Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 - Kesalahpahaman itu sirna

“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku tanpa memandangi wajah lelaki itu. Rasa penyesalan masih sedikit menggerogoti perasaanku jika mengingat kejadian tadi pagi. Aku masih tidak bisa menghilangkan bayang kecewa di wajah Vero dari pikiranku. Saat ini, aku masih belum sanggup bertemu dengannya.

“Aku mau bicara bentar sama kamu, Bel. Bisa?”

Aku menggelengkan kepalaku. “Maaf, Ver, aku gak bisa. Hari ini, aku capek,” ujarku berbohong. Padahal, tubuhku sudah terasa fit kembali setelah tadi beristirahat di rumah Arsy.

Please, Bel, sebentar aja. Aku udah tahu kebenarannya, Bel. Aku udah tahu semuanya. Aku minta maaf karena tadi udah ninggalin kamu,” ujarnya yang terasa menyesali kejadian tadi pagi. Namun, kebenaran apa yang Vero maksudkan? Apa ia sudah menyadari kesalahpahaman yang ia dengar tadi?

Sejujurnya, aku ingin sekali mendengarkan penjelasan Vero. Namun, aku masih takut bila harapanku itu tidak sesuai dengan realita.

“Maaf, Ver, aku beneran gak bisa. Lain kali aja, ya?” pintaku lantas beranjak untuk membuka pintu indekos.

“Bel, aku mohon,” lirih Vero sembari memegang pergelangan tanganku. Aku berusaha melepaskan cekalan itu.

“Bel, kamu masuk aja. Urusan Vero biar aku yang urus,” ujar Arsy seketika. Aku pun mengangguk dan berjalan masuk ke dalam indekos, membiarkan Arsy dan Vero yang kini sepertinya tengah berbincang. Aku tidak ingin menguping, maka dari itu kuputuskan untuk segera berjalan masuk ke dalam.

•-•-•-•-•

Jarum panjang jam dinding menunjuk ke angka 6 saat aku mengikat kantong plastik hitam berisikan sampah yang hendak kubuang. Aku menenteng kantong itu lantas menaruhnya di dekat pintu utama untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, aku meraih kembali kantong plastik itu dengan satu tangan yang mengeratkan cardigan yang kukenakan.

Udara dingin seketika masuk dari pintu dan langsung menyerangku hingga masuk ke tulang-tulang. Maklum saja, tadi malam wilayahku baru saja dilanda hujan yang lumayan lebat. Maka dari itu, suhu udara di pagi ini bertambah berkali-kali lipat dinginnya.

Aku berjalan keluar dan hendak kembali mengunci pintu. Namun, aku menangkap sebuah bayangan manusia yang ada di sebelahku. Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku menyaksikan pemandangan yang kini terpampang nyata di teras rumahku.

Bayangan yang tertangkap di ekor mataku tadi ternyata bukan bayangan. Melainkan betul-betul tubuh seseorang yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Ia tengah terduduk di kursi dengan posisi memejamkan mata. Kedua tangannya terlipat di bagian perutnya.

Aku berjalan mendekat ke arah orang itu lantas memperhatikannya lekat. Sejak kapan ia berada di sini? Apa dari semalam?

Tangannya tiba-tiba bergerak. Ia sepertinya tengah berusaha menghangatkan tubuhnya dengan mengeratkan lipatan tangannya tadi. Aku masih sibuk memperhatikannya yang masih nyenyak dalam tidurnya, hingga aku segera memalingkan wajah tatkala kelopak matanya mulai terbuka.

“Bella!” kejut lelaki itu. Ia seketika berdiri dan membuatku mundur selangkah.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku dengan nada yang dingin. Namun tentunya, tidak mampu mengalahkan dinginnya pagi ini.

“Tadi malam, Bel,” jawabnya.

“Tadi malam?!” pekikku. Jadi, sedari semalam Vero berada di sini? Apa itu artinya ia bermalam di teras indekos dengan keadaan hujan yang turun semalaman?

“Kenapa kamu nggak pulang, sih?” tanyaku kesal. Mengapa ia senekat itu untuk bermalam di sini?

“Aku mau ngomong sama kamu, Bel,” ujarnya.

“Udah aku bilang, Ver. Lain kali aja.”

“Bel, please, kasih aku kesempatan buat ngomong sama kamu. Dari semalam aku udah nunggu di sini, Bel. Emangnya kamu gak kasihan sama aku?”

Memangnya, siapa yang memintanya untuk menunggu di sini?

Mungkin, ini semacam jebakan. Ia pikir, aku akan dengan mudahnya luluh dengan perjuangannya demi mendapatkan kesempatan untuk berbicara denganku. Maka dari itu, ia menggunakan kalimat itu untuk menyerangku.

Sayangnya, itu benar. Karena, di detik berikutnya, aku menghela napas pasrah dan memberinya kesempatan itu. “Iya. Silakan. Kamu mau ngomong apa?”

“Ngomongnya sambil duduk aja, Bel.”

Aku pun menuruti Vero dan duduk di kursi teras.

“Sebelumnya, aku minta maaf karena udah ninggalin kamu kemarin di taman. Aku nyesal karena udah sembarang narik kesimpulan dari perbincangan kamu sama kedua sahabat kamu. Kemarin, Amran datang ke rumah aku. Dan, aku udah tahu kebenarannya. Amran udah jelasin semuanya ke aku, Bel. Aku ... minta maaf karena kemarin sempat terbesit di pikiran aku kalau kamu itu cewek nggak bener.”

“Kamu nggak salah. Apa yang kamu pikirkan itu benar, kok. Aku emang cewek nggak bener. Aku bukan cewek baik-baik, Ver,” ujarku menyela perkataan Vero.

“Nggak, Bel. Di sini, kamu itu korban. Amran udah ngelecehin kamu dan yang nggak bener itu Amran. Sekali pun alasannya, dia itu dijebak sama teman-temannya.”

Aku menggeleng. “Nggak, Ver. Jujur aja, aku menikmati setiap sentuhan Amran pas itu, Ver. Itu artinya aku juga nggak bener.”

“Bel, berhenti menyalahkan diri kamu atas kejadian masa lalu itu,” ujar Vero lantas memegang kedua tanganku. “Sekali lagi, aku minta maaf karena kejadian kemarin, Bel.”

“Jangan minta maaf, Ver. Kamu nggak salah. Wajar kalau kamu kecewa dan ninggalin aku kemarin di taman. Bahkan, kalau sekarang kamu mau ninggalin aku, silakan. Aku gak punya hak buat minta kamu untuk tetap di sisi aku, Ver,” ujarku dengan nada yang bergetar di kalimat terakhir.

Vero menggelengkan kepalanya. “Setelah aku tahu kebenarannya, sama sekali nggak pernah terbesit di pikiran aku buat ninggalin kamu, Bel.”

Aku tersenyum miris. “Kenapa gitu? Bukannya udah jelas? Aku bukan cewek baik-baik, Ver.”

“Kalau gitu, sekarang aku tanya. Kenapa pas itu kamu milih buat gak ninggalin aku, setelah kamu tahu bahwa aku pecandu vape dan mantan perokok? Bukannya, itu juga membuktikan aku bukan cowok baik-baik?”

“Itu beda ceritanya, Ver.”

“Beda gimana, Bel? Kasusnya sama. Kalau kamu bisa mengambil opsi buat nggak ninggalin aku dan mau bantu aku keluar dari dunia aku. Kenapa aku nggak bisa ambil opsi yang sama?”

Aku terdiam mendengarkan pertanyaan itu, karena sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban.

“Bel, kata kamu, cinta bukan tentang kesempurnaan, kan? Tapi, tentang bagaimana caranya kita menyempurnakan dua ketidaksempurnaan yang kita punya. Bukannya sekarang kasusnya sama? Kita berdua sama-sama punya masa lalu buruk, Bel. Kita berdua sama-sama  punya kehidupan yang jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, aku mau ajak kamu, kita sama-sama berjuang untuk mengubah pikiran buruk orang di luaran sana tentang kita. Dan, satu-satunya cara adalah dengan kita saling melengkapi satu sama lain.”

Aku termenung mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan oleh Vero. Lidahku seolah kelu. Suaraku tersedot habis hingga tak mempunyai sesuatu untuk dikeluarkan saat ini. Mataku terasa memanas mendengarkan ucapan itu. Apa sebegitu besar perasaan Vero hingga ia mampu menerima masa laluku yang begitu buruk?

“Lagian, aku yakin, Vero cowok baik-baik dan dia gak akan jauhin kamu, Bel. Percaya sama aku.”

“Bel,” panggil Vero menyadarkanku dari lamunan. Aku menatapnya. Tatapan kami bertemu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya aku memutuskan kontak mata itu terlebih dahulu. Aku masih begitu takut menatap dalam mata lelaki itu.

“Bel, please, kasih aku kesempatan buat ngebuktiin teori cinta yang kamu bilang sama aku,” pinta Vero yang membuat hatiku bergetar.

“Apa yang bisa buat aku yakin kalau kamu benar-benar bisa nerima masa lalu aku, Ver?”

“Aku udah pernah bilang, Bel. Sama seperti kamu yang bisa nerima sisi buruk aku tanpa syarat, maka aku juga akan gitu. Aku bakalan nerima masa lalu kamu apa adanya, Bel. Nggak peduli seberapa buruk masa lalu kamu di mata orang-orang. Trust me, Bel. Kali ini, aku serius dengan omongan aku.”

Aku kembali menatap dalam mata lelaki itu, berusaha mencari secercah kebohongan yang terselip di dalamnya. Namun, nihil. Entah ia yang terlalu pandai menyembunyikan kebohongan, atau, semua yang ia ucapkan memang tulus dari dalam lubuk hatinya.

“Oke, Ver. Aku pegang kata-kata kamu. Tapi, satu hal yang perlu kamu ingat, aku nggak bakalan larang kamu pergi kalau suatu saat kamu berubah pikir—”

Ssstt.” Vero menaruh jemarinya di atas bibirku. “Aku gak bakalan pergi. Aku bakalan selamanya di sisi kamu. Aku janji.” Ia lantas mengangkat jari kelingkingnya.

Cukup lama aku membiarkan kelingking itu sendirian tanpa adanya tautan, aku menghela napas dan segera menautkan kelingkingku. “Aku pegang kata-kata kamu.”

“Jadi, kita baikan?”

“Emangnya, kapan kita burukan?” tanyaku sembari terkekeh kecil.

Tiba-tiba, ponselku yang ada di kantong celana bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Bang Radi.

“Siapa, Bel?” tanya Vero.

“Bang Radi. Bentar, aku angkat telepon dulu.”

Aku pun bangkit dari kursi dan menggeser tubuhku sedikit jauh.

“Halo, Bang. Ada apa?”

“Bel, segera ke rumah sakit Kharisma. Arsy masuk ICU.” Begitu ucap Bang Radi di seberang telepon.

“Apa?” pekikku. Tubuhku seketika terasa melemas. Aku mulai kehilangan keseimbangan tubuhku. Beruntungnya, Vero dengan sigap menangkap tubuhku yang hendak oleng.

“Bel, kamu kenapa?”

“Arsy, Ver ...,” lirihku. “Arsy masuk ICU.”

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro