09 - Fakta
Beberapa menit setelah Vero masuk ke dalam untuk membuatkanku minum, ia keluar dengan dua buah gelas di tangannya.
“Nih, aku buatin teh es. Maaf, ya, gak bisa buatin yang macem-macem, soalnya tahu sendiri lah cowok,” ujarnya yang membuatku terkekeh. Lagian, teh es saja sudah lebih dari cukup.
“Makasih, ya.”
Aku segera meneguk teh es itu hingga tersisa setengah gelas. Hari ini cuacanya sedikit panas, wajar saja bila aku kehausan.
“Tadi sebenarnya, aku mau ajakin kamu main sama Calla. Cuma, Callanya ngantuk. Gak bisa, deh,” ujar Vero.
Aku mengangguk. “It's okay, masih ada lain hari,” jawabku. Aku lalu kepikiran untuk bertanya mengenai hal yang aku temui tadi.
Awalnya, aku ragu. Namun, setelah mempertimbangkannya, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ehm, Ver, aku mau tanya, deh.”
“Tanya apa, Bel?”
“Eh, Bel, kita pindah duduk ke halaman belakang aja, yuk. Di sini panas,” ujarnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya guna mencari angin.
Aku pun mengangguk, lantas mengekori langkah Vero yang berada di depan, dengan gelas teh es di tanganku.
Rumah Vero tidak terlalu panjang, namun cukup lebar.
“Nah, duduk di sini aja, Bel.” Vero memperlihatkan ayunan berbentuk bangku panjang yang ada di halaman belakangnya. Sekilas, ini mirip taman. Kupikir, lantainya terbuat dari semen. Namun, aku salah, karena lantainya itu lantai berumput.
Dengan bantuan Vero, aku naik ke ayunan itu. Vero duduk di hadapanku dan menciptakan guncangan kecil yang menyebabkan ayunan itu bergerak. Aku mengulum senyumku, sudah lama rasanya aku tidak duduk di atas ayunan.
“Kamu tadi mau nanya apa?” tanya Vero yang membuat aku sontak teringat dengan pertanyaan yang ingin aku lontarkan tadi.
“Ah, iya, aku mau tanya suatu hal. Tapi, sebelumnya, ini gak bermaksud apa-apa, ya.”
Vero menganggukkan kepalanya, lantas mengacungkan jempolnya. “It's okay, tanya aja.”
“Kamu ngerokok?” tanyaku to the point. Aku sempat menangkap raut penuh keterkejutan di wajah Vero. Hebatnya, ia dapat langsung menetralkan raut wajahnya kembali, seolah tidak ada apa-apa.
“Nggak, Bel,” jawabnya yang kedengaran sedikit ... ragu.
“Beneran? Lalu, kok tadi aku nemuin asbak di meja teras?”
“Itu punya papa.”
Aku menganggukkan kepalaku. “Kalau gitu, kamu ngevape?”
Ia masih menjawab hal serupa, yakni 'tidak'.
“Kalau nggak, kenapa aku nemuin vape di tas kamu tadi?” Aku menyerang lelaki itu dengan sebuah pertanyaan yang cukup mengagetkannya. Kali ini, raut terkejutnya bertahan cukup lama. Mungkin, ia bingung aku mengetahui hal itu dari mana. “Sebelumnya, aku minta maaf kalau lancang. Tadi pas kamu buatin minum, aku buka tas kamu. Dan, aku malah nemuin ini.”
Aku mengeluarkan sebuah benda dari dalam kantong celanaku. Benda itu ialah benda silindris yang aku temui di waistbag milik Vero tadi.
“Kamu ngevape, kan?” Aku mengulang pertanyaanku.
Kulihat Vero mengembuskan napasnya perlahan, lantas menatapku dengan dalam. “Iya, aku ngevape.”
Aku menatap matanya cukup lama. Kupikir, ia lelaki yang terhindar dari benda semacam vape. Vero yang dulu masih kuingat adalah Vero yang polos. Jangankan untuk berani menyentuh benda itu, Vero itu paling anti dengan hukuman.
Namun, aku dapat memaklumi hal tersebut. Kami sudah tidak pernah bertemu dan berinteraksi selama sekian tahun. Waktu bisa saja mengubah sifat seseorang.
“Maaf, Bel, kalau—”
Suara Vero terpotong di pendengaranku, kala fokusku berubah menjadi menatap layar ponsel yang kedatangan notifikasi.
Bu Elia
Bella, boleh beliin ibu obag maag? Obat ibu habis, skrg maag ibu kambuh. Gak ad org di rumah
“Ehm, Ver, aku pamit pulang dulu, ya. Aku ada urusan. Next time aku dateng lagi,” ujarku dengan panik, lantas dengan segera berjalan meninggalkan Vero yang belum berucap sepatah kata pun.
•-•-•-•-•
Dari rumah Vero, aku memesan ojek online untuk pergi ke apotek dan membelikan obat maag untuk Bu Elia. Ya, semenjak aku tinggal di indekos miliknya, sudah menjadi kewajibanku untuk membantunya. Anak Bu Elia ada empat, namun tiganya sedang ada di luar kota. Sementara, putri bungsunya yang tinggal dengannya sepertinya tengah tidak di rumah. Mungkin, sedang menginap di rumah temannya. Maka dari itu, Bu Elia meminta bantuanku untuk membelikannya obat maag.
Setelah dari apotek, aku segera pulang ke indekos. Tepatnya, ke rumah Bu Elia dan memberikan obat yang tadi sudah kubeli. Aku tetap berada di rumah Bu Elia, sembari menunggu keadaannya lebih baik. Penyakit maag memang terlihat kecil, namun tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena, apabila sudah sampai di tahap maag kronis dan tetap dibiarkan begitu saja bisa menyebabkan penyakit komplikasi, terutama di bagian pencernaan.
“Kamu pulang aja, Bel. Ibu udah gak pa-pa, kok. Kan udah minum obat,” ujar Bu Elia sembari menampilkan senyumnya. Ia berusaha meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
Aku pun memutuskan untuk pulang ke indekos untuk beristirahat. Hari ini rasanya begitu melelahkan, ditambah lagi dengan cuaca yang begitu panas, lengkap sudah penderitaanku. Aku menghidupkan kipas angin, dan menekan tombol 3 yakni kecepatan maksimal. Kepala kipas kuarahkan tepat di depanku.
Sembari berkipas, ponselku bergetar. Ada sebuah panggilan video masuk, yang ternyata itu dari orang tuaku. Aku dengan antusias mengangkatnya.
“Pa, Ma, Bella kangen,” ujarku, sembari melambaikan tanganku di hadapan kamera. Aku juga dapat melihat Rara dan Rere yang tersenyum ke arahku. Meskipun terhalang oleh jarak, namun tetap ada cara untuk melepas rindu seperti ini.
“Kamu apa kabar, Sayang? Baik-baik aja, kan, di indekos? Makannya teratur?” tanya mama, yang langsung kujawab dengan sebuah anggukan kepala.
“Semuanya baik-baik aja, Ma. Makan aku juga teratur. Kadang-kadang bu Elia juga anterin makanan ke indekos.”
“Wah, syukur, deh. Kuliah kamu gimana?”
Aku mengacungkan kedua jempolku ke depan layar ponsel yang kini aku letakkan berdiri posisinya. Setelah menanyakan kabar kedua orang tua dan adik kembarku, aku lalu menceritakan dunia perkuliahan yang aku tempuh di semester empat.
“Sayang, dua minggu lagi kayaknya Papa libur. Rencananya, Papa sama Mama mau mampir ke indekos, sekalian jengukin kamu di sana,” ujar Mama yang membuatku lantas tersenyum.
“Ha? Beneran, Ma?”
“Iya, Sayang.”
“Rara sama Rere ikutan juga, gak, Ma?”
Kulihat Mama menggeleng dari layar ponselku.
“Yah, kenapa, Ma?”
“Mereka masih kecil, Bella. Jadi, Papa bilang gak usah bawa mereka dulu. Lagian, kami nanti juga nggak lama, kok. Papa libur cuma 2 hari.”
Aku menghela napas. Gak pa-pa, deh. Setidaknya aku dapat melepas rindu dengan papa dan mama. Walaupun sebenarnya, aku juga rindu dengan adik kembarku yang menggemaskan.
Setelah kurang lebih setengah jam melakukan panggilan video bersama, Mama yang tengah dilanda kesibukan mengurus kedua adikku yang ingin makan mematikan panggilan tersebut.
Ah, betapa rindunya aku suasana kumpul bersama keluarga intiku. Ada papa, mama, Rara dan juga Rere. Pasti bahagia. Sebenarnya, aku bisa saja menyusul mereka saat libur semester, jika kegiatan organisasiku tidak menumpuk di saat-saat seperti itu.
Ternyata benar kata Dilan, rindu itu berat. Terlebih, apabila rindu itu ditujukan kepada anggota keluarga.
Setelah berlama-lama duduk di depan kipas angin, aku memutuskan untuk segera mandi. Masih ada tugas kuliah yang harus kukerjakan sehabis ini.
•-•-•-•-•
Tbc.🌈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro