Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40 - Dunia itu fana

“Ar, akhirnya kamu sadar,” ujarku dengan bahagia yang menyelimuti relung hati. Menit-menit yang dipenuhi oleh ketakutan kini seketika sirna tatkala lelaki yang terbaring di hadapanku ini membuka kedua matanya. Tanpa aku sadari, setetes air mata menetes turun begitu saja akibat rasa bahagia yang tak terbendung.

“Cantiknya Arsy jangan nangis,” ujar Arsy yang berhasil melantunkan satu kalimat meski dengan terbata-bata. Tangannya yang tadi kugenggam kini bergerak dan menyentuh permukaan pipiku. Lelaki itu ternyata hendak menghapus jejak air yang turun dari mataku.

“Aku nggak nangis, Ar. Aku bahagia karena kamu udah sadar,” ujarku lantas menyentuh permukaan tangan Arsy yang ada di pipiku. “Kamu jahat, Ar. Kenapa kamu nggak pernah kasih tahu aku soal keadaan kamu? Aku khawatir banget sama kamu, Ar.”

Akhirnya, aku mampu mengeluarkan sebaris pertanyaan yang sedari tadi tertahan.

Lelaki itu tersenyum kecil. “Maaf karena udah bikin kamu khawatir,” ucapnya perlahan.

“Nggak pa-pa. Tapi, janji sama aku kalau kamu nggak bakalan buat aku cemas lagi. Ya?” Aku mengangkat jari kelingkingku ke hadapan lelaki itu. Namun, bukannya membalas dengan jawaban serupa, ia malah melantur kemana-mana.

“Cantiknya Arsy sekarang udah nemuin pangerannya. Tugas Arsy buat jagain kamu udah selesai. Kalau Arsy pamit, jangan nangis, ya.”

Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat. “Nggak boleh. Arsy nggak boleh pamit. Nggak. Aku masih butuh kamu, Ar. Jangan bilang kayak gitu,” ucapku dengan napas yang memburu. Perkataan Arsy yang barusan benar-benar seperti kalimat perpisahan.

“Arsy bahagia karena pernah kenal sama gadis setangguh kamu.” Ia mengelus pipiku perlahan. Mengapa kini setiap kalimat yang diucapkan Arsy terasa berbeda? Atmosfer di ruangan itu pun mendadak berubah 180°.

“Kalau nanti Arsy pergi, jaga diri baik-baik. Jangan—”

“Nggak, Ar. Kamu nggak bakalan pergi. Jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak suka,” omelku kepada Arsy yang semakin melantur.

“Kalau kamu butuh teman cerita nanti, kamu bisa sering ke makam Arsy.”

“Ar!” pekikku tanpa disengaja. “Berhenti ngomong kayak gitu. Aku nggak mau kehilangan kamu,” lirihku.

“Ar, bertahan, ya. Aku sama bang Radi bakal upayain buat cepet dapetin donor jantung buat kamu. Kamu harus janji sama aku, gak boleh ninggalin aku.”

Arsy menyunggingkan senyumnya. Namun, kali ini senyuman itu tak mengartikan sebuah kebahagiaan. Lambat laun, senyuman Arsy memudar. Lelaki itu seperti tengah kesulitan menarik napasnya.

“Ar, kamu kenapa? Aku panggilin dokter, bentar.” Aku lantas menekan tombol darurat yang bisa digunakan untuk memanggil dokter. Aku menekannya berulang kali. Namun, baik dokter maupun suster, tidak ada yang segera datang.

“Aku panggil keluar dulu, ya. Bentar.” Aku hendak berlari keluar. Namun, genggaman tangan Arsy membuat langkahku terhenti.

“Nggak usah, Bel. Aku gak pa-pa,” ujarnya yang mulai kesulitan berkata-kata. “Aku mau kamu di sini. Please, don't leave me alone,” lirihnya yang membuatku tidak tega untuk meninggalkan lelaki itu. Aku terduduk kembali dan mengelus wajah Arsy perlahan. Keringat dingin membasahi sekujur wajah Arsy.

“Bel, maaf kalau ada janji yang belum sempat Arsy tepatin. Ma--af kalau Arsy ngingkarin janji buat selalu jagain kamu. Arsy pamit,” ujar Arsy yang kembali menimbulkan gelenyar menyakitkan di hatiku.

“Ar, jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bakalan ngingkarin janji kamu. Kamu bakalan selalu ada buat aku. Aku mohon, Ar. Jangan buat aku semakin ketakutan.”

“Ar? Arsy!” teriakku setelah melihat kedua bola mata Arsy kini tertutup rapat. Aku mengguncangkan tubuh Arsy berusaha membangunkannya. Namun, ia masih asyik memejamkan matanya.

“Bel, ada apa?” tanya Bang Radi yang seketika masuk ke ruangan Arsy. Di belakangnya, ada dokter dan dua orang suster yang kini berjalan mengelilingi ranjang Arsy.

“Arsy, Bang. Arsy tadi sadar. Trus, dia bilang dia pamit, Bang. Arsy gak beneran pamit buat ninggalin kita, kan?” raungku di ruangan itu. Bang Radi membawaku keluar mengingat dokter hendak memeriksa keadaan Arsy.

“Bel, kamu kenapa?” tanya Vero sesaat setelah aku keluar dari ruangan Arsy. Aku langsung menghambur ke pelukan lelaki itu. Air mataku tak bisa lagi ku bendung. Ia mengalir begitu saja tanpa permisi.

“Arsy, Ver. Arsy bilang dia pamit. Dia gak beneran mau ninggalin aku, kan?”

“Kita berdoa aja sama Tuhan, ya. Semoga Arsy gak kenapa-napa,” ujar Vero. Ia membantuku untuk duduk di kursi tunggu.

Aku melihat Bang Radi yang tidak hentinya berjalan mondar mandir di depan ruangan ICU. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa aku bukan satu-satunya orang yang takut kehilangan Arsy, melainkan ia juga.

Aku melipat kedua tanganku lantas memanjatkan beberapa baris doa. Pintaku kepada Tuhan kali ini tidak banyak. Cukup jangan rebut Arsy dari sisiku dan Bang Radi.

Beberapa saat kemudian, suara pintu terbuka menampilkan Dokter Sugeng yang berdiri di sana. Aku segera berdiri dan menghampiri dokter itu. Wajah Dokter Sugeng benar-benar tidak menampilkan raut yang menyenangkan.

“Dok, adik saya baik-baik saja, kan?” tanya Bang Radi. Namun, dokter itu tak langsung menjawab. Aku mendesaknya. Hingga aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk jawaban itu, aku langsung melewati dokter itu dan memaksa masuk ke dalam ruangan.

“Arsy!” pekikku tatkala suster di ruangan itu kini menaikkan kain berwarna serba putih hingga sedada Arsy. Air mata yang tadinya sempat mereda kini kembali menderas. Aku berlari dan segera mengguncang tubuh Arsy yang terbujur kaku. “Ar, bangun. Please, bangun, Ar. Jangan tidur kayak gini. Kamu mau jadi psikolog terkenal, kan? Kamu mau jadi kayak tante Retha, kan? Kamu harus bangun, Ar. Aku janji, setelah kamu bangun, aku bakalan nurutin apa pun permintaan kamu. Please, bangun, Ar.”

Aku jatuh ke atas lelaki itu dan memeluknya dengan erat. Kali ini, benar-benar tidak ada pergerakan yang berarti dari Arsy.

“Bel, saya tahu kamu begitu terpukul dengan kepergian Arsy. Tapi, kita harus bisa ikhlasin Arsy. Biarin adik saya pergi dengan tenang,” ujar Bang Radi mengelus bahuku. Aku menoleh kepadanya sejenak, sebelum akhirnya ia berjalan ke sisi sebelah kiri ranjang Arsy. Aku menguatkan hatiku untuk membantu Bang Radi menaikkan kain putih itu hingga menutupi keseluruhan wajah Arsy.

Hari ini ... tepatnya saat ini, aku telah kehilangan seorang yang begitu berarti di hidupku.

Pada pukul tujuh lebih beberapa menit, Arsy Mahaprana benar-benar meninggalkan dunia. Lebih cepat daripada apa yang pernah diprediksi oleh dokter.

•-•-•-•-•

Prosesi pemakaman Arsy telah berakhir. Sanak saudara dan tetangga yang tadi hadir kini satu per satu mulai beranjak pergi. Kini, hanya tersisa aku, Vero, dan bang Radi yang masih setia bertahan di sana.

Aku bersimpuh di hadapan segunduk tanah yang masih basah itu, lantas menyentuh nisan bertuliskan nama seseorang yang hari ini banyak menyisakan air mata di pipiku. Aku mengelus nisan itu perlahan sembari mencoba untuk menahan tangisku agar tak pecah.

“Ar, ternyata kamu benar-benar pamit ninggalin aku, ya. Kamu tahu, nggak? Kalau ada penghargaan orang terjahat di dunia, aku akan dengan senang hati kasih gelar itu ke kamu. Kamu jahat ... kamu bilang, kamu nggak bakalan ninggalin aku. Tapi, sekarang apa? Kamu ninggalin aku, Ar,” ujarku dengan lirih. Tenagaku mulai terkuras habis akibat terus menangisi kepergian Arsy.

Aku mencoba sekuat dan setegar yang aku bisa sekarang ini. Namun, aku gagal. Air mataku kembali luruh begitu saja. “Maaf, Ar. Aku gagal menjadi kuat seperti yang kamu bilang. Tapi, gimana aku bisa kuat kalau sekarang aku kehilangan kamu? Aku kehilangan seseorang yang selalu support aku, Ar. I lost you.”

“Ar, aku janji. Aku bakalan sering ngunjungin makam kamu. Aku masih bisa, kan, dateng ke kamu kalau nanti aku butuh tempat cerita? Sekalipun aku tahu, kamu udah gak bisa kasih aku saran lagi kayak dulu.”

Aku mengusap air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku lantas mencoba tersenyum. “Titipin salam aku buat bunda kamu di sana, ya. Bilang sama dia, maaf kalau aku selalu nyusahin putra kesayangannya.”

“Aku pulang dulu, ya. Selamat berisitirahat dengan tenang, Arsynya Bella.”

•-•-•-•-•

Di perjalanan pulang, aku tidak bisa menahan tangisku untuk tidak pecah di dalam mobil Bang Radi. Bayang-bayang terakhir Arsy tersenyum masih kental teringat di pikiranku. Aku tak menyangka, bila pada hari ini ... hari dimana aku dan Vero kembali berbaikan setelah kesalahpahaman menyerang kami. Di hari ini pula, aku harus ditinggalkan oleh sosok yang begitu penting dalam hidupku. Support system sekaligus the best adviser yang pernah ada di dalam hidupku.

Kematian memang tidak bisa kita hindari, karena cepat atau lambat setiap orang akan bergerak meninggalkan dunia ini. Sebab, dunia itu fana, sementara kematian itu nyata. Berulang kali aku menanamkan kalimat itu di hatiku untuk menyingkirkan rasa sedih yang teramat mendalam. Namun, aku kembali gagal mengalahkan keinginan untuk menangis.

Mobil Bang Radi terus melaju hingga tanpa terasa pergerakan rodanya terhenti tepat di depan indekos. Sedangkan Vero, aku sudah memintanya pulang terlebih dahulu, karena Bang Radi mengatakan ia akan mengantarku.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Bang Radi, aku lantas keluar dari mobil. Pemandangan pertama yang menyambutku saat turun dari mobil ialah Eisha dan Shafa yang kini duduk di teras indekos. Dengan satu orang lagi, yaitu Amran yang memilih bersender di dinding dekat pintu.

Apa Eisha dan Shafa hendak menuntutku untuk melanjutkan cerita yang belum tuntas itu? Demi apa pun, sekarang aku sedang tidak ingin membahas hal tersebut.

Kulihat Shafa dan Eisha menghampiriku yang kini justru terpaku di tempatku turun dari mobil tadi.

“Bel, kenapa mata kamu sembab gitu? Kamu habis nangis?” tanya Shafa dengan paniknya.

“Aku nggak pa-pa,” ujarku dengan lirih. Suaraku sedikit serak akibat tangis yang terus melanda. “Kalian ke sini mau minta aku lanjutin cerita yang hari itu, ya? Maaf, Fa, Ei. Hari ini, aku belum bisa cerita lagi.”

Shafa dan Eisha justru menggeleng. Shafa mengambil kedua tanganku dan kemudian digenggamnya. “Bel, kami udah tahu semuanya dari Amran. Maafin kami, ya, karena udah gagal jadi sahabat yang selalu ada buat kamu.”

“Iya, Bel. Kami nggak tahu, beban yang kamu alami dulu seberat ini. Bahkan, kami baru tahu setelah kejadian itu berlalu dua tahun. Sahabat kayak apa kami kalau gitu?” tutur Eisha menyiratkan sebuah penyesalan yang besar.

“Ini bukan salah kalian, tapi salah aku yang nggak pernah berani ceritain ini semua sama kalian,” ujarku lantas menyunggingkan senyum. “Udah, ya, gak perlu ngerasa bersalah, kok. Semuanya udah berlalu. Yang terpenting adalah sekarang udah gak ada rahasia-rahasiaan lagi di antara kita.”

“Jadi, baikan?” tanya Eisha menaikturunkan kedua alisnya. Aku dan Shafa saling bertatapan lantas tersenyum.

Of course,” jawab Shafa.

Pada akhirnya, semua masalah yang kami hadapi telah menemukan jalan keluarnya. Dan, akhir yang seperti inilah yang selalu diimpikan oleh para manusia yang terlibat sebuah konflik.

Sejenak, aku melupakan kesedihanku akibat ditinggal pergi selamanya oleh Arsy. Namun, walau bagaimanapun, kembali membaiknya hubunganku dengan kedua sahabatku tak luput dari campur tangan Arsy.

Arsy Mahaprana. Ia memang telah meninggalkan dunia. Sayangnya, semua kebaikannya akan selalu tertinggal di hatiku.

Dia Arsy Mahaprana. Malaikat Tuhan yang dikirim untuk menjadi jalan keluar dari setiap masalahku.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro