6. Penolong di kala susah
"Dia sudah keluar dari apartemen itu?"
"Sudah, Bu. Kami tengah mengikutinya dari belakang, sepertinya Nona tengah menunggu taksi."
"Ini sudah pukul sembilan malam, Bagas. Apa yang kamu pikirkan ketika melihat dia sendirian menunggu taksi? Antar dia! Luki Amidjaja brengsek sekali, kenapa dia ditinggal sendiri di jalan?"
"Antarkan, Bu?"
"Ya, antarkan! Kamu bohongi saja dia, bilang saja kamu bawahan keluarga Amidjaja, dia pasti akan percaya."
"Baik, Bu."
***
Denok lelah menunggu taksi selama setengah jam di trotoar, tidak ada satu pun taksi yang berhenti selama dia berdiri. Gara-gara Luki Amidjaja sialan, dia harus luntang lantung di jalan karena perbincangan sengit tadi. Sudah Denok pastikan bukan, dia dan Luki Amidjaja berada di satu ruangan itu namanya musibah.
Tanpa Denok sadari, sebuah mobil Lexus sedan hitam mendekat dan membuat Denok menyipitkan matanya dengan curiga. Lalu, pria berjas hitam keluar dari mobil dan membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat kepada Denok.
"Nona Denok?"
Denok mengangguk kaku. "Ya saya sendiri,"
"Mari silakan masuk, Nona, saya antar Nona pulang,"
"Tapi... maaf kamu, siapa?" tanya Denok kebingungan melihat keberadaan pria asing itu.
"Saya dapat perintah dari Tuan Amidjaja,"
"Oh..." Denok menghela napas lega, pasti Opa Rajasa pikirnya. "Baik, antar saya pulang ya, Pak."
"Siap Non!"
Pria itu membukakan pintu penumpang untuk Denok, lalu setelah Denok masuk, pria berjas hitam itu memberikan kode jari yang terangkat ke atas sebagai pesan pada mobil hitam Jeep Wrangler itu bahwa target telah masuk ke dalam mobil dengan aman.
***
"Sial," umpat Luki Amidjaja setelah menyesap satu batang rokok yang telah habis.
Sepupunya, si artis sok sibuk yang tengah naik daun ini terkekeh pelan melihat wajah frustrasi sepupu tertuanya, Luki yang kelihatan lebih gila daripada dirinya.
"Kenapa lo?"
"Gue abis dikasih ultimatum sama bocah kayak Denok!"
"Tunangan lo itu? Kapan?"
"Kemarin,"
"Kalian berdua ribut?" tebak Adjie.
Luki menggeleng. "Bukan ribut, lebih tepatnya dengar dia nyerocos panjang lebar, otaknya lumayan sih."
"Ya lumayan lah, dia anak psikologi bego!" sahut Laskmana yang baru saja datang membawa kaleng bir di tangannya.
"Lo tahu jurusan kuliah dia dari mana?" Adjie malah ikut penasaran kali ini.
Laksmana terkekeh pelan dan ikut bergabung duduk di sisi Adjie. "Dari Opa, tuh bocah IPK nya tinggi, katanya Opa, Denok bakal di kasih tempat di Yayasan sebagai penasihat Yayasan."
Adjie menutupkan mulutnya menahan tawa. "Serius lo?!"
Laksmana mengangguk meyakinkan. "Serius, bocah itu... di mata Opa, Denok punya segalanya, apa lagi setelah tahu dia menyelamatkan gue,"
Adjie mengangguk mengerti. "I see, kok malah lo yang lebih tahu soal Denok banyak daripada Luki?"
Laksmana terkekeh pelan dan menatap Luki dengan tawanya. "Dia nggak bakalan peduli sama Denok,"
"Gue peduli." kata Luki kali ini. "Setidaknya, sekarang, gara-gara omongannya yang luar biasa pintarnya."
"Memang dia ngomong apa sih?" tanya Adjie penasaran.
Luki mengangkat bahunya acuh. "Dia bilang kalau gue punya power untuk menjaga nama baik keluarga dia dan keluarga kita, ya cukup lakukan hal itu saja. Lalu dia bilang lagi, kalau gue punya power untuk mengendalikan dia, dia minta gue berlaku baik selayaknya pria, kurang ajar nggak tuh bocah?"
Adjie dan Laksmana tak kuasa menahan tawanya, Luki menjambak rambutnya kesal dan mengambil satu batang rokok yang dia nyalakan kembali.
"Terus lo pilih mana?" tanya Adjie yang tidak kehabisan akal untuk menggali rasa penasaran dalam dirinya.
"Gue pilih untuk mengendalikan dia."
Jawaban Luki jelas jauh dari kata ekspektasi. Maka dari itu, wajar jika Adjie maupun Laksmana tercengang mendengarnya. "What?! Terus Kezia gimana?"
"Gue memilih break,"
"Anjing!" sungut Adjie dengan emosi. "Break adalah kata lain dari putus yang tertunda. Ujung-ujungnya selesai juga!"
"Gue berencana untuk kembali dengan Kezia!"
"Terus untuk apa lo mau mengendalikan bocah itu, Luki?!"
"Djie... lo nggak ngerti kata pride? Gue nggak akan membiarkan bocah itu menang di mata Opa!"
Laskmana menarik napasnya lelah. "Denok memang sengaja ingin mencoreng ego lo sebagai laki-laki. Itu kenapa, bagi dia nama keluarga nggak penting karena keberadaan dia juga nggak menguntungkan pihak mana pun,"
"Coba ganti deh ide lo untuk mengendalikan dia!" kelakar Adjie yang tidak setuju.
Luki menggeleng tak yakin dia hanya ingin membuat bocah kurang ajar itu bertekuk lutut padanya. Luki akan memberikan seluruhnya kepada gadis itu agar Denok mengerti, bahwa hanya dia di dunia ini yang bisa melindunginya, memberikan keamanan yang harus dia berikan seperti apa kata Opanya, memberikan dunia yang tidak mungkin Denok dapatkan dari siapa pun.
Dan bagaimana Luki bisa memberikannya? Jelas dengan cara mengendalikan gadis itu, bukan?
Pertanyaannya di balik, kenapa Denok memberanikan diri mengatakan bahwa Luki harus mengendalikan dirinya? Apa gadis itu memang sengaja tengah memancingnya? Tapi kenapa harus kata kendali dibandingkan mencintai?
Mengendalikan itu artinya mengontrol, menguasai, memegang. Tapi sebelum Luki bisa melakukan ketiganya, jelas Luki harus mendapatkan gadis itu terlebih dahulu, bukan?
Apa ini termasuk red flag? Tapi entah kenapa, kata-kata yang gadis itu ucapkan kemarin malah membuat Luki tertantang? Apa Denok memang sengaja menantangnya?
Baiklah kalau begitu, Luki akan membuat gadis itu merasakan apa arti dari kata cinta sesungguhnya, jika gadis itu sudah merasakan cinta yang di berikan, maka Luki akan pastikan, dia akan mengendalikan seorang Denok Djatiwibowo untuk dijadikan budaknya.
Peraturannya hanya satu, Denok harus selalu mematuhi dirinya.
***
"Kok perasaan gue nggak enak ya, By."
Denok baru saja pulang dari kampus bersama Abby, tentunya Abby akan kembali menginap di rumahnya dan kali ini, kaki sahabatnya itu tidak pincang lagi.
"Banyak-banyak berdoa makanya."
"Gue lupa udah lama nggak ke gereja."
Mendengar kata doa, membuat jiwa Denok meronta malu. Dia ini manusia banyak minta pada Tuhan, tapi tidak taat pada ajarannya.
Ya Tuhan... maafkan Denok.
Denok membersihkan diri dan merebahka tubuhnya di atas ranjang. Abby berada di karpet, bersama laptop kesayangannya. Sebenarnya, ini rahasia, meskipun sikapnya terkadang berlaku bodoh dan ceroboh, sebenarnya Abby adalah penulis buku cerita bagi anak kecil.
Abby memiliki nama pena Estelle, nama tengahnya Abigail Estelle Larasati. Rahasianya hanya diketahui oleh Denok, dan bayangkan jutaan anak kecil di negeri ini begitu mencintai Estelle si penulis terbaik yang melahirkan cerita sepasang dua kelinci putih yang berpetualang mencari kedua orang tuanya.
Denok hanya bisa tersenyum ketika melihat wajah konsentrasi Abby ketika mengetik cerita penuh kisah itu. Jadi, jelas Denok tidak akan mengganggunya.
Ting!
Ponselnya baru saja berbunyi, Denok mengeceknya dan melihat nomor baru asing.
+628155xxx
Anak kecil, simpan nomorku.
Anak kecil?
Denok mengerutkan keningnya ketika mendapatkan sapaan tidak sopan seperti itu dan seketika... kedua matanya membulat. Memang siapa lagi kalau bukan Luki Amidjaja yang berani mengejeknya seperti ini?
Apa dia memang terlihat seperti anak kecil di mata Luki Amidjaja? Yang benar saja.
Denok sudah berusia 20 tahun, tinggi tubuhnya seratus enam puluh lima, dia tidak tergolong perempuan kecil, dan bahkan tubuhnya pun tidak terlalu kurus. Lalu, apakah ini semua gara-gara potongan wajahnya?
Dengan terpaksa, Denok menyimpan kontak pria ittu di ponselnya.
Denok Kanara:
Sudah berapa kali saya bilang
saya bukan anak kecil! Dan
maaf, saya bisa menebak kamu
siapa!
Luki Amidjaja:
Oh bagus, kalau begitu kamu
pintar. Selamat karena telah
bisa menabak saya.
Denok Kanara:
Nggak jelas sekali!
Luki Amidjaja:
Hahahaha kamu ini ternyata
pemarah ya, jangan marah-
marah dulu, saya mau sapa
kamu baik-baik di sini.
Besok ada waktu luang?
Denok Kanara:
Kok saya curiga ya, mau ada
apa memangnya? -,-
Luki Amidjaja:
Saya mau ajak kamu ke suatu
tempat, sekaligus mengenalkan
kamu pada klien saya.
Denok Kanara:
Oh nggak usah :)
Saya nggak tertarik, lagipula
Mas, nggak enak nanti kalau
pacar Mas tahu saya jalan
sama Mas.
Luki Amidjaja:
Denok... please, saya nggak
mau bermusuhan dengan anak
kecil.
Denok Kanara:
Saya bukan anak kecil Mas Luki.
Kalau kamu meledek saya terus,
akan saya pastikan kamu kapok
kali ini.
Luki Amidjaja:
Memang kamu mau berbuat
apa? Anak kecil jangan macam2.
Denok Kanara:
Saya nggak akan macam2
paling banyak macam2.
Kalau butuh saya untuk besok,
jemput saya pukul sembilan
pagi, tidak ada kata telat.
Denok menutup percakapan itu dengan senyuman miring. Bertemu klien? Mengajaknya? Apa Luki Amidjaja merasa percaya diri jika membawa dirinya? Apa ini semua berkaitan dengan statusnya?
***
Sisca Moestopo melihat lampu kamar dari jendela rumah di hadapannya telah padam. Sejak lima tahun yang lalu, dia sudah seperti penguntit dan tinggal menjelma sebagai tetangga putrinya sendiri. Sayangnya, Denok Kanara Djatiwibowo bukan anak yang supel dan suka bergaul di luar rumah.
Apa lagi, dengan latar pendidikan home schooling Sisca tahu anaknya kemungkinan buta akan lingkungan luar. Betapa menyedihkan kehidupan putrinya itu. Disaat kedua anaknya bisa menghirup udara bebas, dan dikenal oleh publik sebagai anaknya, sementara Denok bahkan tidak mengenali dirinya sebagai ibunya.
Sisca sangat mencintai anak perempuannya itu. Desmond Trimedya memberinya dua anak lelaki yang begitu mirip dengan pria itu, selama pernikahan, Desmond mencintainya dengan baik, tidak pernah sekali pun pria itu mengecewakannya.
Di sini, hanya Sisca yang sudah mengkhianati Desmond. Dan entah kapan Sisca akan diberikan keberanian untuk mengatakan semuanya kepada Desmond termasuk keberadaan anaknya yang ingin Sisca peluk.
Sejak lahir, Denok tidak pernah berada di pangkuannya, bahkan Denok tidak pernah disusui olehnya. Karena cintanya yang buta pada Erlangga Djatiwibowo, Sisca rela merasakan cinta yang menyiksa hingga akhirnya bisa melepaskan diri.
Kembali memikirkan bagaimana usaha Erlangga yang tengah berjuang di Singapura sana, hati Sisca terenyuh. Tapi dibalik itu semua, Sisca takut akan nasib putrinya yang sudah berada di tangan keluarga Amidjaja.
Bagaimana jika keluarga Amidjaja malah menyakiti putrinya? Bagaimana jika putrinya menderita? Bagaimana jika cinta akhirnya bisa menghancurkan putrinya seperti apa yang pernah dia rasakan? Sisca rasa, dia tidak akan sanggup melihat kehancuran putrinya.
"Kami sudah mendapatkan datanya, Bu."
Sisca memutar tubuhnya menatap dua pria bertubuh besar dan tinggi yang berbalut jas hitam yang apik.
Dua pria kepercayaannya yang selama ini telah menjaga Denok dari jauh. Bagas dan Alfa.
"Terima kasih, Bagas."
Sisca membuka dokumen yang Bagas berikan, di sana berupa kumpulan dokumen pengeluaran perusahaan Djatiwibowo sebelum di akuisisi oleh Amidjaja Petroleum Corp,. untuk selanjutnya, Sisca tidak bisa mengakses dengan mudah karena keluarga Amidjaja telah mengubah seluruh sistem perusahaan.
Dan sepertinya, akan ada perubahan besar-besaran yang melibatkan Denok.
"Apa putriku akan masuk ke dalamnya?" tanya Sisca pada Bagas.
Bagas mengangguk. "Alfa sudah buka sistem salah satu Yayasan Amidjaja. Yayasan itu meliputi panti asuhan, organisasi bagi wanita yang hamil di luar nikah, pendidikan untuk anak SD, dan kabarnya Nona akan menjadi penasihat Yayasan dipilih secara langsung oleh Pak Rajasa."
Sisca mengusap wajahnya secara kasar, jika dengan begitu, artinya keluarga Amidjaja jelas memberanikan diri menunjukkan Denok sebagai calon menantu keluarga Amidjaja.
"Apa mereka telah membicarakan soal pernikahan?"
Alfa menggeleng. "Untuk waktu dekat ini tidak, Bu. Tapi orang kami yang bekerja di Amidjaja mengatakan bahwa Pak Rajasa ingin membuat Luki semakin dekat dengan Nona Denok,"
"Apa ada hal yang mencurigakan?"
"Ada Bu," jawab Alfa lagi.
Sisca mengernyitkan keningnya. "Apa itu?"
"Mendadak, Luki Amidjaja memutuskan kekasihnya dan berusaha menarik perhatian Nona,"
Sisca menggigit bibirnya resah, apa ini sudah keterlaluan? Sisca pikir, semuanya formalitas karena cucu Rajasa Amidjaja itu mencintai wanita lain dan itu bukan putrinya. Tadinya, Sisca merasa tenang, tapi kini dia tidak bisa merasa tenang sama sekali.
"Apa sebaiknya saya bertemu dengan Rajasa Amidjaja saja? Rasanya saya tidak bisa tinggal diam."
"Tapi, Bu." sela Bagas. "Jika Ibu bertemu dengan Pak Rajasa, khawatirnya beliau tahu,"
"Sepertinya mereka sudah tahu, Bagas," Sisca yakin, keluarga Amidjaja pasti telah menelaah siapa Denok sebenarnya. "Saya yakin Pak Rajasa telah tahu siapa saya sebenarnya,"
"Jika Ibu siap, saya akan menyiapkan pertemuan inti antara Ibu dan Pak Rajasa," ujar Alfa kini.
Sisca menatap Alfa dengan yakin lalu mengangguk. "Tolong, buatkan janji temu antara saya dan Pak Rajasa."
"Baik, Bu."
Sisca membuang dokumen Djatiwibowo itu. Demi apa pun, Luki Amidjaja sepertinya lebih bahaya daripada Djatiwibowo.
***
a/n:
Hidup cuman sekali, yuk mari kita Happy-Happy!
Yang sudah membuat saya tidak waras.
Salam kepada Tuan Muda, Jeong Jaehyun.
21, November 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro