50. Harus dijauhi
Denok duduk memunggungi Luki yang masih terus mengecek pekerjaannya yang tidak pernah selesai, tidak di kantor, tidak di rumah Luki tetap bekerja. Denok sampai dibuat heran. Apa memang Luki itu sangat sibuk? Akhir-akhir ini Luki memang jarang menghabiskan waktu dengannya.
Jika ada waktu untuk saling bertemu pun Luki malah akan fokus kembali dengan pekerjaannya seperti saat ini. Padahal, kan... banyak yang ingin Denok bicarakan.
"Mau sampai kapan kamu kerja terus?" tanya Denok dengan lelah.
Menyadari nada suara Denok yang tidak biasa, Luki mengangkat wajahnya dari laptop dan tersenyum. "Sebentar lagi, ini sudah beres kok."
Denok berdecak dan kembali memunggungi Luki lagi. Memang dipikir enak apa dicuekkin? Ini maksudnya bukan Denok manja atau kangen Luki kok, tapi ya... bukannya Luki ini mengajaknya menikah? Minimal ada kek planning untuk masa depan biar Denok tidak kelihatan bingung dan bego kalau menghadapi sesuatu hal yang berlaku untuk keduanya di masa depan nanti.
"Sudah!" Luki menutup laptopnya dan menyimpannya di atas meja, lalu dia meraih Denok ke dalam pelukannya dengan begitu erat. "Wangi banget sih..." gumam Luki di leher Denok.
Denok melepaskan diri dari pelukan Luki dan menatap pria itu dengan tajam. "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,"
Wajah keduanya saling bersisian, Luki mencium pipi Denok dan berdeham di sana. "Mm-hm, apa?"
"Aku bukan tipe posesif, jadi ke depannya aku nggak bakalan mungkin cek laptop, tas, atau ponsel, bahkan dompetmu nggak akan aku sentuh. Nah, kiranya, kalau aku sudah begitu aku mau tanya kamu setuju apa nggak?"
Luki menyerutkan keningnya bingung menjauh sedikit dari lekukan leher Denok dan menatap wajah kekasihnya dari samping. "Kenapa? Aku kasih kamu akses dengan leluasa, kamu bebas melakukan apa pun nanti."
"No," tolak Denok tegas, lalu Luki mencium bahunya kembali dan sedikit menggigitnya di sana. "Aku nggak bakalan memberanikan diri meskipun kamu kasih izin itu sama aku, ada yang dinamakan privacy—dan aku sama kamu akan butuh itu nantinya."
"D," tegur Luki tak suka. "Kalau sudah menikah, aku nggak akan menutup-nutupi apa pun dari kamu,"
Denok mengangguk. "Iya memang benar, tapi ini jalan satu-satunya agar aku belajar dengan keras untuk diri aku sendiri."
"Kenapa harus belajar dengan keras kalau bisa belajar dengan lembut?" timpal Luki seenaknya.
Denok tidak suka kalau Luki tidak bisa diajak serius begini, maka dari itu, Denok berbalik dan mendorong Luki mundur hingga tubuhnya terpojokkan oleh Denok di sofa bed. "Aku mau belajar percaya sama kamu, ada suatu hal dimana kita bisa memperkuat hubungan kita dengan cara saling percaya. Aku selalu menemukan keributan di dalam suatu hubungan dari asal muasal kecurigaan. Kecurigaan itu berkembang jadi rasa tidak percaya dan insecurities yang kuat, dan aku nggak mau kamu ataupun aku merasakan itu. Paham nggak?"
Luki tersenyum miring dan menarik tubuh Denok hingga duduk di pangkuannya. "Ya ampun, pintarnya calon istriku," puji Luki.
Denok memutarkan bola matanya dengan malas. "Sulit memang," lanjut Denok lagi. "Aku nggak tahu gimana cara kamu berhubungan dengan mantan-mantanmu yang dulu, tapi aku sudah sepakat sama diri aku sendiri—untuk menjaga hati dari hal-hal yang nggak mengenakkan,"
Luki mencium dagu Denok dan mengangguk. "Aku paham, itu artinya kamu ataupun aku harus belajar menghargai perasaan satu sama lain."
Denok mengangguk setuju. "Ya, itu kata-kata yang mau aku dengar dari kamu sejak tadi, we have to do anything, bahkan dari hal kecil sampai hal besar. Tapi kalau urusannya keluarga—kamu dan aku harus tetap transparan. Selebihnya, kamu dan pekerjaan kamu adalah urusan kamu—terkecuali; ketika kamu sakit, atau butuh bantuan aku akan bantu kamu. Di luar itu semua, aku akan punya kehidupan sendiri—terlebih aku memang jadi istri kamu, tapi alangkah baiknya kita kalau sudah jadi suami istri saling memanusiakan pasangan satu sama lain okay?"
Luki tertawa mendengarnya. "Memang aku bakal melakukan apa sih sama kamu, D? Mengurung kamu di rumah?"
Denok mengangkat bahunya acuh. "Ya nggak tahu ya, kebanyakan laki-laki akan berubah setelah menikah karena merasa punya power untuk memerintah, dan memberikan aturan kepada istrinya. Maaf-maaf aja, ya, Mas Sayang... perempuan mau jadi istri kek, atau sudah jadi ibu kek—sejatinya dia tetap manusia dan perempuan. Jangan sampai, nanti kalau aku jadi istri kamu, aku malah kehilangan jati diri aku—"
"Shhhtt..." Luki buru-buru menutup mulut Denok dan menatap Denok dengan serius. "Amit-amit, Sayang. Nggak, nggak—mungkin—" Luki buru-buru menggeleng ngeri setelah mendengarnya. "Aku mau kamu jadi apa pun yang kamu mau, kan tujuannya menikah sama aku itu untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas serta kebahagiaan hidup."
Denok merangkum wajah Luki dengan gemas, untunglah Luki bisa satu pikiran dengannya. "Yes, awas saja kalau omonganmu berubah nanti."
"Nggak akan!" Luki mengangkat kedua jarinya dan bersumpah. "Luki Amidjaja bersumpah untuk memanusiakan istrinya setelah menikah nanti, dan mendukung hal apa pun yang membuat istrinya bahagia."
Denok langsung menangkap dua jari itu. "Deal."
Luki mendekatkan pinggang Denok ke arahnya dan keduanya saling tersenyum. Kedua dada mereka saling bertubrukan satu sama lain, Denok bisa merasakan irama detak jantung Luki yang cepat dan begitu pun irama jantung miliknya sendiri.
"You just good to be true," Luki mulai menyanyi, sementara itu Denok langsung menutup bibir Luki agar pria itu berhenti. "Kenapa?" tanya Luki dengan alis terangkat.
Denok menggeleng tak kuasa menahan tawa. "Jangan nyanyi."
"Lho? Kan aku nyanyi buat kamu, D."
"No," Denok menggelengkan kepalanya dengan geli, akhirnya Luki menjatuhkan keningnya di atas bahu Denok.
Denok mengusap dan menyisiri rambut lebat dan hitam milik Luki yang sudah mulai beruban. Satu, dua, tiga, Denok menghitungnya. Baru kali ini Denok sadar bahwa dia akan menikah dengan pria yang bahkan sudah memiliki uban di rambutnya. Entah efek dari terlalu sering berpikir, atau memang Luki yang sudah tua.
Tapi anehnya, tubuh Luki segar dan bugar, pria itu tidak pernah melewatkan gym setiap pagi, dan amat sangat menjaga pola makannya.
Luki mencium kembali lehernya dan membuat Denok sedikit menjauh, trauma dibuat tanda yang begitu besar oleh Luki, Denok menahan bibir Luki yang terus mencium lehernya. "Jangan pernah warnain rambut kamu ya," pinta Denok tiba-tiba.
Luki mengangkat wajahnya. "Kenapa?"
"Ya jangan, kalau nanti beruban semua, biarkan aja."
Luki mendengus tak suka. "Aku sebentar lagi empat puluh, dan kamu masih muda—kamu lupa aku sebentar lagi 38?"
Denok menggeleng. "Aku nggak lupa. Ya nggak apa-apa, asal jangan diwarnai aja, kalau di warnai malah makin banyak nanti ubannya."
Luki langsung terkekeh pelan dan tatapannya berubah jadi sinis. "Kamu sudah lihat ubanku?"
Denok mengangguk lugu. "Tapi aku suka,"
Merasa kesal dengan jawaban polos Denok, Luki membaringkan tubuh Denok dibawahnya dengan tiba-tiba. "Kamu dari tadi perhatiin ubanku, kenapa nggak diambil?"
Denok tertawa puas. "Ya masa aku cabut?! Ya jangan lah, nanti semakin banyak!"
"Ya cabut dong! Kalau nanti ubannya makin banyak kamu juga yang malu!"
"Nggak!" tuduhan Luki itu memang terlalu berlebihan. "Kalau mau malu harusnya dari dulu—ih aku mau tunangan sama Om-Om, tapi nggak ada tuh!"
Luki mencium bibir bawah Denok dan menariknya dengan gemas. "Kamu sudah terjebak sama Om-Om ini sejak dua tahun yang lalu."
Denok tidak mengelak. "Iya, Om-Om plin plan yang bikin perasaan gadis muda terombang-ambing."
Tak peduli dengan ocehan Denok, Luki kembali melumat bibir Denok dengan sangat hati-hati. Tapi, lagi-lagi Denok menahannya.
"Ja-jangan..." rintih Denok pelan.
Luki menatap Denok begitu dekat hingga bulu mata Denok bisa menyapu area keningnya. "Sebentar aja, nggak kuat aku kangen." balas Luki.
Denok melihat tatapan memelas Luki sementara dirinya tengah berperang dengan dirinya sendiri. "Janji sebentar?"
"Mm-hm, sebentar," jawab Luki cepat dan mencium Denok dengan begitu dalam, intens, panas dan kedua tubuh mereka saling bergesekan satu sama lain.
Denok terbuai, tangan Luki tidak bisa diam dan sudah merambat kemana-mana, terutama ketika dada Luki terus menerus menggesekkan dadanya pada dada Denok.
Luki menyelipkan kedua tangannya dibawah pinggang, mengangkat pinggang Denok sedikit dan akhirnya Denok bisa merasakan betapa keras dan menonjolnya pusat tubuh Luki.
"Mas," desah Denok mengingatkan agar Luki tidak kelewatan.
Luki menggeleng dan mencium pelipis Denok. "Sebentar, masih kangen Sayang..."
Denok menjambak lembut rambut Luki dengan jari-jarinya, gerakan Luki semakin intens dan entah kenapa Denok pun ikut bergerak, keduanya saling membalas dari luar dan tidak ada satu pakaian pun yang terlepas.
"Mas..." Denok baru merasakan hal ini pertama kalinya, sialan gerakan Luki begitu nikmat. "Mas... udah.."
Luki tidak mendengarkan rintihan Denok, dia terus bergerak dan mendorong inti Denok dari luar, Denok melingkarkan kedua kakinya di seputar pinggang Luki, kedua matanya terpejam erat.
Napas Luki begitu berat di telinganya, setiap helaan napas pria itu begitu panas dan membuat Denok ikut bernapas dengan berat.
Kedua tangan Luki merangkum wajah Denok yang memerah, menciumnya dengan penuh damba dan untuk pertama kalinya Denok merasa lemas dan tubuhnya mengejang karena gerakan intens Luki dibawah sana.
Miliknya terasa basah sekarang, dan milik Luki pun basah. Keduanya tidak menyentuh sama sekali, dan untuk pertama kalinya Denok tahu bahwa kangen yang Luki katakan kepadanya adalah kangen yang lain.
"Memang kampret kamu, Mas." maki Denok tanpa bisa tahan dengan gemas serta kesalnya kepada Luki.
Luki malah tertawa tanpa dosa dan mencium kening Denok. "Mandi sana." titahnya. Lalu Luki mencium pipinya lagi kali ini. "Atau mau mandi bersama aku?"
Benar-benar gila, ingatkan Denok untuk tidak menemui Luki sampai hari pemberkatan tiba.
***
Sisca Moestopo melihat kedatangan Ibunya sendiri, Nenny Reemer Moestopo dengan kekehan sinis setelah pertanyaan yang Ibunya ajukan kepadanya tadi. Apa katanya? Dimana cucu perempuanku?
Tidak salah?
Tentu saja tidak.
Denok memang cucu Ibunya, tapi seingat Sisca dua puluh tiga tahun yang lalu, Ibunya menolak keberadaan Denok dan mengatakan bahwa Denok anak haram dan tidak akan mendapatkan berkah Tuhan jika melahirkannya.
Sakit tidak? Jelas sakit. Ibu mana yang tidak akan sakit hati setelah di hina begitu kejamnya oleh ibu kandungnya sendiri? Sementara itu, bagaimana pun Denok adalah darah dagingnya sendiri.
"Dimana dia, Sisca? Izinkan Ibu bertemu dia, ada yang perlu Ibu bicarakan pada dia."
Sisca menggeleng tak suka. "Anakku nggak ada urusannya sama Ibu, sebaiknya Ibu pulang saja, nanti Hengky bisa mencari Ibu."
"Tidak," tolak Nenny dengan cepat. "Inka!" teriaknya pada suster pribadinya. "Turunkan koper saya, mulai saat ini saya akan tinggal di sini bersama anak perempuan saya saja."
"Ibu!" cegah Sisca cepat. "Apa-apaan ini, Ibu?! Ini rumah suamiku, bukan rumahku!"
"Suamimu adalah menantuku!" balas Nenny tidak mau kalah. "Dia tidak akan mungkin menolak kedatangan Ibu!"
"Kedatangan Ibu itu penuh tipu muslihat!" balas Sisca cepat dan mencegah Ibunya agar tidak bisa masuk ke dalam rumah. "Ibu hanya akan mencuci otak anakku!"
"Tidak Sisca!" bentak Nenny lelah. Bagaimana pun kerasnya Sisca menolak dirinya, tapi keinginan Nenny lebih besar untuk bertemu dengan cucunya. "Izinkan Ibu memperkenalkan diri dengan baik kepada cucu Ibu, Sisca."
Tentu saja Sisca skeptis, sejak Denok lahir saja Ibunya ini tidak pernah mau tahu lalu kenapa dia berubah pikiran?
"Bu, jangan pernah mencuri kebahagiaan anakku, dia sudah banyak menderita karena aku! Apa ibu akan menambahi beban kehidupan dia?"
Nenny duduk sambil menatap dua foto dimana cucu lelakinya Andres dan Nathan yang terpajang itu terlihat sangat sempurna dan tampan. Baru kali ini Nenny sadar, bahwa rumah yang dia datangi adalah rumah keluarga kecil Sisca tanpa Denok, hatinya entah kenapa merasa sedih dan sakit membayangkan cucu perempuannya hidup sendiri tanpa ada kebahagiaan dan kehangatan keluarga.
"Ibu nggak ada niatan untuk merebut kebahagiaan dia, Sisca." tiba-tiba saja Nenny mengusap matanya yang basah karena entah kenapa meskipun belum bertemu Nenny merasa begitu telah banyak melakukan dosa pada cucu perempuannya. "Ibu sayang dia, Ibu merasa bersalah sama dia, Sisca."
Sisca ikut terenyuh, meskipun dia tahu tidak ada kata terlambat bagi seseorang yang ingin berkenalan dan saling menyayangi. Meskipun Ibunya pernah menghina dan menolak keberadaan Denok, ibunya tetaplah seorang nenek.
Dan mungkin, sampai saat ini Denok belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang Nenek. Karena Sisca tahu, Ibu Erlangga sudah meninggal sejak lama bahkan setelah satu tahun Erlangga menikah dengan Banuwati.
"Aku akan memberikan Ibu izin untuk bertemu dengan anakku," putus Sisca final berusaha mengalah. "Tapi jika dia sampai merasakan kekecewaan karena Ibu, aku nggak akan memaafkan Ibu lagi."
Hanya itu yang bisa Sisca berikan sebagai jaminan kepada Ibunya.
***
Martha datang ke rumah Denok bersama asistennya Caca sambil membawa cake, sayuran untuk suki, Hokben—karena Luki bilang Denok penggemar Hokben sejati, dan beberapa daging untuk barbeque sore ini.
Tolong ya, calon iparnya itu tetap harus didekati oleh Martha, tujuannya satu; mengeruk kebaikan hati Denok agar memenangkan hati Luki agar siap memberikan bantuan kepadanya untuk proyek pariwisata di Sumbawa.
Ada udang dibalik batu, tapi tidak apa-apa karena Martha memang sengaja ingin menghabiskan waktu bersama dengan Denok. Ini tidak bohong.
"Hai!" Martha memeluk Denok dengan erat lalu menatap penampilan Denok dari atas hingga bawah dan ada bercak ungu yang masih kelihatan baru di leher gadis itu.
Memang kambing! Maki Martha dalam hati, Luki Amidjaja sepertinya tidak bisa menahan dirinya di dekat gadis cantik ini.
"Mbak jadi menginap di sini, kan?" tanya Denok kepada Martha.
Denok menyapa Caca dan bahkan meminta Bi Siti untuk memberikan kamar tamu kepada Caca.
"Jadi," jawab Martha menyimpan Kelly bagnya di atas sofa. "Aku sekalian mau curhat di sini,"
Denok tertawa mendengarnya. "Boleh, Mbak kita bakar-bakarannya di halaman belakang aja, ya? Kalau di dalam rumah nanti bakalan bau, tapi... it's okay sih, enaknya dimana?"
"Di luar hujan, De... kita bakar-bakaran di dalam aja, tenang aja Caca jago pasang gas portabel kok."
Denok menghela napasnya dengan lega. "Syukurlah ada pawang gas."
Kampret, batin Martha sambil tertawa, Caca dikata pawang gas oleh Denok. Memang nih Denok bukan main ngaconya.
"De, Mas Luki aman, kan?" tanya Martha, tapi bagaimana ya matanya tidak bisa beralih dari cupang itu.
Denok tahu apa yang Martha lihat kini, ia merasa malu lalu menutup tanda di lehernya dengan telapak tangannya. "Nggak aman sama sekali." balas Denok dengan wajahnya yang memerah malu. "Aku tahu dia punya gairah, tapi... udah lah lebih baik aku nggak ketemu dia sampai pemberkatan."
"Serius?!" Martha membulatkan kedua matanya, kalau sampai itu terjadi, mati lah Luki Amidjaja. "Tapi ya, bagus sih... memang Mas Luki itu," ringisnya kaku. "Jangan di kasih kendor, De."
Denok berdecak tak suka. "Aku yang kaget sih, tapi ternyata... pantas aja orang yang sudah mengerti kenikmatan begitu nggak akan pernah bisa berhenti."
Martha tersedak oleh ludahnya sendiri, Bi Siti yang baru saja membawa coca cola dingin untuk Martha ikut bingung melihat kehebohan Martha. "Kenapa, Non? Mau air mineral aja?"
"Nggak—duh, De!" Martha terpingkal bukan main. "Iya, jangan ketemu Mas Luki lagi ya, udah diem aja di rumah. Atau nggak, kamu pindah dulu ke rumah Mamamu, Tante Sisca untuk sementara waktu, biar Mas Luki nggak bebas menemui kamu sembarangan."
Denok mengangguk. "Iya, kayaknya memang harus begitu."
Lihat, betapa nelangsa nya Denok karena dia adalah korban dari ketidaktahuan sikap bajingan sepupu tertuanya itu. Memang gila.
"De, nanti malam seafood saus apa maunya? Mas Luki nanti kirim—"
"Dia jangan suruh ke sini!" potong Denok cepat yang tengah memanggang saikoro wagyu.
Martha terkejut, sementara Caca menatap Denok bingung, Shinta anak Bi Siti masih sibuk membuat kuah suki.
"Nggak kok," kata Martha menenangkan Denok. "Yang ke sini Sagar, sambil ambil proposal dari aku, De."
Denok mengelus dadanya dengan lega. "Seafood saus padang aja, jangan terlalu pedes."
"Oke,"
Denok menyipitkan matanya curiga. "Mbak lagi chat sama Mas Luki?"
"Iya, dia tanya lagi cincinnya pas nggak?"
Denok memakai cincin baru yang Luki berikan kemarin, cincin itu mata berliannya terlalu besar, tapi kata Mamanya itu adalah keluaran terbaru dari Chaumet dan ternyata Mamanya juga sama mengincarnya.
"Pas."
"Suka?"
Denok mengangguk tipis. "Suka, tapi terlalu besar."
"Bagus kok, Mbak Denok.." kata Caca yang ikut bergabung melihat cincin yang Denok pakai.
"Caca ini memang tahu soal yang bening-bening," timpal Martha.
Denok tertawa, lalu tak lama kemudian Martha ingat tujuannya kalau dia harus merayu Denok. "De, aku butuh bantuan kamu," katanya sambil tersenyum penuh makna.
"Apa?"
"Jadi..." Martha berdeham sementara Caca hanya bisa mengelus dada, pekerjaannya akan menumpuk tahun depan, dan Caca yakin sekali.
***
a/n:
Memang bandel ya si Luki Amidjaja ini, dasar pria murahan wkwkwk.
Eh, btw besok tahun baru lhoooo. Give away bakal aku umumin nanti setelah pembaca naik beberapa K wkwkwk. Soalnya, komentarnya masih sedikit, kalau mau seleksi masih bingung nih.
Ya begitu lah intinya.
Tahun baru bersama Ayang.
p.s: kelanjutan Restore Me cerita Kaia Indra bakal aku upload nanti malem, atau nggak besok deh wkwkwk.
31, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro