15 - Quality Time
Sabtu kali ini indekosku tidak akan sepi seperti biasanya. Akan ada dua bidadari cantik yang dikirim oleh Sang Pencipta guna meramaikan indekos. Siapa lagi jika bukan Eisha dan Shafa.
Jam delapan pagi, mereka berdua sudah bertengger di depan indekos. Menurutku, mereka tidak hanya datang berdua, karena mereka datang bersama tiga kantong plastik besar khas minimarket yang isinya hampir membludak. Aku membantu mereka untuk membawa kantong itu masuk.
“Kalian beli makanan sebanyak ini buat apa?” tanyaku setelah menutup pintu indekos. Aku heran dengan keduanya. Ingin quality time saja sampai memborong sebanyak ini. Apa mereka sekalian ingin mengisi kulkasku yang hampir kosong itu? Ya, maklum, aku belum belanja bulanan.
Balik lagi kepada keduanya. Saat ini keduanya tengah tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
“Ya buat dimakan lah, Bel. Masa dibuang?” kata Eisha.
“Ya, aku juga tahu buat dimakan. Cuma kalau sebegini banyaknya, kayaknya lebih cocok buat didonasikan ke panti asuhan,” ujarku asal.
Sekadar memberi tahu kepada kalian, aku dan kedua sahabatku ini memang sering mengadakan quality time bersama. Tidak bisa dikatakan sering juga, mengingat quality time dilaksanakan setiap dua bulan sekali. Kadang-kadang juga sebulan sekali tergantung kesibukan.
Tempat quality time kami juga sering berpindah-pindah, tapi tidak jauh-jauh dari rumah Shafa, Eisha, ataupun rumahku —yang saat ini berpindah ke indekos—.
Biasanya, kami membagi tugas. Misalnya, untuk bulan ini jadwal quality time diadakan di indekos milikku, maka Shafa dan Eisha bertugas untuk membawa makanan dan minuman kemari. Anggap saja hari ini, aku tengah menyewakan indekosku sebagai tempat huru-hara kami.
Selain menyewakan indekos, aku juga bertugas menyediakan beberapa barang lainnya. Biar aku sebutkan. Ada laptop untuk menonton drama korea, speaker bluetooth yang nantinya akan dihubungkan ke ponsel guna mendengarkan lagu, stopkontak untuk mengecas ponsel jika kehabisan daya, dan peralatan dapur untuk wadah menyimpan makanan kami nantinya.
Hal yang membuatku kesal jika sudah dikunjungi dua bidadari itu ialah biaya listrikku yang akan naik beberapa puluh ribu dari biasanya. Biang utamanya ialah Eisha. Aku heran padanya. Setiap kali kami mengadakan quality time bersama, ada saja barang yang ingin ia cas di sini atau dimanapun tempat kami berada. Entah itu ponselnya, kipas angin portable bergambar kucing wanita berpita, dan masih banyak lagi tetek bengek miliknya. Seolah-olah, di rumahnya tidak ada aliran listrik yang menyebabkan ia harus numpang mengecas.
Tapi, itu tidak masalah bagiku. Anggap saja, biaya yang kukeluarkan untuk membayar listrik itu setara dengan uang yang mereka keluarkan untuk membeli makanan.
“Bel, laptop kamu mana? Buruan nyalain, aku udah gak sabar nonton drakor yang baru tayang itu,” ujar Shafa dengan tak sabaran.
“Masih di kamar. Bentar, aku ambil.”
“Eh, gak usah diambil. Biar kita nontonnya di kamar aja,” ucap Shafa lalu mengambil sebuah kantong plastik yang aku perkirakan berisi cemilan dan berjalan terlebih dahulu ke kamarku. Hei, aku tuan rumahnya saja belum masuk, tapi ia sudah main nyelonong saja.
Aku berjalan diikuti Eisha yang sama ribetnya dengan Shafa. Ia menenteng kantong plastik yang satunya dengan kesusahan. Sementara kantong terakhir, tidak dibawa ke kamar. Kata Shafa, untuk persediaan agenda berikutnya. Aku jadi curiga, memangnya mereka membagi agenda hari ini menjadi berapa bagian?
Setelah masuk ke dalam kamar, aku segera menyalakan laptop. Butuh beberapa menit untuk laptop menyala. Oleh karena itu, aku menghampiri Eisha dan Shafa yang kini tengah mengeluarkan beberapa cemilan dan minuman dari kantong plastik.
Mataku langsung berbinar tatkala melihat sebuah botol berwarna cokelat yang begitu menggodaku.
“Ei, minta tango drink, dong,” ujarku. Eisha lalu memberikannya kepadaku. Posisi duduk kami saat ini ialah berjejer, dengan Shafa di tengah-tengah aku dan Eisha.
Aku segera membuka segel botol tersebut, dan memutar tutupnya. Wangi cokelat tango drink velluto yang barusan kubuka tutupnya itu langsung menyeruak begitu saja. Sesuai namanya, minuman ini memiliki cita rasa khas wafer tango. Iya, wafer tango yang lapisnya ratusan itu. Aku meneguk tango drink itu sedikit, karena laptopku sudah nyala. Aku segera menancapkan modem dan mengatur jaringannya. Setelah itu, aku serahkan laptop itu kepada penguasa dunia korea, yakni Shafa. Jemari Shafa dengan lancarnya menekan keyboard laptop, hingga cover drama korea yang hendak kami nonton tampil di layar.
•-•-•-•-•
“Ih, endingnya gantung masa. Bikin gregetan banget. Itu jadinya, si mas-mas ganteng gimana? Kasi ke aku aja, deh, daripada disia-siain gitu aja,” celoteh Shafa tiada henti. Aku memilih menutup telingaku yang sudah siap meledak karena panas. Kurasa, selama ini hanya Eisha yang tahan mendengar celotehan Shafa.
Drama yang kami tonton sudah kelar sepuluh menit yang lalu. Akan tetapi, Shafa masih terus menggeram karena tidak terima dengan endingnya. Padahal, itu hanya sebatas fiksi ciptaan manusia.
“Udah kali, Fa, ngomelnya. Dramanya udah selesai juga. Mau kamu omelin itu layar laptop, gak bakalan guna,” ujarku, lantas menyomot beberapa kripik kentang dari tangan Shafa.
“Tapi, Bel, aku tuh gak terima kalau mas-mas gantengnya itu digituin.” Ia masih asyik menggerutu, hingga tak sadar, Chitato miliknya sudah habis karena dicomot olehku dan Eisha. “Ih, kok Chitatonya abis? Kalian nyuri, ya?” tudingnya sembari menyipitkan matanya.
Aku segera mengangkat tanganku, lantas bersuara, “Nggak.”
“Gak asyik, ah, kalian,” ujarnya lantas mengambek. Ia membuang bungkus Chitato itu ke dalam kantong plastik yang memang dikhususkan untuk menampung sampah. Sebenarnya di dalam kamarku memiliki tong sampah. Hanya saja tong sampah itu berukuran kecil hingga tak mampu menampung sampah-sampah kami.
“Agenda berikutnya apa, nih?” tanyaku. Waktu sekarang menunjukkan pukul 12 siang lewat sedikit. Sedangkan, agenda yang selesai hanyalah menonton drama korea. Kami menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam berkutat di depan laptop guna melihat akting para aktor dan aktris berbakat itu. Drama yang kamu tonton itu berepisode. Satu episodenya berlangsung antara 40-50 menit. Total episode ada 5.
5 episode masih terhitung sangat pendek untuk ukuran drama korea. Aku pernah menemukan drama korea yang terdiri dari ratusan episode. Membayangkannya saja sudah mengerikan. Lantas aku bingung dengan para maniak drama yang sanggup marathon menonton hingga belasan episode perharinya.
“Agenda berikutnya itu investigasi.”
“Ha?” Aku dibuat melongo dengan pernyataan Shafa. “Investigasi gimana?” tanyaku.
Kulihat Shafa dan Eisha saling bertukar pandang, seolah telah menyiapkan sesuatu sebelumnya tanpa berkompromi denganku.
Aku mendapati kedipan mata dari Shafa yang ditujukan kepada Eisha. Lantas, Eisha mengangguk dan langsung mengobrak-abrik tas ransel mininya. Semua pergerakan Eisha dan Shafa tak luput dari pandanganku.
“Tara!” Eisha mengeluarkan sebuah buku yang mirip dengan buku diari dari dalam tasnya. Sebentar. Sejak kapan Eisha suka menulis diari?
“Saatnya eksekusi,” kata Shafa, diiringi dengan senyum miringnya.
Aku meneguk ludahku. Mengapa suasananya jadi seram begini?
•-•-•-•-•
Tbc.🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro