20 - Permintaan Razka
Jam 2 siang, aku baru bisa keluar dari cengkraman soal-soal ujian tengah semester. Sebenarnya, jadwal UTS hari ini hanya ada dua. Namun, ada perpindahan jadwal yang kemarin ditiadakan menjadi hari ini, sehingga kepalaku hampir ingin pecah diterjang dengan 3 mata kuliah sekaligus.
Setelah dari kelas, aku berjalan melewati koridor dan segera mencari ruang 211. Ruangan itu ialah ruangan yang selama seminggu ini digunakan Razka sebagai tempat pelaksanaan ujian. Kebetulan, aku sempat mendengar bahwa kelas Razka juga mempunyai jadwal ujian di siang ini.
Aku mencari lelaki itu tentunya masih karena masalah yang kemarin. Mungkin, semua yang diucapkan Razka kepada Shafa dan Eisha itu benar adanya. Aku tidak bisa menyalahkan lelaki itu atas hal tersebut. Namun, hal yang membuat aku marah ialah ia dengan semua sifat sok tahunya mencoba untuk mengganggu ketenanganku. Caranya memberitahu Shafa dan Eisha perihal keburukan Vero kemarin itu salah besar. Ia tidak pernah tahu gara-gara omongannya, hubunganku dan kedua sahabatku jadi kembali merenggang.
“Razka!” Suaraku terdengar begitu keras menggema di koridor. Belum sampai aku ke ruangan 211, lelaki yang tengah kucari itu keluar dari kelas dan berjalan berlawanan arah denganku. Setelah Razka menyadari panggilanku dan menoleh, aku segera menghampirinya.
“Kenapa, Bel?”
“Harusnya aku yang tanya sama kamu. Kenapa? Kenapa kamu selalu ikut campur sama urusan aku?”
Aku dapat menebak ia cukup terkejut mendengar pertanyaanku.
“Apanya yang ikut campur, Bel? Aku gak paham. Kamu itu memang suka gini, ya? Datang-datang main marah gitu aja tanpa alasan yang jelas,” ujarnya dengan alis yang dibuat naik sebelah.
“Alasannya jelas, Ka. Cuma emang kamunya aja yang gak pernah peka. Maksud kamu apa, bilang ke Eisha dan Shafa soal Vero? Mau buat semua orang bertekuk lutut di depan kamu trus muji kamu? Iya?”
Bukannya menjawab, lelaki di hadapanku itu malah tertawa kecil. “Udah kuduga. Pasti karena Vero,” ujarnya. “Sampai kapan kamu mau belain dia terus, Bel? Gak capek emangnya?”
Mendengar pertanyaan itu, aku terpancing untuk menyunggingkan senyumku. “Kalau gitu, sampai kapan kamu mau ngusik kehidupan aku trus, Ka? Gak capek emangnya?”
Skakmat. Ia tak lagi bisa berkutik.
“Oke, Bel. Aku minta maaf kalau aku lancang kasih tahu Shafa dan Eisha soal Vero. Tapi sebenarnya, aku sama sekali gak berniat ikut campur urusan kamu. Kemarin aku ikut hadir di pertemuan kelas kalian. Awalnya aku gak kepikiran untuk bilang ke dua sahabat kamu soal Vero. Tapi, gak sengaja aku dengar perbincangan Shafa dan Eisha soal Vero yang dimana mereka bilang kalau cowok itu cowok baik-baik. Sebelum hari itu, aku emang pernah ngelihat Vero makai vape di salah satu kafe. Ya, trus aku nimbrung gitu aja. Aku sadar, aku salah karena udah lancang,” jelas Razka panjang lebar. Syukurlah bila lelaki itu menyadari kesalahannya. Karena jika tidak, tentunya kami akan berdebat lebih lama.
“Bagus, deh, kalau kamu ngakuin kesalahan kamu. Aku ingatin sama kamu, lain kali jangan coba untuk lancang masuk ke dalam kehidupan orang lain. Kali ini, aku masih maafin kamu. Karena kamu tahu? Gara-gara kelancangan kamu, hubungan aku dan kedua sahabat aku merenggang,” ujarku tak berniat menarik simpati lelaki itu. Namun sepertinya, ia benar-benar menyesali kelancangannya. Walau tidak sekelas, ia jelas tahu bagaimana pentingnya hubungan persahabatan kami.
“Aku benar-benar minta maaf, Bel. Aku gak tahu kalau karena hal itu, hubungan kalian bisa merenggang.”
“Udahlah, gak usah dibahas lagi,” kataku. “Karena udah gak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku duluan,” ujarku lantas hendak berlalu dari sana.
“Eh, Bel. Ada yang pengen aku sampaikan lagi,” ucap Razka mendadak, membuatku dengan terpaksa memberhentikan langkah. “Sebelumnya mohon maaf, bukannya aku mau ikut campur lagi sama urusan kamu. Seperti yang pernah kamu bilang kemarin-kemarin, kita juga udah bukan partner kerja lagi, jadi aku gak ada hak buat ngatur kamu. Tapi, aku benar-benar minta sama kamu buat jauhin Vero.”
Mendengar kalimat terakhir itu, aku bersidekap dada. “Kali ini atas dasar apalagi kamu minta aku buat jauhin Vero?”
“Vero bukan cowok baik-baik, Bel. Kamu harus tahu itu. Aku sebagai teman seangkatan kamu cuma gak mau kamu terlibat dalam lingkup yang gak benar.” Nada bicara lelaki itu cukup lembut, sehingga berhasil menarikku untuk bersimpati padanya. Namun sayang, nada bicara yang lembut tak cukup bila tak diiringi dengan bahan pembicaraan yang bermutu.
“Sayangnya, aku gak butuh teman seangkatan yang sok tahu kayak kamu, Ka,” desisku tajam. “Udah cukup kamu menilai Vero bukan cowok baik-baik, aku gak mau dengar lagi ucapan kamu itu.”
“Bel, sekarang aku tanya sama kamu. Kenapa beberapa hari ini kamu udah jarang diantar jemput sama Vero?”
“Penting buat kamu tahu emangnya?”
“Jawab aja, Bel.”
Aku menghela napas, lelaki ini benar-benar ngotot. “Vero udah kerja. Gak mungkin kan kalau dia terus sama aku kalau gitu caranya?”
“Kerja? Hari ini juga kerja?”
Aku mengangguk. Rasanya aneh. Kenapa pertanyaan Razka makin melenceng ke sini?
“Kalau gitu, kamu dibohongin sama dia, Bel.” Razka mengambil sesuatu berbentuk segi empat dari kantong celananya, lantas menyerahkannya kepadaku. “Coba kamu lihat.”
Aku mengambil ponsel itu dan melihat foto yang mungkin dikirim oleh temannya Razka. Di foto itu, teman Razka sedang berpose membentuk jari peace dan tersenyum menghadap ke kamera.
“Foto itu dikirim lima menit yang lalu dan teman aku bilang setelah dia foto, dia langsung ngirim. Itu artinya, waktu pengambilan foto itu gak beda jauh dari menit pengirimannya, kan?”
Aku mengangguk ragu. Masih tidak paham dengan arah pembicaraan Razka.
“Kalau kamu lihat sekilas, kamu gak bakalan nyadar, Bel. Tapi, coba aja kamu zoom fotonya. Di situ kamu bakalan tahu apa yang aku maksudkan.”
Aku mengusap layar itu untuk memberikan zoom pada foto yang ada di ponsel Razka itu. Sejauh ini masih tidak ada apa-apa, hingga aku menggeser foto itu hingga ke sisi kanan.
“Ini kan Vero,” gumamku. Di foto itu tertangkap wajah Vero yang tampak tengah serius berbicara. Tentunya, ia tidak sadar bila wajahnya masuk ke dalam foto dengan layar portrait itu.
Jika mengikuti penjelasan Razka mengenai waktu pengambilan foto itu artinya foto ini tidak diambil tepat di jam makan siang. Apa benar yang dikatakan oleh Razka bila Vero membohongiku? Lantas jika benar, atas dasar apa Vero melakukan ini semua?
Tidak. Ini pasti hanya ulah Razka guna membuatku menjauhi Vero.
Aku mengembalikan ponsel itu, lantas tersenyum. “Lain kali kalau mau ngarang cerita, yang pinter dikit,” ujarku.
“Siapa yang ngarang, sih, Bel? Ini beneran. Kamu udah dibohongin sama Vero,” ujarnya.
“Atas dasar apa, aku harus percaya sama omongan kamu itu?”
“Gini aja. Foto itu kan baru dikirim beberapa menit lalu. Sekarang, kita pergi ke kafe itu dan pastiin aja kebenarannya. Kalau emang Vero gak ada di sana, kamu boleh bilang aku ngarang cerita. Tapi, kalau Vero ada di sana. Kamu tahu sendiri kan artinya?”
Aku meneguk ludah. Mengapa Razka bisa seyakin itu? Apa benar ia tidak sedang mengarang cerita?
Aku mengambil napasku panjang sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. “Oke. Kita pergi ke kafe sekarang.”
Pintaku sekarang hanya satu, semoga Vero tidak mengecewakanku dengan berada di sana.
•-•-•-•-•
Tbc.🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro