Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Untuk dipamerkan

Luki Amidjaja tidak bisa berhenti tersenyum selama di perjalanan menuju kediaman Denok Kanara Djatiwibowo. Semalam, setelah mengirimkan pesan, Luki bisa menilai bahwa Denok Kanara ini tampaknya senang menantang orang.

Setiap kalimat yang di ketik oleh gadis itu menunjukkan sikap yang arogan dan tidak punya rasa takut. Gadis itu juga cenderung sombong, mungkin karena usianya yang masih terlalu muda, gadis itu tidak memiliki banyak pengalaman untuk menghadapi pria seperti dirinya.

Di usianya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun, Luki bisa dikatakan tengah berada di usia prima dan tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Tubuhnya masih segar dan bugar, meskipun melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri sekali pun itu semua tidak akan berpengaruh karena kondisinya sangatlah prima.

Perbedaannya, kesenjangan usia antara dirinya dan Denok itu terlalu konyol. Berbeda lima belas tahun itu cukup jauh dan aneh, bahkan Luki mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia bukan pedofil dan dia terus menekankan kata itu dalam otaknya.

Tapi gadis itu punya nilai jual, seperti apa yang Adjie katakan, wajah dan tubuhnya memiliki nilai yang bisa dibanggakan. Itu kenapa, hari ini Luki berencana mengajak Denok sebagai barang kepemilikannya yang bisa dia pameran kepada dunia.

Luki tidak seserius itu kepada Denok, sudah Luki katakan bukan? Dia dan Denok belum tentu bisa berjalan sampai ke pernikahan. Mungkin, Luki bisa menyebutnya pernikahan adalah garis finish akhir, artinya tidak akan ada Kezia lagi dalam hidupnya.

Rasanya aneh, jika dia membenci Papanya yang seorang pengkhianat, lalu jika dia menikah dengan Denok dan mengkhianati Denok, maka itu akan menjadi bumerang untuknya. Bagaimana jika kita buat lebih sederhana? Agar Luki menjaga komitmen dalam dirinya, dia memang harus menikahi wanita yang dia cintai.

Dan Luki butuh Kezia untuk menjaga komitmen itu, bukan Denok.

Sesampainya di kediaman Denok yang sepi, Luki hanya disambut oleh asisten rumah tangga wanita tua yang meminta agar Luki menunggu Denok di dalam.

Rumah Djatiwibowo benar-benar sepi, jika tidak ada asisten rumah tangga tadi, Luki pikir rumah ini tidak memiliki kehidupan sama sekali. Jelas saja, keberadaan istri Erlangga Djatiwibowo saja dipertanyakan, jangan tanya Erlangga Djatiwibowo yang tengah sakit di Singapura sana.

Lalu, Denok tinggal sendiri di rumah sebesar ini?

"Eh, Mas Luki!"

Luki menoleh ke belakang melihat teman Denok, yang bernama Abby - Abby itu muncul membawa satu totebag berisikan buku tebal di dalamnya.

"Nunggu Denok, ya? Sebentar ya, Denok masih siap-siap."

"Kamu..." Luki menahan kata-katanya yang sudah ada di ujung lidah.

Abby menahan langkah kakinya. "Iya, Mas?"

"Menginap di sini?"

Abby mengangguk. "Saya selalu menginap di sini, menemani Denok. Atas perintah Pamannya juga."

"Oh... ya,"

"Mas Luki pasti ngerasa canggung, ya? Santai saja, Mas... enjoy, soalnya hidup Denok juga terlalu lurus dan kaku,"

"Saya tahu," balas Luki dengan senyuman canggung, bukan hal yang sulit menebak anak kecil seperti Denok. "Teman kamu itu memang cukup payah,"

"Siapa yang payah?"

Mampus... Abby buru-buru undur diri dan pamit setelahnya Luki melihat si gadis payah yang baru saja turun dari tangga dengan penampilan yang... what the fuck is wrong with her?!

Luki emosi setengah mati setelah melihat bagaimana penampilan Denok pagi ini. Itu adalah overall denim yang terlihat pas di tubuh Denok, gadis itu kelihatan seperti anak kecil hilang, kaus putih tanpa lengan ditambah overall denim dan volume hair band yang dipakainya cukup... Luki lelah menjelaskannya.

Rambut hitam panjang dan lurusnya tergerai hingga pinggul, satu hal yang Luki sadari betapa panjangnya rambut gadis itu. Selama ini, Luki tidak pernah menyukai perempuan berambut panjang, Kezia pun hanya sebahu, tidak pernah lebih panjang lagi. Dan bagi Luki, perempuan berambut pendek justru terlihat tegas, dan menggemaskan tanpa harus menghabiskan waktu banyak untuk mengurusi rambut.

Tapi Denok benar-benar membuka matanya dan melihat bagaimana betapa nyamannya Denok dengan rambut panjangnya itu.

"Heh!"

Denok berkacak pinggang di hadapannya dengan wajah cemberut, Luki menganga dan tidak berespons untuk beberapa saat. "Kamu mau kemana?" tanya Luki maksudnya, menyindir penampilan Denok.

"Kamu yang ajak saya," jawabnya dengan malas.

"Saya ini berniat memamerkan kamu, kenapa kamu..."

"Apa saya ini untuk dipamerkan?" protes Denok pada Luki.

Tenggorokan Luki rasanya perih dan mengangguk jujur. "Ya,"

"Menyebalkan sekali, saya nggak mau dipamerkan sebagai tunangan kamu. Saya tahu, kamu memang sengaja menguji saya saat ini, tapi jujur... saya malas meladeni kamu."

Kening Luki berkerut kesal. "What?!"

"Saya malas meladeni kamu," ulang Denok dengan tegas. "Jangan ajak saya untuk main-main seperti ini. Saya nggak ada waktu."

Sialan, Luki mengutuk dalam hati. Apa dia mudah dibaca oleh gadis ini? Mengapa Denok terlalu mendalami dirinya? Apa gadis ini cenayang?

"Saya nggak main-main, saya ingin serius dengan kamu,"

Denok tengah menyipitkan matanya dengan curiga kepada Luki. "Ada apa dengan kamu? Sedang merencanakan hal apa lagi ini?"

"Saya nggak merencanakan apa pun, saya telah selesai dengan Kezia dan saya akan mencoba dengan kamu. Apa kamu tidak ingin kita berdua berhasil?"

"Salah kali," Denok berjalan lebih dulu keluar rumah dan Luki mengikutinya dari belakang. "Kamu nggak mau kita berhasil."

Luki menggigit bibirnya kesal, ingin menggoyangkan kepala Denok dengan kedua tangannya. "Kamu ini terlalu curiga sama saya,"

"Saya antisipasi," kata Denok yang berhenti tiba-tiba hingga membuat Luki mundur kembali. "Saya cuman jaga-jaga."

"Ya, ya, ya... jadi mau kamu bagaimana? Saya nggak mau bermusuhan," ujar Luki sedang bernegosiasi anak kecil di hadapannya. "Saya mau berteman baik dengan kamu, kalau kita nikah, artinya seumur hidup kita jadi partner. Dan saya nggak mungkin mencari wanita lain kalau kamu sudah jadi istri saya."

Denok malah menatap wajahnya dengan lama dalam diam. Luki jadi penasaran, apa isi otak gadis itu sebenarnya.

"Lakukan apa pun yang kamu mau lah!" Denok terlihat seperti tidak peduli dan mengibaskan tangannya. "Kalau berhasil, Tuhan mungkin berada di pihak kamu. Kalau kamu gagal, jangan memaksakan diri, saya juga nggak akan memaksakan diri untuk jadi pasangan kamu. Saya lebih baik cari cinta dengan cara sembarangan dan jorok, daripada harus dijodohkan seperti ini."

Setelah mengatakannya, Denok masuk ke dalam mobil Luki, setelah Denok masuk ke dalam mobil, Luki menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya sekuat tenaga. Denok tidak mudah, gadis ini tidak mudah dia kibuli. Sial.

***

Fullerton Hotel, Singapura.

Denok menarik napasnya dengan kesal ketika pesawat melakukan landing, dia baru saja dibawa ke Singapura! Sialan, Denok kira, Luki akan melakukan meeting dengan klien di seputaran Jakarta saja.

Sangat tidak lucu, dia bahkan tidak membawa persiapan apa pun. Dan satu hal lagi, pesawat yang baru saja dinaiki olehnya tadi adalah jet pribadi milik pria sombong yang tengah memakai kaca mata di sisinya tanpa menghiraukan keberadaan Denok.

"Kayak anak hilang kamu," cetus Luki tanpa raut wajah bersalah.

Denok tahu, Luki tengah meledeknya habis-habisan. "Kamu nggak bilang bawa saya ke Singapura!"

"Lagian Singapura-Jakarta nggak ada bedanya bagi saya, sore juga kita pulang, kamu nggak bawa paspor, kan? Tadi masuk bandara saja ilegal, semua itu karena bantuan saya. Jadi, kalau saya berniat jahat, saya akan meninggalkan kamu di Singapura agar kamu ditahan oleh polisi sini."

Dengar apa kata pria sombong itu? Apakah ini yang dimaksud oleh Luki bahwa dia harus menjaga sikap?

"Kamu keterlaluan," gumam Denok pelan. "Kalau tahu begitu, saya ke rumah sakit saja. Kamu lupa, di Papa saya sedang dirawat di Mount Elizabeth?"

Luki menoleh kepadanya dengan senyuman miring. "Kamu ingin menjenguk Papa kamu?"

"Ya," balas Denok jutek.

"Kalau gitu, saya ikut." Luki mengibaskan tangannya di saku jas dan merapikan jasnya. "Papa kamu harus tahu bahwa calon menantunya begitu tampan."

Denok mendengus, ini luar biasa... kepercayaan diri Luki benar-benar patut diacungi jempol. Apa pria itu terlalu sering mendapatkan pujian?

Meeting dengan klien Luki dari Singapura itu menghabiskan waktu selama dua jam penuh. Denok sudah mati rasa di tempatnya, ponsel yang dia bawa hanya terhubung WiFi hotel yang tentu saja kecepatannya baik. Tapi di balik itu semua, Denok resah dan takut jika Luki benar-benar meninggalkan dirinya.

Mereka membahas seputar pembangunan kilang minyak yang akan dilakukan di Yogyakarta. Secara spesifik, ada berbagai masalah dengan pemerintah daerah karena sektor tanah di Yogyakarta masih ada beberapa lahan tanah pemerintah daerah. Tidak cukup di situ, kendala melobi dan bernegosiasi dengan pihak kementerian Yogyakarta belum dilakukan.

Lalu Luki dengan mudahnya mengatakan bahwa dia akan melakukan temu janji dengan Hamengkubuwono, Sri Sultan Yogyakarta. Terang saja, para investor itu membuka kedua matanya dengan binar yang cerah. Mengetahui betapa besar dan kuasanya koneksi seorang Luki Amidjaja di tanah Jawa.

Dua jam yang menyebalkan itu, tidak sekalipun Luki melirik dirinya, dan para investor sepertinya penasaran siapa dirinya yang kini dibawa oleh Luki. Lagi-lagi, dia salah kostum, ada apa sih dengannya?

"Kamu lapar?"

Denok yang baru saja akan memejamkan matanya karena tak tahan akan rasa kantuk mendadak duduk tegak ketika mendengar suara Luki.

"Hah... ng-nggak."

Luki diam berdiri di tempatnya sembari memandang Denok dengan aneh. "Mau ke rumah sakit sekarang?"

"Ya, tentu... apa sudah selesai?"

"Sudah, maaf membuat kamu menunggu, harusnya saya memikirkan kenyamanan kamu sejak tadi."

Oh! Betapa rendah hatinya. "Nggak usah sok pura-pura baik, nama tengah kamu itu nggak peduli, jadi jangan melakukan usaha yang membuat kamu kesulitan, cukup apa adanya saja. Saya yang akan berusaha memaklumi."

Luki berdecak tidak suka. "Kamu ini memang senang memancing keributan, ya? Ayo, kita pergi ke rumah sakit jenguk Papa kamu, setelah itu kita pulang ke Jakarta!"

Denok mengernyitkan keningnya dengan bingung. "Kenapa kamu terdengar marah?"

"Saya akan marah jika kamu nggak suka saya pedulikan, Denok!" Kata pria itu dengan berapi-api.

Denok menggelengkan kepalanya berlagak acuh. "Kamu sepertinya hanya merasa bersalah karena membawa saya ke Singapura tanpa bilang sebelumnya, lalu... kamu fokus meeting dengan klien tanpa menghiraukan saya. Tenang saja, saya ada kok uang, hanya saja belum—"

"It's not about money, Denok!" tekan Luki dengan tegasnya, kedua matanya menyiratkan kemarahan, entah kenapa pria itu harus marah kepadanya. "Saya benar-benar merasa kacau setelah melihat kamu hampir ketiduran di sini, maafkan saya—my bad... saya harusnya memperhatikan kamu."

Wah...

Denok menatap Luki dengan penuh curiga, kedua matanya membuat dan membesar karena bertanya-tanya apa yang sedang Luki lakukan kepada dirinya?

"Ayok," ajak Luki memberikan tangan kanannya dan menggandeng tangan kiri Denok.

Denok menahan napasnya seketika, ini... aneh.

***

Ruang perawatan intensif VIP Mouth Elizabeth itu terlihat sepi tanpa pengunjung, saat Denok datang, Erlangga Djatiwibowo tengah melakukan perpindahan posisi agar kulit punggungnya tidak ada lesi karena berbaring seharian. Perawat bilang itu katanya mobilisasi miring kanan dan kiri.

Denok masih menahan tangisnya, melihat Papanya yang terbujur kaku, tapi ada peningkatan yang cukup nyata. Kini, Papanya bisa membalas senyuman kepada Denok. Saraf wajahnya telah bekerja dengan baik, dan jika perawatan terus dilakukan bisa kemungkinan Papanya sembuh dan pulih kembali.

"Hai Papa," sapa Denok dengan canggung.

Selama hidupnya, Denok tidak pernah melakukan skin ship layaknya anak dan ayah yang bisa membuat kenyamanan diantara keduanya, sayangnya itu semua tidak berlaku karena Denok tidak pernah diperlakukan manis atau dimanja oleh Erlangga Djatiwibowo.

Pria itu terlalu banyak memendam rasa rindu pada putrinya sendirian, mengagumi Denok sebagai putrinya dalam diam, memerhatikan Denok dari jarak jauh.

Semua itu ternyata membuat dampak dan jarak yang terbentang diantara dirinya dan Denok terlihat kian jelas. Keinginan Erlangga begitu besar, melihat putrinya sendiri yang cantik berdiri di hadapannya, rasanya Erlangga ingin memeluk Denok.

Kemana saja dirinya selama ini?

Dan lagi, pria yang berasa di sisi Denok itu adalah Luki Amidjaja. Jadi, pertunangan putrinya dengan Luki Amidjaja berjalan dengan baik? Erlangga bersyukur dalam hatinya, mengharapkan semesta memberikan kebahagiaan pada putrinya sendiri.

"Papa sudah makan?" tanya Denok.

Denok melihat mangkuk bubur yang bersih di atas nakas, kedua kelopak mata Papanya berkedip dua kali. "Bagus, maaf ya, Pa.. aku datang ke sini mendadak dengan Mas Luki jadinya nggak bawa apa-apa untuk Papa."

"Nanti asistenku akan membawakan makanan untuk Papa kamu,"

Luki tiba-tiba merangkul kedua bahu Denok. Denok ingi mendengus di tempatnya, tapi mengingat bahwa dia harus menjaga image sebagai pasangan yang bahagia di depan mata Papanya, maka Denok pun menepuk kedua punggung tangan Luki dengan gerakan yang amat manis.

"Iya, tolong ya, Mas... kamu sih, kelamaan meetingnya."

Lihat, sekarang dia sudah menjadi gadis paling menjijikkan karena merajuk dengan nada yang paling manja pernah dia lakukan.

Luki terkekeh pelan dan mengusap puncak kepala Denok. Yang mana, Luki telah penasaran sejak tadi pagi melihat betapa panjangnya rambut Denok dan seberapa halusnya. Dan kini dia telah membuktikannya dengan telapak tangannya sendiri, rambut anak kecil ini memang sangat halus dan lembut.

"Iya, maaf ya..." lalu Luki beralih kepada Erlangga Djatiwibowo. "Enakan, Om? Saya harap Om segera pulih agar bisa mengantarkan Denok di altar nanti."

BRENGSEK!

Denok menahan amarahnya sekarang. Altar? Apa ini semua kebohongan lagi? Maka dari itu Denok menyikut perut Luki. "Mas kamu ini..."

"Lho? Lihat Om anak Om itu pemalu luar biasa, padahal tadi pagi dia bilang ingin dilamar di pesisir pantai Harbour Island di Bahamas sana."

What?! Kapan gue bilang begitu?

Papanya terlihat semangat sekarang, dilihat dari ekspresi wajahnya yang tersenyum lebih lebar. Denok menarik napasnya dan melihat Luki dengan penuh dendam. "Kamu suka banget bikin Papa senang ya, Sayang... terima kasih, tapi aku nggak paksa kamu buat lamar aku di Bahamas."

"Aku akan lakukan apa pun yang kamu mau," balas Luki tak mau kalah.

"Oh ya?" kedua mata Denok berbinar dan wajahnya mendekati wajah Luki yang sedang tersenyum seperti orang bodoh. "Kalau gitu nanti malam aku mau makan sesuatu,"

"Mau apa? Tinggal bilang sama aku? Oh ya, Om, saya izin buat ajak Denok bersama saya kemana pun mulai sekarang. Karena saya, akan menjaganya lebih ketat, Om."

Papanya tersenyum lagi, Luki Amidjaja tengah berusaha memanfaatkan keluguan Papanya!

"Aku nggak akan kemana-mana." balas Denok dengan senyuman manja.

Luki mengusap rambut panjang Denok lagi, kenapa rasanya nagih sih? Sebenarnya Denok keramas pakai sampo apa hingga bisa sehalus ini? "Tetap saja, aku lebih tenang kalau kamu ada di dekatku."

Luki menahan diri agar tidak menjambak rambut panjang itu dan menarik tengkuk Denok dan menciumnya. Karena anak kecil ini, tengah meledeknya dengan senyuman yang membuat Luki geram.

Tunangannya ini memang harus diberi ajar.

***

a/n:

Si Luki ini memang senang kumpulin dosa kayaknya. Sudah tua bukannya sadar malah menjadi.

Btw, cerita ini nggak ada visualisasi ya, jadi bebas berimajinasi.

Untuk Luki.

Cuaca memang lagi panas-panasnya.

p.s: yang muak lihat thumbnail Jaehyun, bisa jujur sama saya. wkwk. btw emang ada orang yang muak sama Jaehyun? bukannya malah mabok ya? :')

22, November 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro