Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39 - Arsy dan rahasianya

Di sepanjang lorong rumah sakit yang kulalui, aku terus merapalkan sebait doa yang mengatasnamakan Arsy. Aku tidak tahu apa yang menimpa Arsy hingga ia masuk ke ruang ICU. Yang jelas, aku benar-benar takut bila terjadi apa-apa dengan Arsy. Terakhir kali, aku datang ke rumah sakit ialah ketika melihat Tante Retha dan suaminya yang baru kecelakaan. Setelah itu, bayang-bayang akan rumah sakit membuatku selalu teringat dengan hal bernama kematian. Namun, aku segera membuyarkan semua pikiran itu. Pikiran buruk itu hanya membuatku semakin takut kehilangan Arsy.

Aku melangkah dengan kondisi tangan yang bergetar dan keringat dingin yang sedari tadi mengucur keluar. Aku mempercepat langkahku ketika aku melihat tulisan ICU dengan besar terpampang di atas pintu sebuah ruangan. Aku segera menghampiri seseorang yang kini duduk di kursi tunggu di depan ruangan itu.

“Bang Radi,” panggilku. Bang Radi sontak menoleh dan memintaku untuk duduk di sebelahnya. Sementara Vero, ia duduk di kursi seberang. “Ada apa sebenarnya, Bang? Kenapa Arsy bisa masuk ICU?” tanyaku dengan panik.

Bang Radi tidak langsung menjawab pertanyaanku. Terlihat sebuah keraguan yang terpampang nyata di wajahnya. Seolah ada satu alasan yang membuatnya tidak berani mengungkapkan perihal keadaan Arsy kepadaku.

“Bang, kenapa diam aja? Jawab, Bang. Arsy kenapa?” desakku.

Bang Radi lantas menghela napasnya. “Sebenarnya, selama ini Arsy selalu ngelarang saya untuk menceritakan hal ini sama kamu. Tapi, saya rasa, saya nggak bisa menyembunyikan masalah ini lebih lama lagi dari kamu.”

Aku meneguk ludahku. Mengapa rasanya aura di lorong rumah sakit itu berubah menjadi berkali-kali lipat lebih menyeramkan? Mengapa bayang-bayang Arsy akan meninggalkanku terpampang nyata di pikiranku saat ini?

“Arsy punya masalah sama jantungnya. Dari kecil, jantungnya lemah.”

Bagaikan petir yang menyambar dengan seketika, aku nyaris runtuh begitu saja mendengar kalimat awal yang dilontarkan oleh Bang Radi.

“Maka dari itu, saya selalu melarangnya untuk melakukan hal berat sekaligus memikirkan suatu hal yang tidak begitu penting. Yang saya takutkan adalah keadaan Arsy akan lebih parah. Dan ....” Bang Radi menggantung ucapannya. Hal itu membuat detak jantungku berdegup lebih kencang.

Mengapa Arsy menyembunyikan semua itu dariku? Selama ini, Arsy selalu terlihat sehat di hadapanku. Ia selalu mengikuti mauku yang mengajaknya untuk bersepeda bersama. 

“Ar, kita sepedaan, yuk. Mumpung hari Minggu,” ajakku yang kini sudah berada di depan rumah Arsy dengan sepeda yang kugiring masuk dari gerbang. Arsy yang tadinya terlihat fokus dengan bacaannya segera menoleh ke arahku. Ia mengerutkan keningnya untuk sepersekian detik, sebelum akhirnya ia mengacungkan jempolnya.

“Tunggu bentar, aku ambil sepeda dulu.” Ia langsung berjalan masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian, suara lonceng sepeda terdengar dari belakangku. Arsy keluar dengan sepedanya dari dalam garasi.

Ia juga selalu turut memikirkan masalahku. Seolah, ia adalah orang paling sehat dan bahagia di muka bumi ini. Namun, mengapa kenyataan sepahit ini yang harus dirasakan Arsy?

“Sekarang, keadaan jantungnya semakin melemah. Tadi Arsy ngedrop dan saya langsung membawanya ke rumah sakit. Sebelum Arsy pingsan, terakhir kalinya dia melafalkan nama kamu. Maka dari itu, saya menelepon kamu untuk datang ke sini ...,” ujar Bang Radi lantas mengusap wajahnya kasar. “Kedua orang tua saya sudah menghadap Tuhan. Dan, yang saya punya sekarang ini hanya Arsy. Saya benar-benar takut kehilangan Arsy. Saya harap, dengan kedatangan kamu ke sini, Arsy seolah mendapat kekuatan untuk bertahan hidup.”

Napasku memburu mendengar ucapan Bang Radi. Apa kondisi Arsy yang melemah ada kaitannya dengan wajah pucatnya hari itu? Lantas, mengapa Arsy tidak pernah jujur kepadaku?

“Kenapa wajah kamu pucat, Ar?”

Pertanyaan itu ialah yang pertama kulontarkan saat bertemu dengan lelaki itu. Wajahnya tidaklah sesegar biasanya. Apa jangan-jangan ia sedang sakit?

“Kayaknya kena udara dingin, makanya gini,” jawabnya.

“Oh gitu. Ayo, masuk, Ar. Nanti kamu malah kedinginan.”

“Mungkin sehabis ini, Arsy akan marah dengan saya, karena saya nekat kasih tahu ini sama kamu,” lirih Bang Radi yang terdengar nyata di telingaku. “Selama ini, dia gak mau kamu tahu soal penyakitnya. Dia gak mau kamu terus kepikiran soal kesehatan dia. Tapi, tanpa dia sadari, dia terus mengacuhkan kesehatannya dan menomorsatukan kamu.”

Setetes air mata turun membasahi pipiku. Kenapa semuanya jadi begini? Arsy terlalu mengkhawatirkanku hingga ia mengabaikan kesehatannya. 

Apa ini salahku karena telah hadir di kehidupan Arsy dua tahun silam? Seandainya waktu itu, Tante Retha tidak menemukanku yang hendak bunuh diri. Seandainya waktu itu, aku langsung meloncat saja dari jembatan tanpa berlama-lama meratapi keadaanku. Seandainya waktu itu ... aku langsung mati saja. Tentunya, tidak akan ada pertemuan yang diberlangsungkan antara aku dan Arsy. Tentunya, Arsy tidak akan keteteran menghadapi aku dan masalahku.

Pandanganku kini kosong. Namun, bayang-bayang senyum Arsy sedari tadi mengitari kepalaku. Aku terus menatap ke arah pintu ruangan ICU, berharap dokter segera keluar dari sana dan memberitahu kami tentang keadaan Arsy.

Rasa cemas mengelilingi seisi pikiranku. Tanganku bergetar, namun tetap saling tertaut satu sama lain untuk memanjatkan doa.

Tiba-tiba saja, suara pintu yang terbuka membuatku sontak menoleh. Aku menyusuli Bang Radi yang sudah terlebih dahulu bangkit dan menemui seorang lelaki berusia 50 tahunan yang mengenakan jas berwarna putih.

“Dok, gimana keadaan adik saya?”

Dokter dengan name tag dr. Sugeng Sentoso itu terlihat menghela napasnya. Ia lantas menatap bang Radi dengan tatapan yang begitu sulit kuartikan.

“Kondisi jantungnya melemah. Saya khawatir, ia tidak bisa bertahan lama jika tidak segera melakukan transplantasi jantung.”

Kakiku seketika melemas mendengar kondisi Arsy saat ini. Untungnya, Vero dengan sigap menangkapku dari belakang. Jika tidak, tubuhku benar-benar luruh ke lantai.

Aku menatap dokter itu dengan tidak percaya. Tidak. Arsy tidak selemah itu. Arsy yang kukenal itu kuat.

“Dok, jangan becanda. Saya tahu, Arsy itu kuat. Dokter cuma becanda kan tadi?” raungku tidak terima.

“Bagaimana caranya saya bisa membuat hal semacam ini menjadi suatu candaan?”

“Kalau gitu, tunggu apalagi? Arsy harus segera dioperasi, kan, Dok? Kenapa Dokter masih diam di sini? Arsy butuh pertolongan, Dok,” ujarku kesal lantaran Dokter Sugeng masih saja tertahan di depan ruangan ICU.

“Bel, gak semudah itu. Kita harus nemuin pendonor dengan jantung yang cocok sama Arsy,” ujar Bang Radi.

“Bang Radi sama Arsy kan saudaraan. Artinya, kalian punya kecocokan. Kalau gitu, kenapa bukan Bang Radi aja yang donorin?”

“Golongan darah kami beda, Bel. Saya A dan Arsy O+. Golongan darah O+ itu langka. Karena hanya bisa menerima donor darah dari golongan yang serupa.”

Aku tertegun mendengarkan penuturan Bang Radi. Golongan darahku AB. Tentu, aku tidak bisa mendonorkan jantungku untuk Arsy. Apalagi proses transplantasi jantung berbeda dengan hati. Sang pendonor haruslah orang yang sudah meninggal. Lantas, siapa yang bisa menolong Arsy saat ini?

“Bila sudah tidak ada yang dibicarakan, saya permisi dulu. Pasien bisa dijenguk, tapi saya sarankan untuk masuknya satu per satu saja.”

Sepeninggal Dokter Sugeng pergi, aku menatap Bang Radi. Sebenarnya, aku ingin sekali masuk ke dalam ruangan itu pertama. Namun, ada Bang Radi yang posisinya lebih berhak untuk menjenguk adiknya terlebih dahulu.

“Kamu masuk duluan aja, Bel. Saya mau ke kantin beli makanan. Kamu pasti belum sarapan, kan?” tanya Bang Radi. Aku lantas mengangguk. Ia menepuk bahuku. “Bilang sama Arsy, jangan lama-lama tidurnya.”

•-•-•-•-•

Aku memasuki ruangan tempat Arsy berada itu dengan pakaian layaknya jubah berwarna biru. Kakiku melangkah dengan perlahan. Aku masih tak menyangka, bila Arsy yang kukenal kuat harus berada di ruangan ini.

Suara monitor yang menampilkan grafis kinerja organ tubuh itu terus berbunyi, pertanda bahwa kehidupan masih ada di tangan lelaki itu.

Perlahan, aku menggeser kursi untuk mendekat ke ranjang Arsy dan duduk di atasnya. Wajah Arsy yang biasanya menampilkan senyum di setiap kali pertemuan kami, kini terpaku datar tanpa ada sedikitpun lengkungan.

“Hai, Ar,” panggilku dengan nada yang bergetar hebat. Air mataku hendak luruh. Namun aku segera menghapus jejaknya. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan Arsy, sekalipun mata lelaki itu masih asyik terpejam.

“Gak biasanya kamu kayak gini, Ar. Setelah bangun, trus tidur lagi. Kamu pasti capek, ya?” tanyaku seolah-olah Arsy tengah mendengarku. “Maaf, aku gak tahu beban kamu sebesar ini sampai-sampai aku selalu nambahin beban kamu dengan masalah aku.”

“Ar, cepat bangun. Aku janji, setelah ini aku nggak bakalan nyusahin kamu lagi.

Aku mengambil sebelah tangan Arsy lantas menggenggamnya dengan kedua tanganku. “Kata dokter, kalau kamu gak segera nemuin pendonor jantung yang cocok, kamu gak bakalan bertahan lama. Tapi, aku gak percaya, Ar. Aku tahu, kamu itu kuat. Tanpa adanya pendonor pun, kamu pasti bisa ngelewatin ini semua. Iya, kan?”

Rasanya, miris. Arsy yang biasanya selalu memberikan respons atas setiap ucapan yang keluar dari bibirku, kini tidak merespons sama sekali. Jangankan menjawab. Kini Arsy pun tak bisa mengelus puncak kepalaku seperti biasanya.

“Ar, kamu inget, nggak? Kamu pernah bilang sama aku, kamu mau jadi psikolog terkenal biar bisa nolongin orang-orang kayak aku keluar dari trauma masa lalunya. Makanya, setiap hari kamu selalu aja baca buku dan baca buku. Gak pernah ada bosannya. Aku aja yang ngelihatin kamu baca bosan, Ar.”

“Tapi, kamu bilang, kalau mau jadi psikolog yang hebat kayak bunda kamu, harus banyak baca buku dan belajar. Nah, sekarang, aku mau ajak kamu baca buku bareng. Kamu cepat bangun, ya. Nanti kita belajar sekaligus meraih mimpi kita sama-sama. Kamu jadi psikolog, aku jadi guru. Jadi, kalau nanti aku stress ngadepin murid aku, aku bisa lari ke kamu buat ngadu.”Aku terkekeh kecil di akhir ucapanku.

Aku mengelus tangan Arsy dengan perlahan. Kepalaku kutundukkan, berusaha menyembunyikan tetes air mata yang baru saja menetes.

“Ar ... kenapa kamu masih sibuk tidur? Aku terlalu berisik, ya, sampai kamu enggan buat bangun? Ya udah, kalau gitu, aku diam aja. Tapi, kamu cepetan bangun, ya?”

Aku mengatupkan kedua sisi bibirku, membiarkan suara mesin monitor memecahkan keheningan antara aku dan Arsy. Aku menatap wajah lelaki itu lekat. Wajah seseorang yang selama ini selalu memberikan support sekaligus orang yang selalu ada untukku kala masa-masa sulit menyerangku.

Aku tersentak ketika jemari Arsy yang berada di genggamanku mendadak bergerak. Aku menatap jemari itu cukup lama hingga gerakan kedua kembali tercipta. Senyumku seketika mengembang. Aku beralih menatap wajah Arsy saat ini.

Perlahan, kedua bola matanya mengerjap, menambah efek lengkung di wajahku menjadi lebih terlihat.

“Ar ....”

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro