36 - Gadis tak tahu diri
“Ver,” panggilku sedikit mengeraskan volume suara. Aku tahu, Vero pasti mendengar panggilanku. Namun, ia enggan menoleh. Setelah ia membetulkan posisi tempat sampahnya, ia segera berlari menjauh.
“Ei, Fa, aku mau nyusul Vero dulu. Bahasnya besok lagi, ya,” ujarku lantas berpamitan kepada mereka. Aku langsung mengejar ketertinggalan langkahku dari Vero.
“Ver, tunggu,” teriakku sembari tetap berlari. Kini, Vero telah mencapai motornya dan hendak menyalakan mesin. Namun, aku segera menghadangnya.
“Ver, kenapa kamu ngejauh?” tanyaku untuk memastikan apakah lelaki itu sudah mendengarkan ceritaku kepada Eisha dan Shafa atau belum. Ia tidak menjawabku. Ia masih setia menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Terkadang, lelaki memang serumit itu. Mereka mempunyai sebuah keahlian menyembunyikan perasaan mereka hanya melalui tatapan mereka. Setidaknya, itu yang aku pahami tentang teman lelaki yang pernah dekat denganku.
“Ver, jawab. Jangan diam aja,” desakku.
“Aku gak nyangka, Bel,” ujar Vero akhirnya membuka suara. “Aku gak nyangka, Bella yang aku kenal pernah berbuat seburuk itu. Aku gak nyangka, Bella yang selama ini terlihat sebagai gadis dewasa malah nyatanya kayak gini.”
Mataku memanas mendengar kata-kata dari Vero. Itu artinya ... Vero memang sempat mendengar pembicaraan antara aku dan kedua sahabatku.
“Ver, itu semua cuma—”
“Cuma apa? Cuma kebohongan yang kamu tutupi dari aku selama ini? Pantes aja, waktu itu kamu nyinggung soal masa lalu kamu dan gak berani ceritain cerita full-nya. Eh, tahu-tahunya begini,” ungkapnya dengan raut penuh kekecewaan. Aku dibuat seolah terhanyut dalam perasaan kecewanya hingga suara pergerakan Vero terdengar jelas di telingaku. Ia sudah menghidupkan mesin motornya sekarang.
“Minggir. Aku mau pulang,” ujarnya dengan nada yang dingin.
“Ver, tunggu dulu. Aku bisa jelasin ini semua,” ujarku sembari mencoba menahan motor Vero agar tak bergerak.
“Minggir, Bel,” ucapnya penuh penekanan. Namun, aku tidak menurutinya.
“Kalau kamu mau lewat, tabrak aja aku, Ver,” ungkapku. Dapat kupastikan lelaki itu akan kembali mematikan mesin motornya dan tetap pada posisi semula. Sayangnya, realita tak seindah ekspektasi. Ia malah memundurkan motornya dan melaju melalui jalan di sebelahku.
“Ver!” teriakku berharap ia memberhentikan laju motornya. Namun, ia tetap bergerak maju meninggalkanku di parkiran taman.
Meninggalkanku dengan sejuta penyesalan yang bersarang di dada.
Aku mengacak rambutku frustrasi. Kedua bola mataku kupejamkan berusaha meresapi semua kejadian ini. Mengapa hal yang aku pikir akan meyelesaikan masalah malah menambah kerumitan dalam hidupku?
“Bel, kamu gak pa-pa?”
Aku membuka mataku lantas mendapati Shafa dan Eisha berada di hadapanku saat ini. Dari sorot mata mereka, aku dapat melihat kekhawatiran yang tercetak cukup jelas di sana. Termasuk, pada Shafa yang beberapa saat lalu masih setia pada sorot kemarahannya.
Aku menggelengkan kepalaku lantas mengatakan aku baik-baik saja, meski aku yakin mereka tidak akan percaya begitu saja setelah melihat kekacauan diriku setelah bertemu dengan Vero.
“Kalian pulang duluan aja. Untuk cerita yang tadi kapan-kapan aku ceritain kelanjutannya. Yang penting, Fa,” ujarku lantas menyentuh bahu Shafa. “Dari cerita aku yang tadi, aku gak bermaksud untuk menjelekkan Amran. Dan, soal omongan aku tentang cowok berengsek kemarin, aku tarik, ya. Amran ternyata gak seburuk yang aku pikirkan selama ini.”
“Tapi, Bel, dia kan udah buat kamu trauma,” cela Eisha.
Aku menyunggingkan senyum. “Dia emang yang udah buat aku trauma. Tapi, itu bukan murni kemauan dia. Kalian boleh ajak ketemuan Amran dan minta dia jelasin dari sisi dia. Setelah itu, kalian bisa nyimpulin itu sendiri.”
•-•-•-•-•
Rintikan air hujan yang semula kecil kini bertambah deras dan mengguyur sekujur tubuhku. Aku memeluk tubuh mungilku dengan kedua tanganku erat.
Orang-orang yang berjalan melewatiku mungkin akan berpikiran bahwa aku adalah orang dengan gangguan jiwa. Pasalnya, di antara banyaknya pejalan kaki dengan payung warna-warninya atau mereka yang segera berlarian mencari tempat teduh, aku ialah satu-satunya yang tidak berpayung dan sengaja berjalan dengan lambat di pinggir jalan.
Tapi, yang tidak orang-orang ketahui ialah air mataku yang terus bercucuran membasahi wajahku. Rintik hujan adalah teman terbaik ketika menangis. Ia seolah bersekutu dengan kita untuk menyembunyikan tangis.
“Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain aja?” gumamku sedari tadi yang menyebabkan aku harus berkali-kali mengusap bagian pipi agar air hujan tak langsung meresap masuk ke mulutku.
Kenapa rasanya semesta begitu jahat kepadaku? Setelah kejadian dua tahun lalu yang membuatku trauma, apa aku masih harus mengalami yang namanya kehilangan orang dicintai?
Aku tahu, aku gadis tak tahu diri. Berani-beraninya aku mencintai laki-laki tanpa ia tahu perihal masa laluku. Tapi, kata Arsy, lelaki yang baik tidak akan mempermasalahkan masalah itu. Justru, ia akan bertekad untuk menjagaku, mencegah masa lalu yang bisa saja kembali terulang.
Lantas, mengapa aku sekarang dilanda ketakutan bahwa Vero akan meninggalkanku?
Aku dapat merasakan apa yang lelaki itu rasakan. Jika aku berada di posisi Vero pun, aku pastinya akan kecewa besar terhadap orang yang telah menyembunyikan fakta besar itu selama ini. Tapi, di saat aku mengingat kembali raut wajah lelaki itu, aku selalu menyesal.
Kenapa? Kenapa semuanya harus serunyam ini? Kupikir, setelah aku menceritakan semuanya pada Eisha dan Shafa, masalah ini akan segera selesai.
Sayangnya, aku lupa bila masih ada satu orang penting yang harus aku ceritakan.
Sayangnya, aku lupa bahwa masih ada potensi bila Vero enggan menerima masa laluku.
Lagipula, siapa yang mau berteman dengan gadis tak tahu diri sepertiku? Berlagak ia adalah orang baik, padahal ia sama sekali tak pantas untuk mendapatkan gelar itu.
Aku berhenti melangkah lantas mencengkeram kepalaku dengan erat. “Kenapa semua harus kayak gini?” teriakku sekuat-kuatnya di jalanan yang menyepi akibat hujan itu.
Aku biarkan tubuhku luruh begitu saja. Kedua lututku menyentuh permukaan tanah tak beraspal yang kini mulai tergenang air. Aku memperhatikan lamat-lamat tanah kecokelatan itu sembari membiarkan air mataku terus menetes. Anggap saja kali ini aku lemah oleh keadaan. Aku lemah. Aku kalah. Karena aku tidak bisa melewati keadaan sulit ini tanpa menahan air mata agar tak menetes keluar.
Setelah puas menjatuhkan tubuhku bersimpuh di atas tanah becek itu, aku mencoba bangkit untuk kembali melangkah. Meski, aku sama sekali tidak punya arah kemana aku harus melangkahkan kaki mencari tempat pemberhentian. Namun, baru beberapa langkah, pusing kembali mendera kepalaku. Aku berhenti sejenak untuk menetralkan rasa pusing itu. Aku mencoba memejamkan kedua bola mataku dan kembali membukanya setelah beberapa saat. Pandanganku sedikit mengabur. Aku mengusap air yang membasahi wilayah di sekitar mata untuk mengembalikan pandanganku. Tetapi, tetap saja masih mengabur.
Pandangan terakhir yang kutangkap jelas hanyalah sebuah mobil hitam dengan plat yang cukup familier di ingatanku bergerak ke arahku.
Kepalaku kembali dilanda pusing yang tadinya sempat mereda. Aku mencengkeram kedua sisi kepalaku lagi untuk menetralkan rasa pusing yang semakin menjadi sembari mencoba melangkah. Namun, baru dapat selangkah, tubuhku seketika hendak ambruk ke tanah.
“Astaga, Bella!” Suara teriakan itu yang berhasil masuk ke indra pendengaranku, sebelum akhirnya aku merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangku.
•-•-•-•-•
Tbc.🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro