Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

53. Titik temu | END

Laksmana baru saja menepikan mobil AMG CLA 35 miliknya di minimarket setelah dia pulang dari kampus karena mendapatkan jadwal untuk mengawas menggantikan profesornya yang tengah menjalani seminar pendidikan di Cina.

Mahasiswa zaman sekarang dan saat zamannya memang berbeda, Laksmana bukan mengiri tapi sistem pendidikan Indonesia memang berubah dan membuatnya agak terkena culture shock.

Dulu, saat zaman Laksmana menjadi mahasiswa, kopi adalah temannya. Saat zamannya gadget memang belum adiksi seperti sekarang, mahasiswa kelihatan berkurang bebannya karena ada media dan teknologi yang bisa didapatkan menjadi suatu arena hiburan.

Benar-benar menakjubkan. Sampai-sampai, tadi Laksmana harus merazia dua ponsel mahasiswa yang ketahuan menyontek saat OSCE. Bisa-bisanya, itu lah kenapa Laksmana enggan menjadi tenaga pendidik karena sabarnya tidak begitu bagus.

Laksmana memang tipikal manusia yang mudah marah, tapi mudah memaafkan pada saat itu juga. Dia mungkin terlihat selalu tenang dan dapat mengendalikan situasi, tapi tetap saja namanya emosi pada setiap manusia punya takarannya masing-masing.

Melepaskan penat sebelum pulang ke apartemennya, Laksmana memilih untuk membeli beberapa camilan dan kopi di minimarket. Laksmana mengambil kopi cup, dan menuangkan kopi sachet yang sudah dia pilih tadi, menekan tombol hingga air panas keluar.

Jika Mamanya tahu kelakuannya seperti ini, Laksmana jamin dia akan mati saat ini juga. Laksmana belum makan siang, sejauh ini dia dinilai sebagai dokter yang tidak tahu aturan pada tubuhnya sendiri.

Mungkin itu juga yang membuat Opanya, selalu mengatakan bahwa Laksmana sudah saatnya memiliki istri.

Ck, istri lagi.

Pembahasannya selalu tentang pasangan hidup. Ngomong-ngomong, cucu lelaki yang tersisa masih bujang hingga kini memang dirinya saja. Luki dan Adjie memang sudah sold out, sementara Martha memang kelihatannya masih butuh banyak waktu untuk bermain.

"Permisi, Om! Saya juga mau nyeduh susu!"

Suara gadis cempreng di belakangnya mengganggu ketenangan dan kenikmatan Laksmana yang tengah menyeruput kopi. "Silakan," timpalnya tak mau mencari masalah dan Laksmana minggir ke area yang sudah di sediakan oleh minimarket.

Gadis itu masih memicing kesal kepadanya, sepertinya dendam juga. Ah, persetan. Suruh siapa tidak permisi sejak tadi?

Tapi, tahu-tahu gadis yang baru saja menyeduh susu milo itu duduk di sisinya sambil menarik bangku. Ternyata dia bukan hanya menyeduh susu milo saja, tapi juga dengan mie instan yang ada di dalam cup, melihatnya Laksmana agak kepingin juga.

"Kenapa Om lihatin saya terus?!" tanya gadis itu dengan suaranya yang cempreng.

Astaga, ini namanya... Ansara jilid dua. Laksmana sudah sering bertemu dengan gadis bersuara kencang, dan dia amat tidak suka. Untung saja dia batal menikah dengan Ansara.

"Saya nggak lihatin kamu," timpal Laksmana membela dirinya sendiri. "Dan jangan bersuara sekencang itu bisa?"

"Nggak bisa! Om nggak usah mengatur saya ya!"

Suaranya kencang bukan main hingga penjaga kasir di area barat kini sudah melirik ke arahnya. Mampus sudah, Laksmana memilih menghabiskan kopi dalam cup itu dan membuangnya, berjalan menuju area bahan makanan dan mengambil keranjang, tadi Laksmana melihat anak dan ibu yang tengah tertidur di dalam roda, dia akan membelikan beberapa bahan makanan dan makanan ringan untuk anaknya.

Tapi ketika Laksmana akan membayarnya di kasir, lagi-lagi gadis cempreng itu mengganggunya dan merebut antreannya.

"Permisi, ladies first." katanya dengan songong sambil mengangkat dagunya.

Laksmana hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menghiraukan tingkah gadis aneh itu.

Setelah membayarnya, Laksmana menjinjing belanjaan yang sudah dia beli dan menghampiri anak dan Ibu yang tertidur di dalam roda itu.

"Permisi," ujar Laksmana dengan suara pelannya.

Sang ibu dengan penampilan lusuh dan mengantuk itu terbangun dan terkejut melihat keberadaan Laksmana. "Eh, Pak... maaf, roda saya menghalangi jalan Bapak, ya?"

"Nggak-nggak," bantah Laksmana cepat sambil tersenyum. "Ibu rumahnya di mana?"

"Manggarai, Pak." jawab sang Ibu dengan gugup. "Saya belum pulang dari kemarin, belum dapat apa-apa untuk dibawa pulang."

Lalu Laksmana melirik anak kecil perempuan yang tengah tertidur pulas. "Ibu sudah makan?" tanya Laksmana lagi.

Sang Ibu menggeleng. "Belum,"

"Ya sudah," Laksmana mengangkat jinjingan keresek besar berisikan belanjaan yang sudah dia beli tadi. "Di dalam ada roti, susu sama air mineral buat Ibu dan anak Ibu, sisanya ada beras sama minyak dan mie yang entah saya beli berapa tadi, bawa pulang ya, Bu. Di sini banyak nyamuk, kasihan anak Ibu."

Sang Ibu berterima kasih begitu cepat kepada Laksmana sambil tersenyum haru dan meneteskan air mata. "Terima kasih Bapak, ya Allah... semoga apa yang Bapak harapkan doanya akan diijabah oleh Allah, aamiin."

Laksmana tersenyum sembari mengangguk. "Aamiin, ada sedikit rezeki dari saya." Laksmana memberikan satu lintingan uang ratusan ribu yang sudah dia siapkan. "Saya tinggal ya, Bu."

Sang Ibu kembali menangis sembari berteriak mengucapkan terima kasih, Laksmana melangkah cepat menuju mobilnya dan terkejut ketika dia sadar bahwa mobilnya dibuat sandaran oleh gadis cempreng tadi seakan tengah mengawasinya dari jauh.

"Permisi, ini mobil saya." kata Laksmana dengan sopan meminta gadis itu untuk menyingkir dari pintu mobil.

Tapi gadis itu malah mengangguk enteng sambil melipat kedua tangannya. "Saya tahu, Om."

Laksmana menipiskan bibirnya tidak suka mendengarkan panggilan itu. "Berhenti panggil saya Om, saya bukan Om kamu."

"Saya lihat Om kasih sedekah sama Ibu itu!" katanya menunjuk roda di bahu jalan.

Laksmana menggeleng saja, meraih handle pintu mobil dan sengaja menariknya hingga gadis itu terdorong ke depan dan hampir jatuh, akhirnya Laksmana lagi juga yang menahan pinggang gadis itu agar tidak jatuh. Benar-benar hari yang menyebalkan.

"Om!" protes gadis itu.

"Makanya minggir, saya kan sudah permisi dari tadi." omel Laksmana.

"Om saya boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa?" tanya Laksmana dengan curiga.

"Pinjam ponsel, Om."

"Memang ponsel kamu kemana?"

Gadis itu melipat kedua tangan dengan wajah yang datar. "Ponsel saya nyebur got, saya kesasar. Aslinya saya dari Kelapa Gading, tadi saya ikutin mobil pacar saya, dia selingkuh di depan mata saya sendiri, Om!"

Wah, gila... padahal Laksmana tidak buka sesi curhat.

Karena kesal, akhirnya Laksmana memberikan ponselnya dan menunggu sembari memerhatikan gerak gerik gadis itu.

Lalu gadis itu memang benar-benar menelepon seseorang. "Halo, Pap? Pap... aku di Senopati nggak bisa pulang, gimana Pap? Nggak mau Pap! Steven selingkuh, aku nggak mau lagi sama dia, aku benci dia Pap! Iya, kirim Pak Dodi ke sini ya, Pap, aku di minimarket...."

Laksmana dengan sabar menunggu gadis itu berbicara dengan Papanya, lalu setelah selesai gadis itu memberikan ponselnya kepada Laksmana. "Terima kasih Om, kata Papaku pulsa Om akan diganti. Ada no rek? Papaku tanya no rekening Om juga,"

Laksmana sambil membuka pintu mobilnya menggeleng. "Nggak usah," tolaknya.

"Tunggu—" gadis itu lagi-lagi menahan pintu mobilnya. "Temani aku sebentar, Om... boleh?" katanya dengan raut wajah yang begitu menyedihkan. "... saya takut sendirian, Om.. di sini saya nggak kenal siapa-siapa."

Laksmana memutarkan bola matanya dengan malas. "Tidak bisa, saya sibuk."

Tapi mata gadis itu melihat sneli putih Laksmana yang tergantung di mobil. "Om pasti dokter ya? Serius Om, kayaknya saya kena demam, tolong periksa dulu... kalau saya pingsan gimana?" rengeknya lagi.

Laksmana kesal bukan main, tapi gadis itu malah nyelonong masuk dan melangkahi tubuh Laksmana dari samping pintu mobil kanan dan mendarat di kursi penumpang bagian kiri.

"HEI!" teriak Laksmana dengan murka.

Gadis itu memejamkan matanya dengan ketakutan karena kaget baru saja dibentak. "Om... saya beneran takut."

Laksmana betul-betul sial.

***

Apa sih yang dilakukan oleh pasangan setelah menikah? Bagi Denok bukan soal urusan seks saja yang jadi bebas, tapi waktu diantara keduanya yang Denok sadari bagaimana pun dia bersama dengan Luki; Denok tetap berpikir bahwa dia harus melakukan sesuatu hal untuk dirinya sendiri agar tidak kelimpungan hanya diam di rumah saja.

Kemarin, Luki mengajaknya ke kantor dan memperkenalkan Denok sebagai istrinya kepada rekan kerjanya, beserta staf tim yang dekat dengan Luki. Bahkan, Denok sudah memiliki kontak Sagar, Gana, Caca—sekretaris Martha, Juniar kepala HRD, Kevala kepala tim finance, dan beberapa kepala yang selalu berkomunikasi secara langsung dengan Luki.

Ngomong-ngomong, meskipun nama Denok Kanara Djatiwibowo sudah resmi menjadi komisaris utama Global Media, kerja nyatanya adalah nol besar, bagaimana lagi? Denok harus belajar semuanya dari awal, Luki bahkan mengajarkan kalau Denok harus bisa bersikap misterius apa lagi jika sedang meeting.

Meeting berjam-jam dengan isi kepala yang penat sudah biasa bagi Luki, tapi tidak bagi Denok. Enak saja, selama ini dia hanya memiliki pengalaman sebagai guru BK di Yayasan Hartanto.

Denok melihat jam dinding rumah dan dia baru sadar kalau Luki pulang terlambat lagi hari ini. Setiap hari, Denok membuatkan kotak bekal makan siang Luki, tapi tetap saja apa lagi setelah tahu porsi makan Luki itu luar biasa, Denok jadi khawatir kalau Luki bisa mudah lapar kembali.

Suara deru mesin mobil masuk ke dalam garasi membuat Denok bangkit berdiri siap menyambut suaminya, dia sudah memasak makanan malam untuk Luki. Kata Ruth, Luki itu tidak sulit soal makanan, apa lagi kalau ada soto Betawi, atau tidak soto Bandung.

Akhirnya, Denok memasak soto Bandung dengan resep google, sementara untuk tahu Denok buat secara pepes tahu dengan campuran jamur dan daun kemangi, ada lagi tempe tumis kecap dengan kacang panjang untuk dirinya. Entah kenapa akhir-akhir ini Denok suka dengan kacang panjang.

"Hai," kata Denok ketika membuka kedua pintu rumah dan melihat wajah suaminya yang sedang membalas senyumannya.

"Wow, cantiknya..." Luki malah menyadarkan sisi tubuhnya di sisi pintu sambil memandangi istrinya yang cantik.

Jadi, begini ya... rasanya indahnya pernikahan. Pulang kerja, lelah ada yang sambut, mana bentukannya macam Denok.

"Mau mandi dulu apa makan dulu?" tanya Denok menarik tangan kanan Luki dan bergelayut manja di sana.

Luki menunduk mencium puncak kepala istrinya. "Mandi dulu, kamu kok cantik banget sih?"

"Bukannya setiap hari?" balas Denok dengan lugu.

Luki tergelak dan mencium ubun-ubun Denok lagi. "Iya, aku lupa kalau cantik itu nama tengah kamu."

"Gombal. Sana mandi dulu." usir Denok.

Luki mengikuti perintah istrinya, selama mandi Luki memikirkan apa kata Omanya dulu; kunci awet pernikahan itu adalah seorang suami tidak menyusahkan istrinya dan istrinya tidak boleh membebani suaminya. Dulu, itu adalah prinsip yang Omanya pakai selama berpuluh-puluh tahun menjalani kehidupan pernikahan.

Bohong jika dikatakan mulus-mulus saja, apa lagi seingat Luki, Opa adalah orang yang mudah bergaul, memiliki sosialisasi yang bagus. Bahkan, Oma pernah mengatakan bahwa dia minder dengan kalangan sosial Opa.

Selama ini, Luki tidak pernah mengenalkan Denok kepada teman-temannya atau membawa Denok ke acara resmi untuk mendampinginya. Usia Denok itu masih tergolong muda, dibandingkan anak seusianya yang sibuk mengejar karier, pendidikan, bermain, berpetualang, ataupun mencari cinta, Denok malah sudah menikah dengannya.

Ini juga yang sempat membuat Luki kepikiran sebelum menikah. Apakah keputusannya mengajak Denok menikah secara cepat itu benar atau tidak.

Maka dari itu, Luki memutuskan untuk bertanya lebih dulu perihal jalan kehidupan yang akan Denok ambil setelah menjadi istrinya.

Tepatnya di dining room, makanan hangat tersaji, gadis yang sudah bukan gadis lagi, bagaimana Luki menyebutnya? Wanitanya? Istrinya? Ya, istrinya yang selalu terlihat menawan dan menjadi comfort zone kedua mata Luki untuk terus menatapnya. Denok menunggunya dengan begitu sabar tanpa protes selagi menghidangkan makan malam.

"D," panggil Luki.

Denok mengangkat wajahnya dan tersenyum kalem. "Dalem?"

Betapa ademnya hati Luki. "Kamu udah makan? Apa aku cuman sendirian?"

"Aku udah makan jam lima sore tadi, masih kenyang." jawabnya.

Luki menurut, dia duduk di samping Denok yang sudah mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk. "Karena Bi Siti udah pensiun, aku berencana cari ART lagi deh buat kamu," ujar Luki membuka percakapan. "Shinta nggak bisa diganggu, ya? Lama kelamaan, Shinta jadi asisten pribadi Mama kamu."

Denok mengangguk. "Iya, Shinta kan cari uang sambil kuliah Mas, ngomong-ngomong... rumahku jarang ditempati, gimana kalau kita pindah ke sana? Seenggaknya, di komplek sana ada Mama, Andres, Nathan yang bisa jadi temanku."

Luki mengunyah sambil mengangguk. "Boleh, tapi rumah kamu kayak angker gitu nggak sih, D?"

Ngaco, Denok memukul lengan Luki dengan gemas. "Seumur-umur aku tinggal di sana baik-baik aja ya!"

"Ya lagian, rumah kamu itu minim barang... piano yang ada di ruang tengah rumah kamu itu agak horor ya, D?"

"Nggak!" Denok tertawa tak kuasa mendengarnya. "Dulu aku suka main piano di sana, and everything is fine you know?" Denok mengangkat bahunya dengan acuh. "Aku tuh nggak kerasan di sini, mungkin karena belum terbiasa aja."

"Ya udah bulan depan kita pindah ke sana, setuju?"

Denok mengangguk semangat. "Setuju," katanya.

Luki mencium kening Denok, menyelesaikan makan malamnya, akhir-akhir ini Luki punya hobi baru.

Setelah beberapa waktu menjadi suami Denok, Luki sempat diledek secara langsung oleh Denok karena tidak bisa mencuci piring. Perihal piring kotor setelah makan bersama ternyata bisa memicu pertengkaran.

Akhirnya, Denok mengajarkan cara untuk mencuci piring kepadanya karena kata Denok; tugas membersihkan rumah bukan hanya tugas perempuan, itu kenapa Luki ingin segera mencari ART untuk Denok di rumah ini.

"Pintarnya, begini dong... tiap udah makan, cuci piring kan ganteng," puji Denok yang bersandar di pintu kulkas mengamati suaminya sedang mencuci piring.

Luki hanya mengulum senyuman dengan jumawa. "Oh ya, hampir lupa.. kamu nggak ada niatan untuk lanjut kuliah?" tanya Luki. "Aku nggak akan melarang kamu kalau kamu mau kuliah, tapi dengan catatan di dalam negeri aja ya, Sayang."

"Sayang..." kali ini giliran Denok yang merengek. "Menurut kamu aku kelihatan masih mau berpikir keras?"

Luki mengeringkan kedua tangannya dan berjalan menuju kulkas seraya membukanya, dan akhirnya Denok pun menyingkir. "Ya makanya aku tanya kamu lho, diajak kerja aja kamu bilang malas... nggak minat, minggu depan bakal ada rapat koordinasi dengan para produser, kamu harus datang."

"Kamu suruh aku ikut rapat dan tadi bilang apa? Masih ada niatan untuk lanjut kuliah? Kamu..." Denok berdecak kesal mendengarnya. "Nggak ada Mas! Kamu pikir aku serajin apa, sih?"

"Ya udah kalau begitu Ibu Komisaris ini harus aktif di Media Global dong," Luki meraih pinggang Denok dan memeluknya. "Kalau nggak aktif, gimana bisa orang-orang yang bekerja dibawah kamu mengenal kamu, D? Potensi mereka itu banyak, tapi kamu sebagai pemimpin harus menggali potensi mereka semaksimal mungkin."

"Aku buta dalam segala hal, Tuhan Yesus..."

"Kemarin aku mengenalkan kamu pada Risa, dia akan membantu kamu di Media Global."

Oh, ya, perempuan cari perhatian yang memanggil Luki dengan amat manis. "Nggak, ganti orang, aku nggak suka dia."

Baru kali ini Luki tercengang mendengarkan jawaban yang tidak rasional seperti biasanya. "Memang kenapa dengan Risa? Dia pintar lho, background pekerjaannya dulu juga bagus,"

"Nggak, aku nggak suka dia." Denok melepaskan tangan Luki dari pinggangnya dan berjalan menuju lantai dua meninggalkan Luki.

"Ada apa dengan kamu?" tanya Luki kebingungan.

Denok menggeleng enggan menjawab, setelah sampai di kamar Denok membuka kimono nya dan berbaring menyamping, tidak lupa juga mematikan lampu kamar.

"Is it okay?"

"I'm not," Denok menarik selimut dan memejamkan matanya. "Ganti, jangan dia. Asalkan jangan dia. Aku nggak suka aja. Jangan banyak tanya, aku mau tidur."

Setelahnya, Luki masih tidak mengerti apa yang terjadi kepada Denok hingga istrinya itu kelihatan sangat marah dan...

Pasti gara-gara hormon. Ya, Luki yakin. Perempuan dan hormonnya adalah musuh utama lelaki yang bisa membuat setiap lelaki di dunia ini kebingungan.

Tapi meskipun begitu, Luki tetap harus berpikir keras bagaimana caranya memperbaiki mood Denok kepadanya. Karena Denok yang marah adalah wujud yang bisa membuat Luki pusing.

"Sayang..." Luki memeluk tubuh Denok dari belakang. "Aku bakal ganti, kita cari orang baru okay?"

Tidak ada balasan, tapi Luki tidak menyerah begitu saja. "Minggu depan kita kan ke Manhattan, aku dan Adjie sudah buat kesepakatan untuk rolling beberapa karyawan dari New York ke Jakarta dan dari Jakarta ke New York, kamu bebas pilih deh nanti."

Denok berdeham sekilas, Luki mengeratkan pelukannya di perut Denok, mencium pipi istrinya sembari bergumam kembali. "Kita belum honeymoon,"

Lantas kedua mata Denok refleks membuka begitu saja. "Kalau kamu lupa, kamu kerja seharian, sibuk banget, gimana caranya kita pergi bulan madu?"

"Ya..." Luki merapikan anak rambut Denok dan mencium pelipis istrinya, turun pada lekukan leher dan menggigitnya dengan gemas di sana. "We can do THE THINGS that we can do tepatnya di Manhattan."

Denok meringis kaku dan melihat bagaimana wajah menyebalkan suaminya. "Kamu lupa?"

"Lupa apa?"

"Kamu punya hutang sama aku," tagih Denok.

Kedua mata Denok menajam, lantas Luki memundurkan wajahnya dan tersenyum gugup. "Hutang yang mana?"

"Waktu kamu perawani aku," gumam Denok mencium bibir Luki. "Janji kamu..."

"Stop," Luki menutup bibir Denok dengan jarinya. "Sekarang aku ingat."

Denok mengulum senyuman penuh kemenangan. "Okay," katanya dengan senang hati. "Bayar hutangmu ya."

Luki mengangguk, apa pun itu jika yang Denok inginkan dan yang dia janjikan harus tercapai, maka Luki akan memberikannya.

***

a/n:

Dahhhhhhh....

Malam pertama di skip ah tidak baik untuk jantung wkwkwk.

Sudah selesai. Tutup buku.

Akhir kata pesan dari para karakter:

"Saya, Denok Kanara Amidjaja mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang sudah mengikuti jalan kehidupan saya di cerita ini, authornya kadang-kadang memang edan, tapi saya pasrah karena dengan begitu saya harus bersyukur bisa hidup di dunia oren ini karena author saya." — Denok.

"Saya Luki Amidjaja mengucapkan terima kasih dan pamit undur diri dari cerita yang sudah tamat ini. Kalau kepo gimana saya akhirnya bisa perawani istri saya, tagih aja ke authornya ya. Saya nggak apa-apa kok kalau kalian mau tahu review saya unboxing istri saya:) itu kan yang kalian semua suka? Hehe." — Luki.

"Saya Laksmana Amidjaja mengucapkan kesal sebesar-besarnya kepada Author karena saya, entah kenapa dijadikan bulan-bulanan hingga tidak bisa fix dan menetap dengan perempuan yang sudah datang ke dalam hidup saya. Entah si author mau mempertemukan saya dengan siapa lah, pusing." — Laksmana.

"Saya Martha Amidjaja mengucapkan selamat dan terima kasih atas tamatnya perjalanan cinta Mamas tertua saya si Luki Amidjaja yang bejat, plin plan, nggak tahu malu, dan nggak tahu diri juga. Pokoknya author, tolong untuk kisah saya dibuat semanusiawi mungkin. Akhir kata, selamat tahun baru untuk warga oren." — Martha.

"Saya Koentoeadjie Amidjaja ingin mengucapkan betapa anehnya si author yang menjodohkan saya dengan si Ariel Tjajawulan. Demi Tuhan, plot twist banget anyengggg, kan cewek yang lebih cakep dari si bule kesasar itu banyak. Kenapa harus sama si Ariel gitu sih? Dan oh ya, Denok itu spek Dewi kenapa harus dikasih kepada seorang Luki Amidjaja yang bangsat itu? Kenapa? Demen ya author bikin cewek spek Dewi terjebak sama monyet bekantan kayak sepupu gue itu?" — Adjie.

"Saya Ariel Tjahjawulan ingin mengucapkan dan mempertanyakan satu hal kepada authornya, kenapa gue harus jadi istri si Koentoadjie sialan itu? Kaya sih memang, duitnya banyak, gue juga nggak perlu cari uang sendiri lagi karena udah ada yang nafkahin, tapi ya tolong.... Kok spek suami saya kayak si Adjie gitu? Kan ane kesel, Thor! Ente kadang-kadang ente! Padahal, saya itu mengharapkan suami yang romantis dan sayang kepada saya, tapi datangnya spek Abu Lahab!" — Ariel.

"Saya Rajasa Amidjaja mengucapkan selamat kepada author yang sudah berhasil memenuhi keinginan saya. Bagaimana pun, author sudah kerja keras menghidupkan kami di dunia oren ini, dan terima kasih karena telah membuat keluarga saya, terutama cucu-cucu saya yang kurang waras itu menjadi waras karena seorang wanita." — Rajasa.

"Saya Abigail temannya Denok ingin mengucapkan terima kasih dan BANGSATTTTTT kepada author yang sudah membuat saya tersiksa mencium bau tahi si Denok itu. Tapi yah, tolong... cerita saya dibuat sebaik mungkin yah, Thor. Saya begini-begini tetap wanita yang membutuhkan belaian dan kasih sayang. Sekian." — Abby.

Akhir kata pesan dari author:

"Apa pun itu, akhirnya Happy ending. Diam lo semua. Bacot." — canda bacot. (Pengabdi Happy Ending).

Bye byeeeeeee!

Ketemu nanti extra chapter di KaryaKarsa ya!

p.s: eh sebentar spoiler dan iklan dulu.

Nggak akan dikasih blurb dulu, ini cerita Laksmana sama.... Yah, nanti juga tahu kok. Hahaha.

Punten ikut lewat, ini juga ceritanya Martha sama.... Yaaaaa seneng aja bikin penasaran gitu:)

Permisi, maaf mengganggu kisah Ariel sama Adjie juga on the way hahahaha (ketawa jahat dulu aja) authornya lagi berusaha rajin menulis:)

Dah segitu aja! Anyongggggg!

1, Januari 2023.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro