Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07 - Satu kebaikan Vero

Setelah pesan ajakan ketemuan dari Vero aku diamkan beberapa menit, akhirnya aku mengiyakannya. Kebetulan, jadwal kuliahku tengah kosong. Hitung-hitung, bertemu teman lama. Ya, aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Mungkin, pertemuan terakhir kami ialah pada saat acara perpisahan sekolah. Setelah itu, kami tidak bertemu lagi, sekalipun pada saat melangsungkan pengambilan ijazah dan cap tiga jari. Maklum saja, pengambilan ijazah dilakukan sendiri-sendiri, karena sudah bukan acara resmi dari sekolah.

Dan, gara-gara ajakan pertemuan itu, sekarang aku tengah pusing memilah pakaian mana yang harus aku kenakan untuk bertemu dengan Vero. Sudah nyaris setengah jam aku tidak menemukan pilihanku. Bahkan, isi lemariku sudah hampir kubongkar semua untuk menemukan pakaian yang cocok.

Aku mengambil sebuah dress selutut dengan motif polkadot putih, lantas menggelengkan kepalaku. Tidak. Dress seperti ini tidak cocok untuk aku kenakan di situasi seperti ini. Dress itu mempunyai kerah di bagian lehernya, benar-benar mencerminkan dress formal.

Aku mengacak-ngacak rambutku frustrasi, lantas melirik ke arah jam dinding. Waktu tersisa sepuluh menit lagi dan aku masih belum menemukan pakaian yang cocok.

"Ah, pakai ini aja. Bodo amat, deh, daripada nanti Vero nunggu," ujarku sembari mengambil sebuah jumpsuit berwarna mustard dan langsung mengganti pakaianku. Setelahnya, aku berdiri menghadap ke sebuah kaca yang tergantung di dinding dan mulai menyisir setiap helai rambutku. Tak lupa, aku mengoleskan lipbalm berwarna nude ke bibirku. Aku mengecap kedua bibirku lantas tersenyum. Penampilanku tidak buruk juga, setidaknya oke untuk bertemu Vero.

Aku keluar dari kamar, sembari menenteng slingbag berwarna putih. Sebuah flatshoes berwarna senada dengan slingbag juga menjadi pilihanku untuk melengkapi penampilan. Sisanya, aku tinggal menunggu kedatangan Vero untuk datang menjemput. Sebelumnya, aku memang sudah mengirimkan alamat indekos kepada Vero. Sebenarnya, aku sedikit tidak enak bila Vero harus datang menjemputku. Aku kan bisa pergi sendiri. Namun, Vero memaksa untuk menjemputku. Katanya, dia yang mengajak, masa iya dia membiarkanku pergi sendirian?

"Duh, kok deg-degan, ya?" gumamku, yang kini tengah duduk di ruang tamu. Aku dapat merasakan detak jantungku bekerja dua kali lipat lebih kencang.

Rasanya, sama seperti pertama kali jatuh cinta. Ah, tidak lucu kan jika aku kembali jatuh cinta pada Vero? Bisa-bisa, nama pertemuannya berubah. Tidak lagi bertemu dengan teman lama, melainkan bertemu dengan pemilik cinta yang lama.

Suara klakson motor menyadarkanku dari lamunan. Aku segera mengembangkan senyum kala melihat seorang lelaki yang kini berada di depan indekosku. Aku segera beranjak dari kursi, dan melambaikan tangan kepada Vero. Tidak lupa, aku menutup pintu indekos dan menguncinya. Aku berjalan menghampiri Vero.

"Hai," sapaku, yang juga dibalas oleh Vero.

"Dari dulu kamu gak pernah berubah, ya."

Aku mengernyitkan dahi tatkala mendengar ucapan Vero. "Gak berubah gimana?"

"Masih sama kayak dulu ... pendek," ledeknya.

"Ih, Vero." Aku memukul lengan lelaki itu. Ia ternyata masih sama seperti dulu. Suka mengataiku pendek.

"Canda, Bel." Ia mengangkat kedua tangannya, lalu menyengir ak berdosa. Aku yang melihat cengiran khasnya itu merasa flashback dengan masa-masa kami dekat dulu.

Vero itu anaknya manis. Senyumnya juga menenangkan. Ah, semua tentang dirinya rasa-rasanya terlalu sempurna untuk aku deskripsikan.

"Tapi, pernyataan aku soal kamu yang gak berubah itu bener loh, Bel," ujarnya tiba-tiba. "Cantik kamu masih sama kayak dulu."

"Eh, ralat, deh. Kamu makin cantik," ralatnya, yang membuat aku tersenyum tersipu. Ah, Vero memang paling pandai membuatku tersipu. Tidak kuasa menahan malu, aku pun mengalihkan percakapan Vero dengan mengajaknya langsung jalan.

"Cie, yang lagi salting," ledeknya yang berakhir dengan aku memukuli kepalanya yang terbungkus helm.

"Jalan sekarang, atau, aku masuk ke indekos lagi?" ancamku. Vero langsung mengangkat jarinya, menunjuk tanda 'peace'.

"Ampun, Tuan Putri."

•-•-•-•-•

Sesampainya di tempat tujuan, aku dan Vero segera berjalan masuk ke dalam. Tempat tujuan kami yakni kafe Mozza, yang letaknya ada di sebelah mall besar. Kafe Mozza ini memiliki tiga lantai, dengan lantai ketiga dimanfaatkan untuk mereka yang ingin merasakan kenyamanan di outdoor. Aku dan Vero tentunya juga memilih lantai tiga yang dimana kami dapat melihat ramainya jalanan dari atas sana. Namun, sayang, lantai tiganya sudah penuh. Kami terpaksa turun ke lantai dua dan duduk di lingkungan indoor.

Setelah pelayan kafe datang dan memberikan kami buku menu, aku dan Vero segera memantapkan pilihan untuk dipesan. Hari ini, aku menjatuhkan pilihanku pada Latte Macchiato dan sebagai pendampingnya aku memilih Chicken Katsu untuk mengisi perutku. Sementara Vero, ia memesan Ice Vietnamese Coffee dan Chicken Katsu. Pelayan itu pergi setelah mengulangi pesanan kami.

"Udah lama banget, ya, kita gak ketemu?" Vero membuka percakapan. Aku mengangguk, lantas tersenyum. Rasanya, aku begitu kaku di hadapan lelaki itu.

"Santai aja kali, Bel, jangan kaku-kaku gitu," ujar Vero, lantas terkekeh kecil. Apa sebegitu tampaknya diriku yang kaku dihadapannya?

"Eh, iya, Ver," ujarku sembari menggaruk tengkuk. "Kamu sekarang lanjut kuliah atau kerja?" Pertanyaan itu terlontar seketika. Ya, dari kemarin aku belum sempat menanyakan hal itu.

"Sebelumnya, aku sempat kerja di tempat temennya papa. Cuma, nggak lagi. Gajinya gak sesuai dengan aku yang selalu diminta lembur. Jadinya, sekarang pengangguran dulu," ujarnya. Ia memberhentikan ucapannya terlebih dahulu saat pesanan kami berdua datang. "Kalau soal kuliah, aku gak pernah kepikiran, sih. Sebenarnya, pernah kepikiran dulu mau ke Australia, cuma gak jadi."

"Kenapa gak jadi? Aku denger, banyak anak-anak SMP dulu yang ke Aussie, kerja di restoran, cuma gak tahu kerja apa."

Kulihat Vero mengangguk. "Iya, banyak yang ke sana. Aku juga sempat disuruh mama buat ke Aussie, cuma aku gak mau. Aku rasa, sulit buat aku beradaptasi di sana nantinya. Lagian, aku juga cinta Indonesia. Di Indonesia banyak peluang untuk menjadi sukses, lalu buat apa terbang ke negeri orang?"

Aku tersenyum tatkala ia mengatakan cinta akan Indonesia. "Kamu bener juga, Ver."

"Kamu sendiri, pernah kepikiran mau ke luar negeri, gak?" tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. Sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku, untuk aku pergi ke luar negeri. Bahkan, jangankan luar negeri, ke luar kota saja rasanya berat untukku. Aku sudah terlanjur nyaman di kotaku. Mungkin, karena ada begitu banyak kenangan yang tersimpan di sini. Bahkan, kenangan bersama Vero.

"Nggak sama sekali," jawabku dengan mantap. Aku lalu menyeruput Latte Macchiato milikku.

"Kenapa nggak pernah kepikiran?"

"Sama seperti kamu, aku terlalu cinta dengan Indonesia. Lebih tepatnya, aku udah terlalu nyaman dengan kota ini." Entahlah, suasana di sekelilingku seketika berubah menjadi sendu. Apa cuma feeling-ku saja?

Beralih dari topik cinta Indonesia, aku bertanya kepada Vero mengenai hubungannya dengan Reva. Masihkah mereka saling bertukar kabar setelah putus? Ya, seperti yang aku ketahui, hubungan mereka itu sangatlah romantis. Tak jarang dari anak-anak kelas menjuluki mereka couple goals dulunya. Mereka berpacaran sejak kelas 2 SMP dan putus ketika hendak naik kelas 1 SMA. Artinya, hubungan mereka berlangsung cukup lama, antara satu hingga dua tahun.

Kupikir, Vero akan memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaanku. Rupanya aku salah. Lelaki itu terlihat begitu enggan membahas perihal masa lalunya.

"Maaf kalau pertanyaan aku buat kamu gak nyaman," ujarku setelah merasakan adanya perubahan di raut wajah Vero kala membahas perihal Reva.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya, lantas tersenyum. "Gak pa-pa. Aku cuma malas mau bahas masa lalu. Bagi aku, masa lalu, ya, masa lalu. Gak ada yang perlu diungkit untuk dibahas lagi. Bukannya takut gagal move on, cuma ada hal lain yang aku rasa lebih penting untuk dibahas, diluar pembahasan tentang masa lalu. Salah satunya, masa depan. Iya, kan?"

Aku menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan oleh Vero itu benar. Pembahasan mengenai masa depan lebih penting untuk dibicarakan, dibanding membahas masa lalu yang sudah jelas-jelas tidak bisa kita ubah.

•-•-•-•-•

Pukul 3 sore, Vero mengantarkanku pulang ke indekos. Setelah lima jam bersama, kami banyak berbincang mengenai kehidupan kami. Pembahasan yang awalnya menyangkut tentang masa lalu, berubah haluan menjadi membahas masa depan. Dari yang aku dapatkan, Vero adalah seseorang yang penuh perancangan untuk masa depannya. Beberapa kali, aku memuji lelaki itu di dalam hati atas semua jawaban mengagumkannya.

Aku turun dari motor Vero, lalu mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu. Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan. Vero pun pamit untuk segera pulang.

Aku lalu berjalan masuk ke dalam indekos. Saat membuka pintu, seseorang memanggilku. Ternyata itu Kak Sonya, salah satu penghuni indekos milik Bu Elia. Indekos milik Bu Elia terdiri dari 4 pintu. Yang dimana satunya aku tinggali, kemudian di sebelahku ditinggali oleh Kak Sonya. Dan, yang duanya tengah kosong saat ini.

Kak Sonya adalah mahasiswi sepertiku. Kini, ia tengah berada di tingkatan akhir, yakni semester 8. Aku dapat membayangkan hari-harinya yang kini dipenuhi oleh lembar skripsi. Ia berbeda jurusan denganku. Kak Sonya mengambil jurusan akuntansi internasional, di fakultas ekonomi dan bisnis.

"Hai, Kak Sonya."

"Hai, Bel. Habis jalan sama cowok, ya?" tanyanya, sembari tersenyum. Aku mengangguk malu-malu.

"Kalau aku gak salah lihat, cowok itu Vero, ya?"

"Iya, Kak. Kakak kenal Vero?"

Kak Sonya mengangguk. "Vero itu cowok yang Kakak pernah ceritain dulu. Itu loh, yang pernah nyelametin Kakak dari para preman."

Ah, aku ingat. Kak Sonya pernah bercerita kepadaku saat itu. Pada malam saat ia berjalan pulang dari rumah temannya di gang Mawar-gang di depan gang Kemuning-, tiba-tiba jalannya dihadang oleh dua orang penjahat. Beruntungnya, ada seorang lelaki yang menolong Lak Sonya waktu itu, sehingga ia tidak apa-apa. Dan, baru kuketahui lelaki itu ialah Vero.

"Vero itu pacar kamu, ya?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaan dari Kak Sonya. "Temen aja, Kak."

"Oh, temen. Tapi, kalau mau dijadiin pacar juga gak pa-pa, kok. Kakak lihat, Vero orangnya baik. Buktinya, dia mau nolongin Kakak waktu itu, yang dimana kita aja belum kenal," ujar Kak Sonya. Aku hanya tersenyum membalas ucapannya, karena bingung harus merespons seperti apa.

"Ya udah, Kakak masuk ke indekos dulu. Mau mandi, gerah, nih," ujarnya lalu masuk ke dalam indekos, meninggalkanku yang entah mengapa tiba-tiba ingin tersenyum.

Vero itu benar-benar tipikal lelaki yang baik. Dan, hari ini, ucapan Kak Sonya membuatku tahu satu kebaikan Vero yang lainnya, setelah lama kami tak berjumpa.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro