35 - Cerita lama yang mengandung luka
[Warning ⚠️]
Part ini mungkin mengandung konten sensitif bagi sebagian perempuan. Harap bijak saat membaca. Ambil sisi positif dan buang negatifnya!
•-•-•-•-•
Sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan ketika dosen terajin sejurusan pendidikan matematika mengirimkan pesan kepada grup kelas dan mengatakan bahwa ia tidak bisa mengajar hari ini. Artinya, aku bisa memanfaatkan pagi ini untuk bertemu dengan Eisha dan Shafa. Lagipula, pagi hari ialah waktu yang tepat untuk menjelaskan semua kerumitan hubunganku dengan kedua sahabatku, mengingat masih belum banyak hal yang mengganjal di pikiran.
Aku sudah mengirimi pesan kepada Eisha dan Shafa di grup kami bertiga untuk mengajak mereka bertemuan. Awalnya, Shafa dengan keras menolak ajakanku. Namun, Eisha bilang ia akan langsung menjemput Shafa bertemu denganku nanti. Sekalipun aku tahu, cara itu malah membuat Shafa terkesan terpaksa saat mendengarkan penjelasanku.
Eisha Gwenara
Maafkan sifat Shafa. Mungkin, dia masih marah sama kamu karena kejadian kemarin.
Eisha lantas mengirimiku pesan pribadi seperti tadi. Dalam hati, aku bersyukur karena masih mempunyai seorang sahabat yang serba pengertian seperti Eisha.
Aku pernah membaca satu postingan yang mengatakan seperti ini.
Di dalam hubungan persahabatan, selalu akan ada dua tipe orang di dalamnya. Yang pertama ialah mereka yang sensitif akan hal-hal kecil yang kemudian menjadikan mereka terlihat sedikit sensian. Dan, yang kedua ialah mereka yang mampu bersikap dewasa sekaligus tenang di saat-saat rumitnya hubungan persahabatan.
Shafa ialah tipe yang pertama, sedangkan Eisha adalah yang kedua. Tanpa ada salah satu dari mereka, hubungan persahabatan kami akan terasa hambar.
Aku keluar dari indekos setelah bersiap-siap di dalam. Kali ini, aku akan berangkat menemui Eisha dan Shafa menggunakan ojek online. Aku sedang malas membawa motor sendiri, oleh karena itu sekali-kali aku mencoba memanfaatkan perkembangan di era modern ini.
Aku menutup pintu indekos lantas duduk di kursi teras sembari menanti kedatangan ojek online-ku.
“Hai, Bel.” Aku menoleh dan mendapati Kak Sonya yang sepertinya juga hendak keluar. Ia terlihat begitu manis dengan penampilan casual-nya.
“Hai, Kak Sonya. Mau kemana, Kak?” tanyaku berbasa-basi dengan tetangga indekosku itu.
“Mau ke toko buku, Bel, buat beli buku-buku penunjang skripsi,” ujarnya. “Kalau kamu, mau kemana?”
“Mau ke taman dekat jalan Ponorogo, Kak. Mau ketemu teman,” jawabku.
Seketika suara deru motor terdengar dan berhenti di depan indekos. Itu pasti ojek online pesananku. Aku berpamitan kepada Kak Sonya.
“Hati-hati, Bel.” Kak Sonya melambaikan tangannya ke arahku yang kubalas dengan hal serupa.
•-•-•-•-•
“Sebenarnya, aku gak mau datang ke sini kalau gak dipaksa sama Eisha,” ucap Shafa dengan ketusnya.
Saat ini, aku sudah berada di taman bersama dengan kedua sahabatku. Wajah Shafa sedari tadi tidak menampilkan senyum sedikit pun ketika bertemu denganku. Wajar, ia pasti marah denganku karena kejadian yang kemarin.
“Wajar, Fa, kalau kamu marah sama aku. Cuma di sini, aku mau ngejelasin semuanya, Fa. Termasuk soal rahasia yang selama ini aku sembunyikan dari kalian,” ujarku sembari mencoba tersenyum, meski rasanya hatiku terasa teriris tatkala harus kembali mengingat kejadian dua tahun lalu.
“Sebenarnya, Amran itu mantan aku,” ucapku. Aku dapat melihat raut keterkejutan di wajah keduanya. “Pas kelas sebelas semester dua, kami berpacaran. Aku gak pernah kasih tahu ke kalian soal ini pas itu karena kami mengambil jalan backstreet. Walau ujungnya, teman Amran tahu perihal hubungan kami.” Aku memberhentikan ceritaku saat ingatan masa lalu kembali menghantui pikiranku.
Sepulang sekolah, aku segera menemui Amran yang katanya hendak membicarakan sesuatu hal. Kami berbeda sekolah. Namun, sekolah kami tergolong cukup dekat. Kami sering bertemu di taman dekat sekolah. Seperti sekarang, aku dan lelaki itu tengah berada di taman. Yang aku herankan ialah wajah Amran yang kini terlihat begitu tegang dan lelaki itu belum mengeluarkan sepatah kata pun sedari tadi. Padahal kupikir, ada hal yang penting yang ingin dibicarakannya.
“Bel ...,” ujarnya memanggil namaku setelah membiarkanku menunggu. “Mungkin aku gak bisa seromantis cowok lainnya, tapi, would you be my girlfriend?”
Pertanyaan itu diucap dalam sekali tarikan. Namun, aku butuh waktu sedikit lama untuk mencerna pertanyaan itu.
“Bel? Kamu gak mau, ya? Maaf kalau aku bikin kamu risih, gak perlu dijawab, kok,” ujarnya kedengaran begitu panik. Aku tersenyum kecil menanggapinya.
“Siapa bilang aku gak mau?” tanyaku sembari mengangkat sebelah alisku. Aku berdeham sejenak sebelum mengucapkan sebuah kalimat. “Yes, I would.”
“Ma-maksud kamu, kamu nerima aku?”
Aku menganggukkan kepalaku. “Tapi, aku mau kita backstreet, ya. Aku gak mau diolok sama teman-teman aku kalau aku pacaran.”
“Hubungan kami berjalan mulus-mulus aja hingga saat satu tahun hubungan kami, sebuah masalah muncul. Masalah itu ... ninggalin trauma yang cukup besar di hati aku. Sampai-sampai, aku berniat mengakhiri hidup aku dengan lompat di jembatan dekat jalan Kembang,” ujarku dengan suara yang mulai bergetar. Jika mengingat betapa bodohnya aku dulu hingga berniat untuk mengakhiri hidup, maka aku akan selalu teringat dengan kebaikan seorang wanita yang telah menyelamatkanku. “Untungnya, ada seorang wanita yang pada saat itu lewat di jembatan dan dia minta aku buat nggak lompat.”
Aku menaiki pembatas jembatan yang membuatku terlihat lebih tinggi dari biasanya. Pandanganku kuarahkan ke bawah, menikmati cahaya rembulan yang tampak dari permukaan sungai. Begitu indah ... hingga sungai itu seolah-olah mempunyai gravitasi yang begitu kuat dan memintaku untuk menjadi bagian dari ketenangan airnya.
Mungkin, ini adalah pikiran terbodoh yang aku punya, mengakhiri hidup dengan melompat dari atas jembatan. Tapi, siapa gadis yang bisa menerima kenyataan bahwa tubuhnya tak lagi suci karena telah dijamah oleh seorang lelaki? Semua gadis baik-baik tidak akan mampu menerima hal tersebut menyatu dalam hidupnya, termasuk aku sendiri.
Aku sudah mengecewakan kedua orang tuaku yang telah menghidupiku hingga saat ini. Bayang-bayang senyum papa dan mama selalu menghantui pikiranku. Aku takut akan menghancurkan senyum itu bila tahu bahwa putrinya telah mengecewakan mereka.
Aku menautkan kedua jemariku dengan tangan yang bergetar hebat.“Maafin Bella, Ma, Pa. Bella udah ngecewain kalian,” ujarku sesenggukan.
Aku memejamkan kedua bola mataku. Ini adalah jalan yang tepat untuk kupilih daripada aku harus hidup dalam bayang-bayang menyakitkan itu. Aku berusaha menaiki jembatan yang tingginya hampir sebahuku itu. Namun, usahaku gagal ketika cahaya yang terang seketika menyorot ke arahku.
“Nak, berhenti, Nak. Jangan lakukan itu,” teriak wanita paruh baya yang kini menghampiriku. Sepertinya, ia pemilik mobil silver yang tadi menyorotiku dengan lampu di mobilnya. Aku masih enggan menuruti permintaannya, hingga ia berusaha membuatku turun dari jembatan itu. Setelah ia berhasil membuatku turun, ia langsung mendekapku dengan erat. Air mataku langsung meluruh begitu saja membasahi blus yang dipakainya. “Kamu ikut saya pulang ke rumah, ya.”
“Tunggu,” sela Shafa. “Masalah apa yang buat kamu sampai trauma, Bel?” tanyanya dengan sedikit raut kekhawatiran yang terpancar di wajahnya.
“Aku ... tubuh aku udah pernah dijamah sama dia, Fa. Bahkan dia hampir berbuat lebih sama aku. Aku ... aku ngerasa udah dilecehkan,” ujarku lirih dengan pandangan yang menatap ke Eisha dan Shafa. Keduanya seolah tidak mampu berkata-kata, karena tidak ada balasan lebih lanjut dari keduanya.
Tiba-tiba, suara benda terjatuh di belakangku membuatku sontak membalikkan tubuh untuk melihatnya. Namun, aku seketika membulatkan mata tatkala melihat siapa yang baru saja membuat tempat sampah di tengah taman terjatuh.
“Vero?”
Ia menatapku sekilas dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.
Apa ia mendengar perbincanganku dengan Shafa dan Eisha?
•-•-•-•-•
Tbc.🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro