Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 - Ucapan ketus Bang Radi

Kehidupanku berlanjut sebagaimana semestinya, sama seperti yang aku katakan kepada orang tuaku, bahwa semuanya baik-baik saja. Hanya saja kurasa, minggu pertama di bulan ketiga ini aku harus siap-siap untuk sedikit stres. Karena tepat di minggu kedua bulan Maret, kami sudah akan mengadakan ujian tengah semester serentak sekampus. Dan, sudah menjadi rutinitas beberapa dosen untuk memberikan setumpuk tugas menjelang UTS. Biasanya, dosen-dosen ini adalah dosen yang jarang memberi tugas di dua bulan pertama semester baru.

Beruntungnya selama kelas, aku selalu mendengarkan penjelasan dari dosen, sehingga aku tidak mengalami kesulitan yang berarti saat mengerjakan tugas. Bahkan tak jarang, Eisha dan Shafa berkunjung ke indekos untuk bertanya mengenai tugas. Mereka berdua memang sekelas denganku. Namun biasanya ketika di kampus, Eisha memang lebih sering bersama dengan Shafa, sementara aku lebih suka sendirian. Lagian, rumah mereka juga berdekatan. Maka tak heran bila Eisha dan Shafa selalu berangkat bersama.

Bersahabat bukan berarti harus kemana-mana bersama melulu, kan? Bagiku, arti sebuah persahabatan bukanlah yang selalu ada, melainkan yang tak pernah meninggalkan di kala kita membutuhkan. Se-simple itu memang.

Kini, aku tengah duduk di teras indekos. Terasnya memang tidak luas, karena satu setengah meter dari garis pintu, lantainya sudah bukan keramik lagi, melainkan semen. Yang artinya, batas rumahku hanya sebatas sampai lantai keramik itu saja, sedangkan sisanya sudah termasuk jalan.

Aku memandangi langit di seberang sana yang kini sudah mulai berubah warna. Warna jingganya yang sedari tadi memancarkan keindahan, kini perlahan menggelap, dan berubah menjadi hitam. Artinya, malam sebentar lagi tiba. Sejujurnya, aku bukan seseorang yang mendeklarasikan diri sebagai pengagum semua hal tentang langit. Akan tetapi, memandangi langit seperti ini juga kadang rasanya menenangkan.

Sebuah notifikasi datang dari ponselku, membuatku mengalihkan pandanganku dari langit. Tidak ada notifikasi yang penting, hanya notifikasi pesan dari nomor yang terdiri dari lima angka. Biasalah ... pesan yang isinya menawarkan pembelian kuota gratis internet.

Aku meletakkan kembali ponselku lantas kembali menyaksikan perubahan langit yang kini sudah drastis. Langit sudah benar-benar menggelap. Namun, langit gelap itu tampak belum sempurna karena bintang-bintang yang belum muncul menghiasi kanvas Sang Pencipta itu.

Sama seperti beberapa hari terakhirku yang kujalani dengan begitu datar. Aku baru saja teringat akan sesuatu hal. Entah mengapa, rasa-rasanya hubunganku dengan Vero sedikit mengalami kerenggangan. Ia jadi lama membalas pesanku, padahal biasa-biasanya tidak. Sekalinya membalas, itu juga seadanya.

Apa ia marah kepadaku? Lantas, mengapa?

Setelah beberapa menit mencoba memikirkan tentang letak kesalahanku, aku menyerah. Ternyata, laki-laki juga sama rumitnya dengan perempuan. Seringkali pemikiran mereka tidak bisa ditebak begitu saja. Ya, tidak ada bedanya dengan perempuan. Tapi anehnya, yang selalu dicap rumit itu perempuan. Sedangkan, laki-laki tidak.

Persetan dengan semua teori rumit itu, aku memutuskan untuk menghubungi Arsy guna menanyakan keberadaannya. Arsy mengatakan bahwa ia sedang ada di rumah.

"Aku ke rumah kamu, ya, Ar. Ada yang pengen aku tanyain," ujarku, lantas mematikan panggilan suara. Satu-satunya jalan untuk mengetahui isi pikiran Vero ialah dengan bertanya kepada Arsy yang sekaum dengannya. Sama-sama kaum Adam maksudku. Ya, walaupun aku sendiri ragu, apakah Arsy dapat memecahkan teka-teki rumit itu atau tidak. Karena selama yang aku kenal, Arsy adalah manusia paling sederhana tanpa embel-embel kerumitan. Ia selalu apa adanya dan itu membuatku nyaman berteman dengannya.

Setelah mengenakan hoodie berwarna biru laut milikku, aku segera mengambil ponsel dan bergerak mengunci pintu. Aku berjalan dengan santainya keluar dari indekos, lantas menyusuri jalanan gang yang tidak juga gelap. Gang di sekitar sini dilengkapi dengan pencahayaan yang cukup. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan juga, karena di jam-jam seperti ini, baik gang ini maupun gang sebelah - gang rumahnya Arsy - masih banyak bapak-bapak yang duduk di luar rumah guna menikmati angin malam, sembari berbincang dengan tetangga sebelah rumah. Beda halnya dengan gang di seberang jalan yang pencahayaannya agak kurang.

Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di depan rumah Arsy. Aku mengetuk pintu jati itu beberapa kali hingga menimbulkan suara, dengan sesekali memanggil nama Arsy. Aku terus mengetuk, hingga suara kunci pintu yang beradu di dalam silindernya terdengar. Tak lama setelahnya, seseorang dari dalam membuka pintu itu.

Aku menghela napas, tatkala mendapati siapa yang membuka pintu itu.

Bang Radi.

Seperti biasa, wajahnya selalu menampilkan wajah tak menyenangkan ketika berhadapan denganku.

"Malam, Bang," ujarku berusaha ramah, meskipun sebenarnya ingin sekali kujambak rambut lelaki yang lebih tua beberapa tahun dariku itu. Aku masih ingat dengan pesan mama untuk berlaku sopan kepada orang yang lebih tua.

Kulihat Bang Radi bersidekap dada. "Lo lagi, lo lagi. Gak bosen gangguin Arsy?"

Ya, bukannya menjawab sapaanku dengan ramah, ia malah menghujamku dengan ucapan ketusnya.

"Eh, Bella, udah nyampai?"

Aku mengembangkan senyum ketika melihat Arsy menyembulkan kepalanya di sela-sela celah kosong antara pintu dan leher Bang Radi.

"Ini bocah ngapain lagi, sih, Ar? Gak tahu malem apa? Gangguin orang istirahat aja," ujar Bang Radi, lantas berjalan masuk ke dalam.

"Bella ini tamu, Bang. Lo gak inget pesen bunda? Kalau ada tamu yang datang harus diperlakukan dengan baik. Kan ada pepatahnya, tamu adalah raja," balas Arsy menanggapi ucapan Bang Radi. Lelaki itu lalu mempersilakanku masuk ke dalam dan duduk di sofa yang tentunya tidak ada Bang Radi nya. Sofa di ruang tamu ada empat. Duanya memanjang berhadapan dan cukup diduduki oleh 3 orang, sedangkan dua yang lainnya hanya muat diduduki 1 orang.

Posisinya sekarang, Bang Radi tengah merebahkan tubuhnya di sofa yang pendek. Sementara itu, aku memilih duduk di ujung sebelah kanan sofa panjang, untuk menjaga jarak dari Bang Radi. Anggap saja social distancing, padahal sebenarnya aku memilih mencari aman saja. Berjaga-jaga kalau nantinya Bang Radi mengeluarkan api dari dalam mulutnya. Oke, ini sudah berlebihan.

"Mau minum apa, Bel?" tawar Arsy. Namun, belum sempat aku menjawab, Bang Radi sudah menyela duluan.

"Udah malem, jatahnya kalau tamu berkunjung malam hari gak dikasih minum," ujarnya.

Kudengar decakan halus keluar dari mulut Arsy. "Bang, bisa gak sehari aja nggak gituin Bella?"

"Nah, sekarang gue tanya balik. Bisa gak, sih, nih bocah gak usah dateng mulu?"

Melihat suasana yang mulai memanas, aku mencoba untuk melerai. "Udah, Ar, aku gak mau minum apa-apa, kok. Tadi di rumah udah kebanyakan minum, takutnya malah kembung perut aku," ujarku lantas tertawa kecil, guna mencairkan sedikit suasana.

"Ya, udah. Tadi di telepon katanya mau cerita, cerita apa?" Arsy duduk di sofa pendek yang ada di dekatku.

Aku melirik sedikit ke arah Bang Radi dan memastikan lelaki itu tengah fokus pada ponselnya, sehingga ceritaku tidak akan dicela begitu saja. Setelahnya, aku mulai menceritakan semuanya tentang aku dan Vero. Dimulai dari aku yang memberanikan diri untuk mengirimi Vero pesan, lantas Vero yang mengajakku bertemu untuk pertama kalinya, lalu ke rumahnya, sampai dengan Vero yang membalas pesanku dengan singkat.

"Ya, makanya, jadi cewek gak usah banyak tingkah. Syukur-syukur ada yang mau sama lo."

Aku menghela napas tatkala ucapan ketus Bang Radi kembali terdengar. Sebenarnya, salah aku apa ke Bang Radi?

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro