dengan permintaan Arsy. Arsy ... selain ia seorang pendengar yang baik, nyatanya ia juga pengingat yang hebat.

Sejak saat itu, aku janji sama diri aku sendiri buat selalu jagain kamu. Tapi lama-kelamaan, aku sadar. Cepat atau lambat aku akan ninggalin kamu karena keadaan aku. Tapi, baiknya Tuhan, Dia kasih aku waktu untuk hidup sedikit lebih lama buat jagain kamu.

Setetes air mata mengalir berhasil lolos begitu saja. Ternyata, sebegitu pentingnya aku di mata Arsy hingga ia pernah membuat janji seperti itu.

Hingga suatu saat, Tuhan bilang sama aku kalau waktu aku jagain kamu udah mau habis. Maka dari itu, aku nulis surat ini dan nitipin ke Bang Radi buat dikasih ke kamu. Karena aku tahu, aku gak bakalan kuat kalau kasih surat ini sendiri ke kamu.

Bel, ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan ke kamu. Aku harap, kelak aku juga bisa sampaikan hal ini secara langsung ke kamu. Tapi, kalau Tuhan gak mengizinkan aku hidup lebih lama, setidaknya kamu udah tahu semuanya lewat surat ini.

Kamu tahu? Sebelum aku kenal kamu, satu-satunya wanita yang aku cintai itu ialah bunda. Aku mencintai bunda melebihi aku mencintai diri aku sendiri. Aku berusaha agar segala hal yang aku lakuin gak melukai hati bunda. Tapi, semenjak aku kenal kamu. Aku udah mengkhianati cinta aku ke bunda.

Awalnya, aku pikir, rasa cinta aku ke kamu sebatas sayang abang kepada adiknya. Namun, aku salah. Semakin aku tumbuh bersama kamu, semakin pula aku sadar. I have fallen in love with you. Not just love as siblings. But, more than it.

Iya, cinta dalam artian sesungguhnya. Cinta yang dimana rasa ingin memiliki itu pernah muncul di hati aku.

Cinta? Apa kalimat melukai perasaan yang dikatakan oleh bang Radi tadi pagi adalah menyangkut  hal ini?

Arsy ... cinta sama aku? Tapi, sejak kapan? Selama ini, aku selalu mengartikan tatapan sayang Arsy sebagai rasa yang ditunjukkan oleh abang kepada adiknya. Rupanya, aku salah besar. Aku meneguk ludahku. Kenapa aku baru menyadari hal sepenting ini? Selama ini, dengan gamblangnya aku menceritakan perihal Vero kepadanya. Bukankah dengan cara itu aku terlihat jahat karena melukai perasaan Arsy?

Maaf kalau aku lancang. Tapi, perasaan itu hadir tanpa pernah bisa aku tolak, Bel.

Mungkin, segini dulu surat dari aku. Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin aku sampaikan. Cuma, kasihan kamunya harus baca surat membosankan ini terus-menerus.

Bel, tetap jadi gadis tangguh yang aku kenal, ya. Jangan kembali menjadi Bella yang pertama kali aku temui.

Kamu perlu ingat kata-kata aku yang ini.

Sekalipun nantinya, Arsy Mahaprana yang kamu kenal udah kembali ke sisi Tuhan, dia bakalan selalu ngejagain kamu dari jauh. Maka dari itu, jangan pernah ngerasa sendiri, ya.

Udah cukup suratnya, ya. Aku pamit dulu.

Sampai jumpa di lain kesempatan, Cantiknya Arsy.

Sampai jumpa di surga nanti, Arsynya Bella.

•-•-•-•-•

Siap menuju epilog?🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro