Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 - Meisya

Hari ini ialah hari pertama aku akan berkenalan dengan teman-temannya Vero. Jika sebelumnya pertemuan kami hanya sebatas pertemuan singkat di kafe, maka mungkin hari ini kami akan saling mengetahui nama satu sama lain. Vero bilang, ia akan menjemputku pukul 10 pagi. Sekarang masih pukul 8, itu artinya aku masih sempat untuk membereskan indekos terlebih dahulu. Dimulai dari menyapu, mengepel, mengelap meja hingga mencuci piring bekas kemarin.

Setelah membereskan semua itu, aku lantas masuk ke kamar dan berganti pakaian. Kali ini aku tidak terlalu pilih-pilih pakaian, seperti kali pertama aku bertemu dengan Vero. Aku hanya mengenakan blus berwarna biru muda dipadukan dengan celana jeans berwarna putih. Aku lantas mengambil slingbag berwarna putih favoritku. Aku tidak mengoleksi banyak tas dengan beragam warna. Aku lebih suka membeli sesuatu dengan warna putih lantaran warna itu selalu cocok dipadukan dengan warna apa pun. Sesekali, aku juga membeli warna hitam yang sama netralnya dengan putih.

Aku keluar dari kamar lalu duduk di kursi ruang tamu. Sembari menunggu jam sepuluh, aku memilih untuk menonton video-video jenaka di sebuah aplikasi yang akhir-akhir ini cukup viral. Waktu terus berjalan hingga tanpa terasa sudah pukul sepuluh. Suara klakson motor cukup mengagetkanku yang tengah asyik menonton video. Aku melirik lewat jendela dan menemukan Vero yang kini duduk di atas motornya. Aku segera mengambil slingbag dan membuka pintu lantas menghampiri Vero setelah memastikan pintu indekos terkunci.

“Hai, Ver. Langsung jalan?”

Vero mengangguk. “Iya, langsung jalan aja. Teman-teman aku udah di sana katanya.”

Tujuan kami bukanlah pergi ke kafe tempat biasanya Vero nongkrong, melainkan ke rumah salah satu teman Vero. Meski sebenarnya, niatan awal kami memang pergi ke kafe. Namun, salah satu teman Vero diminta untuk menjaga rumah, mengingat kedua orang tuanya tengah pergi ke luar kota. Maka dari itu, kami berpindah haluan. Menurut perkataan Vero, rumah temannya itu cukup luas dengan taman dan kolam renang di belakang rumah. Tapi, tenang saja, aku tidak berniat untuk menyebur di kolam renang itu.

Perjalanan selama 15 menit akhirnya selesai kami tempuh. Motor Vero berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gerbang besi yang menjulang tinggi. Vero membunyikan klakson. Kemudian seorang pria berusia 40 tahunan keluar dari ruangan kecil di dekat gerbang.

“Pak Budi, tolong bukain gerbangnya,” ujar Vero kepada Pak Budi yang mengenakan seragam navy-putih dengan badge bertuliskan security di bagian dada kiri atas. Pak Budi dengan segera membukakan gerbang untuk kami.

“Terima kasih, Pak.” Vero lantas memasukkan motornya di pekarangan rumah temannya yang kini terisi oleh beberapa motor lainnya. Aku turun dari motor dan menyerahkan helm kepada Vero.

“Ayo, Bel, masuk,” ujarnya lantas menggenggam tanganku. “Rumah Reno luas, takutnya kamu nyasar,” ucapnya setengah meledek.

Aku memukul lengannya yang telah meledekku. “Berani kamu ngeledek aku, ya,” ujarku bisik-bisik sebelum aku segera memalingkan wajah dari Vero guna menahan semburat merah yang hendak meledak di pipiku.

Kami berjalan melewati ruang tamu rumah itu hingga menuju ke halaman belakang. Kolam renang yang luas menyambut penglihatanku untuk pertama kalinya. Di halaman belakang nan luas itu, terdapat beberapa lelaki dan seorang gadis seusia kami—aku dan Vero—.

“Ayo, Bel, aku kenalin sama mereka,” ujar Vero lantas mengajakku berkenalan. Kami berjalan menghampiri seorang lelaki yang tengah duduk di tepi kolam renang. Bajunya tidak basah, mungkin hanya berniat menginginkan kakinya tanpa menyebur ke dalamnya. “Ini namanya Reno, si tuan rumah. Reno ini yang kemarin pinjamin mobilnya pas kamu pingsan di kafe,” ujar Vero.

Aku tersenyum lantas mengulurkan tangan kepada Reno. “Bella,” ujarku menyebutkan nama. Aku sudah pernah melihat Reno sebenarnya di rumah sakit waktu itu, hanya saja kami memang belum sempat berkenalan.

Cihuy, akhirnya Vero udah berani bawa doi keluar bareng juga,” sorak seorang lelaki berjalan mendekati kami. Ia tidak sendirian, karena di sampingnya juga ada seorang lelaki lainnya.

“Yang ini namanya Irvan, Bel. Kalau yang satunya, Tristan.”

Aku mengulurkan tangan kepada Irvan dan Tristan bergantian. Tak lupa dengan menyebut namaku. “Bella.”

Entah mengapa, rasanya aku merasakan ada aura tidak menyenangkan dari wajah Tristan. Apa mungkin ia tidak menyukai kedatanganku?

“Andi mana?” tanya Vero kepada ketiga temannya.

“Gak bisa dateng dianya.”

“Oh. Tan, lo bawa cewek lo?”

Kulihat lelaki bernama Tristan itu menganggukkan kepalanya.

“Bawa dulu cewek lo kenalan sama cewek Tristan. Ada yang pengen kita bertiga omongin,” ujar Reno. Vero lalu mengajakku untuk bertemu dengan satu-satunya gadis di rumah Reno itu.

“Bel, kamu di sini dulu sama Meisya, ya. Aku sama teman-teman aku mau ngomong dulu, biasalah masalah cowok,” ujar Vero. Aku mengangguk kemudian duduk di sebelah gadis yang bernama Meisya. Kulihat ia tersenyum manis kepadaku. Tipikal gadis yang tidak sombong, pikirku.

“Mei, gue titip Bella dulu, ya.”

“Oke, Ver.”

Sepeninggal Vero, aku merasakan kecanggungan luar biasa saat bersama Meisya. Beruntungnya, ia dengan cepat mengajakku berkenalan.

“Nama aku Meisya, salam kenal, ya,” ujarnya lantas mengulurkan tangan kepadaku. Aku membalas uluran itu dengan senyuman hangat yang kumiliki.

“Aku Bella. Salam kenal.”

“Ceweknya Vero, ya?” ledeknya.

Aku menggeleng. “Teman,” jawabku.

“Teman tapi mesra maksudnya?” Ia lantas tertawa kecil. Kupikir, first impression ku tentangnya tidak juga salah. Ia tidak sombong. Bahkan, ia sepertinya seorang teman yang asyik.

“Gak pa-pa, kok. Vero anaknya baik, dia juga asyik. Yang paling penting, dia itu bisa ngehargain cewek. Sayangnya, di antara semua cewek yang ngagumin dia di sekolah, gak ada satu pun yang bisa buat dia luluh,” ujar Meisya.

“Maksud kamu?”

“Ah, kamu belum tahu, ya? Vero itu dulu terkenal di sekolah karena wajahnya yang ganteng. Makanya, banyak cewek yang pada antre buat jadi pacarnya Vero. Sayangnya, ya, Vero gak pernah bisa buka hati untuk siapa pun di sekolah. Kayaknya, sih, karena masih susah move on dari mantannya. Dan, yang aku suka dari Vero, dia gak pernah nolak cewek manapun dengan kasar. Setiap ada yang nyatain perasaannya ke dia, pasti diajak ngomong baik-baik supaya cewek itu ngelupain perasaannya ke Vero. Sayangnya, ketika semua orang memilih buat ngejar Vero, aku jatuh ke pesona Tristan, temannya.”

Aku menikmati aktivitasku mendengar cerita dari Meisya. Aku tidak terkejut juga tidak risih mendengar Meisya yang langsung melaju dengan kecepatan bicara sekian puluh kilometer per jam. Malah, aku senang bisa bertemu dengan gadis seperti dirinya. Lagipula, sepertinya, ia tahu banyak perihal Vero. “Kamu tahu banyak, ya, soal Vero?”

Meisya tersenyum. “Nggak juga. Aku juga tahunya dari Tristan. Mereka itu sahabatan dari kelas 1 SMA. Walaupun Vero pernah gak naik kelas dan berujung jadi adik tingkat kami, tapi persahabatan mereka tetap jalan.”

“Kamu jadian sama Tristan udah lama?” tanyaku. Meisya menggeleng.

“Baru dua bulan.”

“Aku pikir kalian udah lama, soalnya kalau aku lihat-lihat, kalian itu udah pasangan goals banget.”

Terdengar helaan napas dari Meisya. “Rata-rata orang yang kenal sama kami selalu bilang gitu, Bel. Mereka selalu ngira aku dan Tristan udah ngejalin hubungan bertahun-tahun. Sayangnya, gak ada satu pun yang tahu persis gimana hubungan kami dulu.”

“Kalau boleh tahu, memangnya kenapa? Kamu bisa cerita sama aku, aku gak bakalan bocorin hal ini. Cuma kalau kamu ngerasa gak nyaman, gak pa-pa,” ujarku. Aku menangkap raut kesedihan tatkala Meisya bercerita mengenai masa lalunya dengan Tristan.

“Santai aja, Bel. Jangan mandang aku kayak gitu,” ujarnya terkekeh kecil. “Kalau kuibaratkan, Tristan itu batu dan aku air. Butuh waktu yang lama untuk air memecah sebuah batu yang keras. Ya, sama seperti aku dan Tristan. Tristan itu dulu dingin, Bel, meskipun sekarang juga masih gitu. Dia gak mudah buat ditaklukkan. Tapi, kami emang deket dari dulu karena tetanggaan. Orang-orang ngiranya kami pada saling sayang. Nyatanya, cuma aku yang punya rasa, Tristan nggak. Barulah dua bulan lalu, Tristan akhirnya luluh sama perasaan aku dan kami jadian.”

Aku manggut-manggut mendengar cerita Meisya. Kupikir, cerita seperti itu hanya ada di novel-novel. Rupanya Meisya sendiri mengalaminya di dunia nyata.

“Tristan dan Vero aku pikir sebelas dua belas, Bel. Mereka sama-sama susah buat ditaklukkan. Sebenarnya, Reno juga karena sampai sekarang dia juga belum nemuin tambatan hatinya. Maka dari itu, aku antusias banget dengar Vero hari ini gak dateng sendirian. Soalnya, kalau gak ada kamu, aku bakalan jadi cewek satu-satunya di antara mereka. Bisa kamu bayangin, kan, gimana bosannya aku?”

Aku mengangguk, dapat membayangkan bagaimana rasanya jika aku ada di posisi Meisya.

“Tapi, Mei, aku sebenarnya belum pacaran sama Vero,” ujarku ragu.

“Oh, aku paham, kok,” ujar Meisya. “Lagian, status itu sebenarnya gak penting. Karena, yang terpenting itu bagaimana dua orang yang saling cinta menjaga keutuhan perasaan mereka. Itu hal yang paling berat sebenarnya di dalam sebuah hubungan, bukan hubungan tanpa status. Kadang kala, yang punya status aja belum tentu bahagia, Bel. Mereka cuma punya status, tapi mereka gak punya kekuatan buat saling ngejaga perasaan mereka. Akhirnya, apa? Akhirnya perasaan mereka runtuh seiring dengan keruntuhan status mereka itu.”

Aku tersenyum mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Meisya. Secara tidak langsung, kalimat itu menguatkanku untuk tetap bertahan pada hubungan tanpa statusku dengan Vero. Meisya benar, yang terpenting itu bukan status, melainkan bagaimana caranya untuk tetap mempertahankan rasa.

“Makasih, Mei. Semua ucapan kamu itu benar-benar nyadarin aku akan pentingnya menjaga perasaan,” ujarku kepada Meisya.

Meisya mengangguk lantas menawarkan sebuah pelukan. Aku tidak ragu untuk membalasnya.

“Karena hari ini kamu udah masuk ke dalam lingkup pertemanan kami, artinya mulai sekarang kita berteman baik. Jangan pernah ragu buat cerita sama aku kalau ada masalah. Oke?”

“Iya, Mei. Thanks. Kamu emang cewek yang baik, Tristan pasti beruntung karena dicintai oleh cewek kayak kamu.”

“Vero juga. He will be the luckiest man to have you, Bel.”

Sejak saat itu, teman gadisku bertambah satu. Namanya Meisya, gadis cantik pacar Tristan.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro