Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 - Bukan cowok baik-baik

Hari ini, aku akan diantar ke kampus oleh Vero. Ya, anggap saja ini hari terakhirnya mengantar jemput ku, karena jika hari ini ia diputuskan diterima kerja, besok-besok ia sudah tidak bisa lagi seperti ini.

Jadwal kuliahku hari ini pukul 9 pagi, dengan mata kuliah statistika matematika. Kalian tahu, kan, jika sudah berhubungan dengan statistika, maka otak harus siap-siap disuguhi oleh ratusan data? Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku hendak pecah. Lagipula, aku paling benci statistika. Ya, karena apalagi jika bukan karena data-data tersebut.

Jika harus memilih satu mata kuliah favorit, aku akan dengan lantang menjawab kalkulus diferensial. Iya, kalkulus diferensial atau yang biasa kami singkat kaldif memang favoritku. Di mata kuliah itu, kami belajar mengenai hukum limit, turunan, dan lain sebagainya. Sedari SMA, aku sudah begitu menguasai materi ini, sehingga tak heran bila di dunia perkuliahan, aku tidak perlu repot-repot mempelajari dasarnya. Cukup memperdalam ilmu yang kupunya dan itu sangatlah menyenangkan.

Aku mematut diriku di depan cermin, lantas memutar tubuhku guna melihat penampilanku secara keseluruhan. Hari ini hari Jumat, yang artinya aku bebas mengenakan kemeja bermotif apa pun. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mengenakan kemeja kotak-kotak dengan motif plaid berwarna hitam putih. Tema baju yang aku inginkan hari ini adalah monokrom. Maka dari itu, aku memadukan kemejaku dengan celana kain berwarna hitam polos.

Aku melirik jam tangan yang melingkar di tanganku. Lima menit menuju jam 8.30. Seharusnya, dalam lima menit itu pula Vero sudah datang menjemput. Perjalanan dari indekos ke kampus memakan waktu kurang lebih lima belas menit, belum lagi jika terkena macet dadakan. Aku selalu mengantisipasi keterlambatan ke kampus dengan berangkat setengah jam lebih awal dari jadwal kuliah.

Sembari menunggu Vero datang, aku memutuskan untuk menghilangkan dahaga dengan meminum segelas susu cokelat dingin. Aku membuka kulkas dan segera mengambil sekotak susu cokelat. Setelah itu, menuangkannya di gelas yang kuambil itu hingga penuh.

Dengan segera aku meneguknya hingga habis tatkala mendengar suara ketukan pada pintu utamaku. Aku meletakkan gelas itu di bak cuci piring, lantas berjalan dengan cepat meraih tote bag yang warnanya senada dengan tema monokromku hari ini. Aku membuka pintu dan wajah tampan Vero menyambutku saat itu juga.

“Hai, Ver,” sapaku, yang kemudian dibalas olehnya. Tanpa banyak berbasa-basi, aku langsung mengajak Vero untuk berangkat ke kampus. Takut terlambat, ujarku.

“Pakai dulu helm-nya, Tuan Putri,” katanya yang membuat aku segera memalingkan wajah. Sejak hari dimana hubungan kami kembali membaik, ia memang selalu memanggilku dengan sebutan 'Tuan Putri'. Bahkan, ia juga memperlakukanku layaknya seorang putri kerajaan. Jantungku dibuatnya berdegup lebih kencang.

Seperti sekarang ini, aku berusaha menetralkan detak jantungku yang bekerja berkali-kali lipat lebih kencang. Takut-takut bila ia mendengar suara detakannya.

•-•-•-•-•

Aku turun dari motor Vero, lantas membuka pengait helm. Aku menyerahkan helm tersebut kepada Vero, karena nantinya juga ia akan kembali menjemputku.

“Aku masuk ke dalam dulu, ya, Ver. Makasih udah anterin aku,” ujarku, lantas berbalik badan.

“Eh, bentar, Bel.”

“Kenapa, Ver?” tanyaku kepada Vero. Lelaki itu terlihat hendak menyampaikan sesuatu.

“Tadi pagi, hasil interview udah keluar.”

Ah, aku bahkan sampai lupa menanyakan hasil interview Vero. Jadi, kemarin ia sudah melaksanakan interview dan hasilnya baru akan keluar pagi ini.

“Jadi, gimana hasilnya?” Aku bertanya dengan antusias. Semoga saja hasilnya memuaskan.

“Bel.” Aku menoleh tatkala mendapati suara yang memanggil namaku.

“Razka?” Mengapa tiba-tiba Razka sudah ada di sampingku?

“Mau nagih LPJ, ya?” tanyaku yang sudah hafal dengan gerak-geriknya. Atas alasan apalagi ia menghampiriku, jika bukan untuk menagih revisian LPJ yang harus kukumpulkan hari ini. Tapi kurasa, Razka terlalu rajin untuk menghabiskan tenaganya menghampiriku sampai di sini. Toh nanti aku akan berjalan ke sekretariat dan menyerahkan LPJ hingga mendarat selamat di tangannya. Kurang baik apalagi aku?

Tapi, alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah menatap tajam kepada Vero. “Lo ngapain di sini?” tanyanya yang terkesan tidak suka dengan keberadaan Vero.

“Ka, maksud kamu tanya gitu apa?”

“Aku cuma tanya sama nih cowok berandalan, ngapain ke sini? Mau nyari rusuh?”

Aku membulatkan mataku tatkala mendengar ucapan Razka. “Kamu apa-apaan, sih, Ka. Dia itu temen aku, kamu gak ada hak buat ngatain dia kayak gitu.”

“Bel, kamu itu calon guru, masa temenan sama cowok berandalan kayak gini, sih? Kamu lihat aja penampilannya. Gak mencerminkan cowok yang baik.”

Penampilan Vero hari ini memang tidak seformal biasanya. Ia mengenakan kaus berwarna hitam, dengan luaran jaket denim, lantas celana jeans panjang bermodel sedikit koyakan berlapis di bagian lututnya. Memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Razka yang rapi mengenakan kemeja panjang. Tapi, itu wajar saja. Razka adalah seorang mahasiswa di sini, sementara Vero bukan.

“Punya hak apa kamu menilai orang dari luarannya doang?” marahku kepada Razka. Tidak habis pikir dengan isi pikirannya yang dengan mudah menyimpulkan sesuatu.

“Bel, aku ini cowok. Aku bisa tahu mana cowok yang baik, mana yang nggak. Dan, dia ini bukan cowok baik-baik, Bel.”

“Udah, ya, Ka, cukup. Sebelum kamu ngatain orang lain buruk, sebaiknya kamu ngaca dulu, hidup kamu udah sempurna atau belum? Kalau belum, gak usah merasa paling bener,” cecarku.

Aku beralih menatap Vero, dan memintanya untuk pulang saja. Aku tidak mau Vero berlama-lama di sini dan mendengar lebih banyak cercaan yang keluar dari mulut Razka.

Setelah Vero pulang, aku kembali menatap Razka dengan tajam. Aku menghela napas, berusaha menetralkan emosiku. Namun, ucapan Razka selanjutnya benar-benar membuatku tidak tahan.

“Bel, kamu harus jauhin dia. Dia itu bukan cowok baik-baik, Bel.”

“Kalau dia bukan cowok baik-baik, lalu kamu apa?!”

“Maksud kamu apa, Bel?”

“Ka, kamu mendeklarasikan diri kamu sebagai calon guru. Tapi, ucapan kamu yang tadi-tadi itu sama sekali gak mencerminkan kepribadian guru. Seharusnya kamu malu sama diri kamu sendiri!”

“Aku bener-bener gak ngerti sama ucapan kamu, Bel. Bagian mananya yang gak mencerminkan kepribadian guru? Aku kan ngomong yang sebenarnya, berdasarkan apa yang aku lihat.”

“Bener-bener manusia tanpa dosa, ya, kamu,” desisku. “Aku capek ngeladenin kamu.”

Aku lantas berjalan meninggalkan lelaki itu, namun cekalan tangannya membuatku berhenti. Aku menghempas cekalan tangan Razka dengan kuat.

“Apalagi, sih?”

“Aku mau kamu ikutin kata-kata aku, Bel. Jauhin cowok itu. Dari penampilannya aja udah berantakan kayak gitu, gimana sama hidupnya?”

“Kenapa? Kenapa kamu gampang banget nyela kehidupan orang? Emangnya, sesempurna apa kamu?” murkaku yang benar-benar sudah tak lagi bisa kutahan. Setelah lelaki itu mencela penampilan dan kepribadian Vero, sekarang malah beralih ke kehidupan Vero. Memangnya, apa yang dia tahu perihal Vero?

“Dengar, ya, Ka. Kamu itu bukan siapa-siapanya aku, dan kamu gak berhak buat ngatur kehidupan aku.”

“Jelas aku punya hak, Bel. Kamu itu partner kerja aku dan aku gak mau partner kerja aku bergaul sama cowok yang gak jelas kayak dia.”

Aku tersenyum sinis saat mendengar ucapan Razka. Apa katanya? Partner kerja? Maksudnya, sekretarisnya di kepanitiaan Dies Natalis?

“Oh, partner kerja, ya?” tanyaku. Aku lantas menarik ritsleting tote bag dan mengeluarkan berkas LPJ yang telah kurevisi itu.

“Ini revisi LPJ yang udah aku selesaikan dan aku jamin udah gak ada kesalahan lagi. Jadi, dengan selesainya LPJ ini menandakan bahwa aku udah bukan partner kerja kamu lagi,” ujarku penuh penekanan di kalimat terakhir. Aku melemparkan LPJ itu mengenai dada Razka. Beruntunglah hanya mengenai dadanya, karena niatan awalku sebenarnya ingin melempar LPJ itu ke wajah lelaki itu.

Aku melangkah pergi dari sana, meninggalkan Razka yang berteriak memanggil namaku. Aku tidak peduli lagi.

Toh, hubungan kerja kami telah usai, sejalan dengan selesainya laporan pertanggungjawaban sekretaris Dies Natalis.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro