Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05 - Baikan

"Makasih, ya, Ar," ucapku kepada Arsy yang telah mengantarkanku pulang. Sekarang, langit sudah menggelap, sehingga wajar saja bila Arsy tidak mengizinkanku pulang sendiri. Namun, aku meminta Arsy untuk diantarkan sampai ke depan gang saja. Sisanya, aku bisa jalan sendiri. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku bisa melihat rupa indekosku. Lagian, di sini aman.

"Aku langsung pamit, ya, Bel." Aku lantas melambaikan tanganku kepadanya, setelah mengucapkan hati-hati. Setelah Arsy menghilang dari penglihatanku, aku lantas berjalan menyusuri jalanan gang.

"Loh, Ei, Fa?" Aku terkejut tatkala melihat keberadaan Eisha dan Shafa yang berada di depan indekosku.

"Hai, Bel. Tadi pulang sama siapa?" tanya Shafa. Sepertinya Shafa melihat keberadaan Arsy tadi.

"Itu Arsy, temen aku, tinggal di gang sebelah."

Kulihat Shafa hanya ber oh ria.

"Eh, masuk, yuk." Aku segera merogoh kunci indekosku dari dalam kantong celana dan memasukkan anak kunci itu ke silindernya. Dalam sekejap, pintu indekos itu terbuka. Aku mempersilakan Shafa dan Eisha untuk masuk ke dalam. Setelah Shafa dan Eisha duduk di kursi tamu, aku pamit ke dalam sebentar untuk membuatkan minuman. Tak lama kemudian, aku keluar dengan tiga cangkir teh hangat di atas nampan.

Suasana dingin di malam ini sepertinya akan lebih menyenangkan bila ditemani dengan teh hangat. Aku menaruh dua cangkir teh di hadapan Eisha dan Shafa, sedangkan yang satunya di hadapanku.

"Tumben kalian mampir ke sini malem-malem. Ada apa?"

Hening menjawab pertanyaanku. Mereka berdua saling bertatapan, hingga kudengar suara Eisha di heningnya malam.

"Fa, ngomong, gih."

Aku melirik ke arah Shafa, sepertinya gadis itu yang hendak berbicara.

"Ehm, anu, Bel. Aku mau minta maaf," cicit Shafa, yang beruntungnya masih bisa kudengar.

"Minta maaf? Untuk apa?"

"Masalah yang kemarin. Aku minta maaf karena udah salah paham sama kamu. Aku udah nuduh kamu ngelupain persahabatan kita, cuma gara-gara kamu nyimpen rahasia di antara kita," ujar Shafa. Hatiku menghangat kala mendengar ucapan Shafa. Tapi, sebenarnya Shafa tidak perlu meminta maaf. Ia tidak salah. Justru di sini, aku yang salah, karena sudah merahasiakan sesuatu dari mereka.

"Kamu gak perlu minta maaf, Fa. Kamu gak salah," ujarku lantas tersenyum. Aku beralih menatap Eisha. "Aku minta maaf kalau aku belum bisa cerita semuanya sama kalian."

"Aku paham, kok. Kemarin Eisha udah nyadarin aku, bahwa dalam suatu persahabatan itu wajar kalau ada yang namanya rahasia. Lagipula, bersahabat bukan berarti semuanya harus serba diceritakan. Iya, kan? Yang kita butuhkan cuma kepercayaan. Dan, aku percaya di antara kita gak akan ada yang berkhianat." Kulihat senyum Shafa mengembang, setelah kemarin tak kunjung tampak.

Ucapan Shafa benar. Yang paling penting dari sebuah hubungan-termasuk kedalamnya hubungan persahabatan-ialah kepercayaan. Bila kepercayaan sudah runtuh, maka apa gunanya lagi?

Eisha dan Shafa sudah memberikan kepercayaannya kepadaku dan sudah tugasku untuk tidak mengecewakan mereka. Suatu saat nanti, aku harus menceritakan semuanya kepada mereka.

Ya, harus.

"Jadi, kita baikan, nih?" tanya Shafa.

Aku melirik Eisha, lantas berujar bersamaan. "True friendship will never end."

Akhirnya, kami tertawa bersama.

Dan, akhirnya juga hubunganku dengan Shafa yang sempat bermasalah kini membaik. Itu semua berkat Eisha sebagai perantara. Terima kasih, Eisha!

•-•-•-•-•

Setelah Eisha dan Shafa pulang, aku langsung mandi malam. Kata orang, mandi di malam hari itu tidak baik. Akan tetapi, aku sudah biasa mandi malam, apalagi jika aku sedang ada kegiatan.

Lima belas menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi. Niatku ingin langsung tidur saja, mengingat perutku sudah terisi penuh oleh soto ayam tadi. Arsy yang mengajak dan mentraktirku, katanya sebagai bentuk terima kasih sudah membuatkannya nasi goreng.

Tapi, niat ingin tidurku langsung hilang kala membuka ponsel. Aku membuka aplikasi Instagram, lantas mencari akun instagram milik Vero. Dari kemarin, aku belum mengikuti akun miliknya, karena takut ia sudah tidak mengingatku. Namun, setelah mendengar jawaban Arsy tadi, aku jadi tidak ragu lagi untuk mengikuti akun tersebut.

Aku mengiriminya sebuah pesan melalui direct message.

@caverolastana
Folback, Ver^^ [sent]

Aku menggigit jari-jariku, dengan roomchat milik Vero yang masih terbuka. Anggap saja aku tengah menunggu balasannya. Di tampilan Instagram, tepatnya di bawah nama akunnya, tertulis bahwa Vero baru saja aktif 2 menit yang lalu. Tapi, sudah lima menit berlalu, Vero masih belum membaca dan membalas chat dariku.

Mungkin, ia sudah tidur, pikirku. Aku memutuskan untuk mematikan ponsel dan berjelajah ke alam mimpi. Semoga saja besok Vero sudah memberikan balasan untuk pesanku.

•-•-•-•-•

Pagi ini, aku ada jadwal kuliah teori grup. Dosen yang mengajarnya ialah Pak Handoyo. Beliau cukup ramah, tidak seperti dosen-dosen lainnya yang sedikit cerewet dan suka menyalahkan mahasiswa. Maka dari itu, banyak mahasiswa yang antusias kala diajar beliau, termasuk aku.

Kelas akan dimulai pukul 8 pagi dan masih ada lima belas menit lagi sebelum kelas dimulai. Aku memilih untuk menghabiskan waktu selama itu di kantin Yumna. Kantin Yumna sebenarnya adalah nama lain dari kantin FKIP. Yumna sendiri diambil dari nama ibu pemilik kantin yang sudah menjual di sana sejak kampus FKIP baru didirikan. Kini usianya sudah menginjak kepala lima. Namun, semangatnya memberikan asupan energi untuk para mahasiswa di sini masih sangat kuat. Ya, tidak bisa dikategorikan memberikan asupan energi juga, karena kami semua di sini membayar.

"Pagi, Bu Yumna," sapaku pada wanita paruh baya itu. Ia tersenyum menanggapi sapaanku, dan kembali mengambil beberapa jenis sayur dan lauk pauk ke atas sepiring nasi.

Kantin Yumna tidak hanya ada satu saja, melainkan ada tiga. Satunya milik Bu Yumna, lalu yang satunya milik Bu Tanya, dan yang satunya milik Bu Asri. Walau begitu, kantin Bu Yumna tetaplah menjadi langgananku.

"Mau pesan apa, Neng?" tanya Bu Yumna menghampiriku. Awalnya, aku hanya berniat duduk saja di kantin. Udaranya cukup dingin di sini, karena ada beberapa pohon yang tumbuh di sebelah kanan kantin. Namun, aku mendadak haus dan memesan segelas teh es.

Bu Yumna lalu pergi, setelah mendengarkan pesananku.

Aku membuka ponselku yang sedari tadi belum kusentuh. Tanpa berbasa-basi, aku menekan aplikasi Instagram, berharap Vero sudah membalas pesanku. Namun, nihil. Ia masih belum membalas. Apa jangan-jangan ia memang tidak berniat membalas? Aku menggelengkan kepalaku. Mungkin Vero memang belum membuka aplikasi Instagramnya, karena berita terakhir ia membuka aplikasi itu kemarin.

Aku menutup kembali aplikasi Instagram ku, lantas mengembuskan napas. Mengapa aku jadi menanti balasannya seperti ini?

"Bel," panggil seseorang. Aku menoleh, dan mendapati Razka kini duduk di sebelahku.

"Ada apa?" tanyaku. Mood-ku sedikit tidak baik. Entahlah, mungkin karena pesanku belum dibalas Vero.

"LPJ jangan lupa. Kalau bisa, minggu depan udah diprint trus dikasih ke aku, biar bisa aku cek lagi," ujarnya. Aku mendesis kesal. Ini masih pagi, dan ia sudah membahas LPJ. Benar-benar menyebalkan. Memangnya, tidak ada hal lain apa yang jauh lebih penting dibanding LPJ?

"Iya," jawabku seadanya, lalu kembali menatap layar ponselku yang kubuka. Sepertinya, melihat layar berbentuk segi empat itu lebih menyenangkan daripada melihat wajah Razka.

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro