Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 - Fakta Lama

[Warning ⚠️]
Part ini mungkin mengandung konten sensitif bagi sebagian perempuan. Harap bijak saat membaca. Ambil sisi positif dan buang negatifnya!

•-•-•-•-•

Aku masih mematung di tempat, berusaha mencerna penglihatanku saat ini. Diam-diam aku mencubit lenganku sendiri hingga aku sadar ... aku tidak salah lihat. Lelaki yang berdiri di hadapanku memang Amran Aryaguna. Lelaki yang membuat hariku hari ini menjadi penuh akan ketakutan. Bibirku sedari tadi terkatup. Tidak mengucapkan sepatah kata pun selain gumaman yang menyebutkan namanya.

"Bel, are you okay?" bisik Arsy mendekat ke telingaku. Aku mengangguk lemah.

"Mau ngapain kamu ke sini?" tanyaku dengan nada yang dingin kepada Amran. Lelaki itu sedari tadi tidak berhenti menatapku seolah-olah hendak menerkamku. Tapi, tatapan itu ... tidak sama sekali mencerminkan sebuah kejahatan. Ia menatapku dengan pancaran penuh ketulusan.

"Aku mau bicara sama kamu, Bel," ujarnya mencoba berjalan mendekat, membuatku sontak mundur selangkah. Aku menggenggam erat tangan Arsy berusaha mentransfer ketakutan yang aku rasakan sekarang.

"Ran, stop. Kamu mau ngapain?" tanyaku sedikit was-was melihat langkah Amran yang semakin mendekat. Langkahnya tidak setegap biasanya membuat pikiranku melayang kemana-mana, takut bila lelaki itu akan berbuat aneh. Ditambah lagi, kini aku hanya berdua bersamanya di rumah. Setiap malam minggu, aku memang selalu pergi ke rumah Amran. Namun, kali ini berbeda. Orang tua Amran tidak sedang di rumah. Adik kecilnya tengah berada di rumah omanya. Kami benar-benar hanya berdua saja di rumah megah ini.

"Ran, kamu kenapa, sih?" Aku terus berjalan mundur hingga punggungku tertahan di dinding rumah Amran. Hatiku mulai tak karuan. Apalagi, saat aku baru datang, Amran tidak sedang di rumah. Di telepon tadi, ia mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah temannya. Lalu, saat ia pulang, ia malah menatapku dengan tatapan yang seolah siap menerkamku.

Kedua tangan Amran masing-masing berada di sebelah kiri dan kanan tubuhku. Siapa pun yang berada di posisiku saat ini tentunya tidak akan bisa bernapas dengan tenang. Termasuk aku. Napasku tak karuan. Detak jantungku berpacu berkali-kali lipat lebih cepat.

Aku berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh dariku sembari berteriak padanya, berharap ia segera melepaskanku dari kungkungannya.

"Kamu cantik, Bel, malem ini," bisiknya nyaris tak mengeluarkan suara.

"Kamu apa-apaan, Ran?!" teriakku histeris tatkala jemari Amran mulai menyentuh permukaan wajahku. Ia mendekatkan wajahnya hingga helaan napasnya terasa begitu dekat menyapu wajahku.

"Amran, jangan gila kamu. Lepasin aku." Aku semakin memberontak ketika kini ia mendekatkan wajahnya ke leherku dan mengecupnya perlahan.

"Nggak! Jangan dekat-dekat!" histerisku lantas melepaskan genggamanku pada tangan Arsy. Aku mencengkeram erat kedua sisi kepalaku sembari terus meracau. Tubuhku kubiarkan luruh begitu saja ke lantai.

"Bel, kamu kenapa?" Pertanyaan Arsy menyelinap masuk ke telingaku. Namun, pikiranku seolah enggan mencernanya lebih lanjut untuk diberikan jawaban.

"Jangan dekat-dekat!" teriakku lagi sebelum Arsy memaksa mendekapku dalam pelukannya.

"Bel, tarik napas lalu embuskan, Bel. Jangan kayak gini. Kamu harus bisa ngontrol diri kamu," ujar Arsy. Aku mengikuti ucapannya. Menarik napas, lantas mengembuskannya kembali. Berulang kali kucoba. Namun, aku masih gagal menenangkan diriku.

Seketika, kepalaku terasa berdenyut. Aku meringis sembari berusaha mencengkeram erat kepalaku.

"Jangan gini, Bel. Please, kamu harus lawan rasa trauma kamu," bisiknya. Aku menatapnya yang kini berada di atasku. Lama-kelamaan, pandanganku memburam hingga akhirnya benar-benar menggelap.

•-•-•-•-•

Aku mengerjapkan kedua bola mataku berkali-kali hingga pandanganku tidak buram seperti sedia kala saat pertama kali membuka mata. Aku menoleh ke sebelah kiri dan kananku untuk menemukan lelaki terakhir yang kulihat wajahnya sebelum tidak sadarkan diri. Namun, tidak ada. Arsy tidak di kamarku.

Aku mencoba mengubah posisi tidurku menjadi duduk. Kepalaku masih terasa berdenyut. Aku mencoba mengingat kejadian yang lalu dan yang paling kuingat ialah kedatangan Amran.

Amran. Mengapa lelaki itu datang kembali ke kehidupanku? Apa Sang Pencipta memang sengaja mendatangkan ia kembali di kehidupanku untuk menguji keikhlasanku akan masa lalu?

Lantas jika begitu, apa yang harus aku lakukan? Trauma itu menancap begitu dalam di hatiku.

Tapi, aku tidak bisa terus-menerus berada di keadaan seperti ini. Semakin lama aku hidup dalam bayang-bayang trauma, bukankah dengan begitu hidupku akan terasa lebih runyam? Semakin lama pula aku tidak bisa keluar dari bayang-bayang itu, aku akan semakin membebani Arsy dengan kekhawatirannya.

Tidak. Aku harus keluar dari trauma akan bayang masa lalu itu. Dan, salah satu caranya ialah aku harus bisa memaafkan Amran. Kata orang, bagian tersulit dalam kehidupan ialah memaafkan. Itu benar. Terlebih, saat orang itu menancapkan luka yang begitu besar di kehidupan kita.

Perlahan, aku mencoba berdiri. Awalnya, aku menggunakan meja sebagai peganganku, hingga kakiku mulai terasa kuat untuk menopang tubuhku. Aku berjalan keluar dari kamar dan mencari keberadaan Arsy.

Aku mendapatinya tengah di teras bersama Amran. Lelaki itu ternyata masih belum pergi dari indekosku.

Aku menyembunyikan tubuhku di dinding sembari mencoba mendengarkan perbincangan antara Arsy dan Amran.

"Please, gue butuh bicara sama Bella. Ada satu hal yang harus gue jelasin sama dia. Selama ini, dia pasti salah paham sama gue." Suara Amran terdengar begitu khas masuk ke telingaku. Meskipun sudah lama tidak bertemu, namun aku tidak bisa memungkiri bahwa semua tentangnya masih melekat di pikiranku.

"Gue tahu, mungkin lo butuh bicara sama Bella. Walau gimanapun, kesalahpahaman itu harus segera diselesaikan. Tapi, lo lihat sendiri, kan? Tadi Bella sampai pingsan karena trauma dia. Dan, gue gak mau Bella kenapa-napa. Jadi, gue rasa, jangan temuin Bella dulu beberapa hari ini. Bella masih belum siap kalau harus ketemu sama lo."

"Siap, kok," ujarku lantas menggeser tubuhku agar kelihatan oleh Amran dan Arsy. Aku melangkah hingga tubuhku sejajar dengan Arsy. Aku melihat Amran. "Ada yang perlu kamu bicarain, kan? Kita bisa bicara hari ini."

"Tapi, Bel. Kamu kan-"

Aku berusaha tersenyum kuat di hadapan Arsy. "Aku gak pa-pa. Aku udah mendingan, kok," ujarku meyakinkan. "Ar, bisa kamu tinggalin kami berdua dulu?"

Arsy menatapku sedikit lama, hingga ia menganggukkan kepalanya. "Aku tunggu di dalem," ujarnya.

Kini, tersisa aku dan Amran di teras indekos. Aku mempersilakannya duduk di kursi. Setelahnya, aku turut mendaratkan tubuhku di kursi yang terpisah oleh satu meja dari lelaki itu.

Rasanya ... begitu canggung untukku berdua dengan Amran di teras seperti ini. Rasa takut juga sedikit menyelimuti perasaanku, meski aku tahu aku aman bila Arsy masih ada di sekitarku.

"Sebelumnya, aku minta maaf, Bel. Kehadiran aku malah buat kamu jadi kayak tadi," ujarnya.

Aku mengangguk lantas tersenyum. "I'm fine," ujarku.

"Aku gak tahu kalau kejadian dua tahun yang lalu malah buat kamu jadi trauma. Aku bener-bener minta maaf, Bel. Aku nyesal." Aku dapat melihat gurat penyesalan tercetak di wajah lelaki itu.

"Tapi, ada hal yang harus aku luruskan mengenai masalah ini, Bel. Dua tahun lalu, kejadian yang terjadi itu benar-benar di luar kendali aku, Bel. Kamu inget, kan? Waktu itu, aku habis pulang dari rumah temen aku. Dan, sebelum aku pulang, temen-temen aku maksa aku buat minum segelas air yang baunya aneh di penciuman aku. Awalnya, aku gak mau, Bel. Tapi, aku terpaksa minum itu karena mereka ngancam mau ngapa-ngapain kamu. Aku jelas gak mau hal itu terjadi, Bel. Akhirnya, aku minum minuman itu." Ia memberi sedikit jeda pada ceritanya.

"Tapi, tanpa aku sadari minuman itu ternyata mengandung alkohol. Aku baru sadar pas aku di jalan pulang. Dan, pas lihat kamu di rumah ... I have do that forbidden thing," ujarnya dengan nada lirih di akhir kalimatnya.

"Jadi ... kamu bukan sengaja mabuk? Tapi, karena diancam?"

Ia menganggukkan kepalanya.

"Tapi, kenapa kamu ninggalin aku setelah hari itu? Kenapa kamu nggak langsung kasi penjelasan ke aku?"

"Hari setelah kejadian itu terjadi, aku kecelakaan dan koma selama satu bulan, Bel," ujarnya.

"Kecelakaan?"

"Iya. Setelah aku sadar dari koma, aku berniat mau nyamperin kamu dan jelasin semuanya. Tapi, aku urungkan niatan aku. Aku takut buat ungkit masalah itu kembali dan membuat kamu jadi gak selalu keinget .... Nyatanya, aku salah besar. Kamu gak baik-baik aja setelah kejadian itu. Dan, setelah kejadian hari ini, aku nyesal karena gak pernah datengin kamu buat jelasin semuanya. Aku nyesel, Bel."

Ia turun dari kursi yang ia duduki dan bersimpuh di hadapanku. "Aku nyesal, Bel. Aku mohon maafin aku," ujarnya dengan nada yang terasa bergetar.

"Ran, jangan kayak gini. Bangun, Ran." Aku membantu Amran untuk berdiri dari posisi bersimpuhnya tadi. "Aku udah maafin kamu, Ran."

"Kamu beneran maafin aku?"

Aku menganggukkan kepalaku. "Mungkin, kamu udah nancepin trauma yang begitu dalam sama aku. Tapi, aku gak punya alasan untuk gak maafin kamu. Tuhan aja bisa maafin kita sebagai umat-Nya yang berdosa. Masa iya, aku sebagai umat-Nya tidak bisa melakukan hal memaafkan yang sama?" ujarku lantas tersenyum tulus.

Mungkin, ini yang dinamakan fakta lama yang baru terkuak. Selama ini, aku mengecap Amran sebagai lelaki berengsek yang melakukan semua hal itu di bawah kendalinya. Namun, aku salah. Ia tak seburuk yang aku kira, karena semua perbuatannya di masa lalu tidak murni didasarkan atas keinginannya. Meski sekalipun ia tidak bisa dikatakan baik seutuhnya.

Kali ini, aku tidak mempunyai alasan untuk tidak memaafkannya setelah penjelasan panjang dan juga rasa penyesalan yang telah ia tunjukkan. Anggap saja kejadian yang dulu sebagai suatu proses pendewasaan diri.

Amran mengucapkan terima kasih untuk yang ke sekian kalinya. Hal itu jelas membuatku merasa tidak enak hati.

"Ngomong-ngomong, kamu tahu alamat indekos aku dari mana?"

"Sepupu aku," ujar Amran. "Cavero Lastana. Kamu kenal, kan?"

Aku membulatkan mataku tatkala mendengar nama Vero disebut. Pantas saja, bila Vero mengenakan jaket yang sama dengan punya Amran kemarin.

Ternyata, dunia memang sesempit itu.

"Iya, aku kenal. Tapi, kenapa Vero bisa kasih tahu kamu alamat aku?"

"Aku dan Vero lumayan dekat. Mungkin, karena sejak kecil dulu, kami sering bermain bersama di rumah nenek. Biasanya, dia selalu cerita masalah percintaan dia sama aku. Sampai akhirnya, dia cerita kalau dia ketemu lagi sama first love-nya saat SMP. Awalnya, pas dia sebut nama Bella, aku gak kepikiran itu kamu. Hingga, lama-kelamaan, aku curiga kalau Bella yang Vero maksud itu kamu. Dan, dugaan aku benar. His first love is you, Bella Kamala. Aku mencoba mengorek informasi dari Vero dan akhirnya aku tahu kamu tinggal di sini.

Sejujurnya, saat aku tahu alamat indekos kamu, aku pengen nyamperin kamu dan jelasin semuanya. Tapi, aku terlalu takut. Dan, tadi, saat aku datang bertamu ke rumah Vero, aku ngelihat Vero pulang dengan keadaan kacau. Pas aku tanya, katanya kamu histeris pas ngelihat jaket yang dia pakai, dimana jaket itu milik aku. Seketika, aku sadar, aku udah gak bisa mengulur waktu buat ngejelasin semuanya ke kamu. So, here I am."

Aku menghela napasku. Ternyata benar, dunia itu sempit. Bahkan, dua orang yang pernah aku cintai saling berhubungan darah.

Keheningan lantas menyelimuti suasana hingga satu pertanyaan terngiang di pikiranku.

"Ran."

"Iya?" Amran menaikkan sebelah alisnya.

"Jaga Shafa baik-baik."

"Maksud kamu?"

"Aku tahu, kamu lagi deket sama Shafa, kan? Jadi, aku minta kamu jaga Shafa baik-baik. Dia sahabat aku."

Ia terkekeh kecil. "Emangnya dunia sesempit ini, ya? Kamu dekat sama sepupu aku, aku dekat sama sahabat kamu. Besok-besok fakta apalagi yang harus kita terima?"

"Kamu tenang aja, Bel. Aku gak bakalan ngulangin kesalahan yang sama kayak dulu lagi," lanjutnya.

"Aku pegang omongan kamu."

Setelahnya, Amran pamit untuk pulang mengingat tak ada hal lain lagi yang perlu kami bicarakan.

Hari itu ... aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu. Tante Retha pernah mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya memaafkan dan mengikhlaskan ialah cara paling ampuh untuk keluar dari trauma yang mendalam. Mungkin, kelihatannya berat. Tapi, aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayang masa lalu. Bukan begitu?

Untuk kejadian dua tahun lalu, ... terima kasih telah menjadi saksi aku berproses. Sekarang, saatnya aku menata kehidupan yang lebih baik untuk masa yang akan datang.

Suara dehaman dari belakang membuatku menoleh. Aku mendapati Arsy tengah bersandar di depan pintu sembari tersenyum ke arahku.

"Saatnya kamu berbagi kejadian hari ini sama Shafa dan Eisha. Biarkan mereka tahu, bagaimana sahabat tersayang mereka akhirnya mampu berdamai dengan masa lalunya," ujar Arsy menutup keindahan perdamaianku dengan Amran hari itu.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro