Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Nama dari kebohongan

Pada umumnya, Denok akan merasa malu dikelilingi oleh manusia asing yang pemikirannya bercabang dan bahkan tidak fokus pada satu pembahasan. Keluarga Amidjaja, tepatnya Rajasa mengundang Denok datang ke rumah hanya untuk acara minum teh bersama.

Apa Denok kurang kerjaan sampai harus minum teh bersama? Malas sekali... tapi demi menghormati permintaan orang tua, Denok datang dengan wajah santai, dan jiwa introvertnya ingin mengamuk sekarang juga.

Kediaman luxury mediteranian style yang berada di daerah BSD golf itu merupakan kediaman besar dengan rumah yang begitu luas, awalnya Denok mengagumi rumah ini, apa lagi taman yang luas dan kedua mata bisa menatap hamparan luas rumput hijau karena keluarga Amidjaja bisa bermain golf secara private.

"Tante," sapa Denok pada Ruth Amidjaja, ibu kandung Luki Amidjaja.

Kedua mata Ruth berbinar senang ketika bisa menatap wajah manis Denok. Bagi Ruth, Denok ini definisi gadis rumahan yang low profile andaikan Denok punya sosial yang bagus, gadis itu pasti akan terkenal dan banyak diminati oleh kaum laki-laki. Bahkan, Martha keponakannya bilang, jika Martha laki-laki keponakannya itu akan memilih jatuh cinta pada gadis polos, lugu, cantik yang bisa memikat hati laki-laki mana pun seperti Denok.

Sayangnya, Denok memang tidak tahu pesona dirinya. Atau mungkin, memang tidak menyadarinya karena tidak ada yang pernah mengatakan betapa luar biasanya pesona gadis itu. Bahkan anaknya sendiri belum bisa menyadari pesona Denok yang luar biasa, atau mungkin... anaknya memang memiliki tipe ideal yang buruk.

Kedua mata Denok begitu besar dan runcing, seperti mata kucing, dua bola matanya berwarna coklat terang, bulu mata yang panjang dan tebal, hidungnya mancung dan lancip, rahang tirus, dengan bibir tebal dan keriting yang memiliki shape yang tajam.

Jadi, bagaimana bisa Luki tidak tertarik pada gadis pilihan Papa mertuanya ini?

Jika berbicara fisik, memang tidak akan ada habisnya dan sudah dipastikan Denok unggul daripada Kezia.

"Sehat, Nak? Sering-sering main dong... kita harus banyak menghabiskan waktu bersama. Minggu depan Tante mau ke Orchard, kamu ikut nggak, Nak?"

"Orchard? Tapi saya—"

"Kamu terlalu kaku...." Ruth tertawa dan merangkul bahu Denok. "Santai saja, kita sebentar lagi akan bertemu keluarga inti, makanya... Tante mau kamu bisa menyesuaikan diri di keluarga ini, okay?"

Denok merapikan helaian gaun silk yang terkena angin, untung saja dia memakai gaun sepanjang mata kaki dan kini gara-gara gaun panjangnya itu serta Hermes belt yang dia pakai membuat semua mata tertuju padanya.

Kali ini, Denok mix and match pakaiannya sendiri. Jauh lebih daripada apa pun, menyewa stylist hanya bisa membuat kepalanya pening, tapi hair stylist yang Abby kenalkan padanya lumayan bagus, itu kenapa Denok menyukai tatanan rambutnya sekarang.

"Aloha!"

Suara semua orang yang tengah menyapanya, yang Denok ketahui hanya Martha yang kini tengah tersenyum kepadanya.

Virginia Amidjaja, Penelope Amidjaja, Martha Amidjaja dan Rajasa tengah menunggunya. Sekarang, Denok menjadi main guest. Harusnya dia lebih dari sekedar luar biasa kalau ditatap secara terang-terangan begini.

"Ini lho, Ma..." kata Martha dengan senyuman senang. "Kemarin Denok yang menyelamatkan Mas Laksmana dari teror itu,"

Virginia Amidjaja tersenyum dengan kedua mata yang berbinar, dia berdiri dan mendekati Denok. "Terima kasih banyak, Denok.. Laksmana cerita bahwa kamu jadi saksi kunci penyerangan itu,"

Denok mengangguk. "Sama-sama Tante,"

"Mbak Ruth beruntung, memiliki calon menantu seperti Denok," ujar Virginia pada Ruth.

Ruth tersenyum bangga, Denok ikut bergabung duduk bersama, semua jenis teh yang ditawarkan tidak membuat Denok merasa senang, dia bukan pecinta teh, tapi jika ditawarkan mau teh melati atau chamomile jelas dia akan memilih teh melati saja. Teh oolong juga sepertinya bukan pilihan buruk, tapi tetap saja, Denok suka teh melati.

Afternoon party tea itu terasa seperti kumpulan keluarga, hangat dan menjanjikan ketentraman yang awet. Mungkin, bagi sebagian orang keluarga konglomerat seperti Amidjaja terlihat tertutup dan bahkan diisukan hubungan kekeluargaannya buruk. Tapi jauh yang Denok amati, keluarga Amidjaja lebih baik daripada keluarganya sendiri.

Sejak kecil, Denok terlalu banyak mengamati dalam diam. Dia memang didewasakan oleh keadaan, Ibunya Banuwati Gayatri tidak pernah mengurusnya, ada satu waktu dimana Banuwati menyayanginya, lalu suara bising antara dua orang yang saling bertengkar memegang teguh pendirian dan kebenaran masing-masing membuat Denok berpikir apa Papa dan Mamanya tidak bisa hidup rukun?

Papanya akan pergi dari rumah dan meninggalkan Denok dengan pengasuhnya, sementara Mamanya akan sibuk dengan dunianya. Hingga suatu waktu, baik Denok maupun Mamanya tidak pernah saling sapa hingga dimana waktunya tiba, sang Papa jatuh sakit.

Jadi, kehidupan privasi yang ketat dijaga oleh keluarga Amidjaja patut dilindungi dengan baik. Setelah ini, Denok kewajaran betapa mahalnya kehidupan mereka yang bahkan, ingin diketahui oleh para wartawan. Salah sedikit, bisa rusak, mungkin itu yang dinamakan reputasi.

Terlepas dari bagaimana keluarga Amidjaja terkenal kerja keras dan tidak pernah kenal lelah, mereka semua memiliki otak.

"Malam ini kamu menginap saja di sini," kata Rajasa kepada Denok yang mengundang perhatian semua orang. "Tidur di kamar Masmu."

Denok mengangguk kebingungan, melihat bagaimana semua orang menutupi mulutnya menjaga senyumannya agar tidak terlihat olehnya.

"Ini dia..."

Rajasa bangkit berdiri menyambut manusia yang benar-benar ditunggu sejak tadi. Luki Amidjaja berjalan dengan penuh percaya diri, langkah kakinya besar, bahunya begitu tegap dan lebar, kedua tangannya yang besar itu membuat Denok terbelalak ngeri. Tinggi tubuhnya? Jangan ditanya, pria itu bisa menakuti orang-orang pikir Denok.

Luki mencium tangan Rajasa lalu berpindah mencium pipi Ruth, Ibunya. Denok hanya bisa menahan napas ketika Luki mengambil tempat di sisinya. Apa pria ini sengaja memperlihatkan kedekatan bersamanya?

"Kamu ini," Ruth menepuk lengan besar anaknya itu. "Denok sudah tunggu kamu dari tadi,"

Luki menoleh kepadanya dengan senyuman penuh kepalsuan. "Oh ya? Aku nggak tahu, soalnya Denok memang nggak pernah kasih tahu ataupun kasih kabar sama aku, Ma."

"Kalian sudah bertukar kontak, kan?" tanya Virginia dengan penasaran.

Denok hendak menjawab tidak, tapi Luki sudah mendahuluinya. "Sudah, Tante."

"Ah syukurlah, takutnya kalian malah belum dekat satu sama lain karena belum punya kontak ponsel. Jangan kaku begitu, Luki... kasihan tunangan kamu,"

Luki mengangguk, senyuman anehnya itu membuat Denok kesal setengah mati. "Denok," panggilnya.

"Dalem, Mas?" jawabnya.

Ruth, Virginia, dan Penelope saling bersahutan gemas ketika mendengarkan bagaimana jawaban Denok ketika Luki memanggilnya.

Luki berdeham dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, Denok tersenyum miring, memang di sini hanya Luki saja yang bisa berakting?

"Sudah makan? Aku belum, temani aku makan yuk," ajak Luki pada Denok.

Denok membulatkan matanya. "Makan? Dimana?"

"Dapur saja,"

"Ck," Rajasa berdecak meremehkan cucunya itu. "Kurang modal amat makan berdua di dapur, perlu Opa reservasi nggak buat dinner kalian?"

"Nggak usah, aku dan Denok akan cari tempat makan," jawab Luki dengan sebal, lalu Luki bangkit dari tempatnya dan menjulurkan tangannya meminta agar Denok menerima jabatan tangannya. "Yuk, kita makan di luar,"

Denok tidak bisa membantah, akhirnya dia ikut bangkit berdiri dan menerima gandengan tangan Luki.

Seluruh orang menatapnya dengan penuh manis, sementara Rajasa hanya bisa menggelengkan kepalanya tahu sandiwara apa yang tengah cucunya lakukan kepada Denok.

***

Ketika sudah sampai di depan rumah, Luki melepaskan genggamannya dan membuat Denok membuang napasnya dengan kasar.

"Kalau terpaksa ya jangan dilakukan," sindir Denok. "Nanti kamu sendiri yang capek."

Luki tertawa jengah. "Belum apa-apa saya sudah capek duluan menghadapi kamu."

Denok hanya bisa mengangguk, mengiyakan lebih tepatnya agar tidak lelah. Herannya, kenapa dia harus bersinggungan takdir dengan manusia macam Luki, sih?

"Mau kemana kita?" tanya Denok penasaran.

"Apartemen saya,"

Luki membuka pintu penumpang belakang dan membiarkan Denok masuk, sementara sopir Luki menyapanya, pria itu ikut duduk di sampingnya.

Sepanjang perjalanan, Denok hanya bisa duduk diam sambil memandangi jalanan Jakarta yang tidak ada bedanya bagi dirinya. Ini semua gara-gara Luki, padahal menikmati sore hari dan minum teh bersama keluarganya jauh lebih baik.

Tapi tiba-tiba, entah kenapa Denok memerhatikan jari-jari Luki yang besar dan polos tanpa cincin di sana. Sementara Denok, memakai cincin pertunangannya tanpa dilepas sama sekali. Wah, sialan.

"Cincin kamu kemana?" tanya Denok tanpa basa basi kepada Luki.

Luki menunduk, menatap jari-jarinya yang baru saja Denok perhatikan. "Saya lepas,"

"Kenapa di lepas?" kali ini Denok terdengar lebih protes. "Padahal, bohongnya sudah pakai effort tadi, kalau tahu begitu harusnya jangan lepas cincin kamu!"

"Hush!" Luki menutup bibir Denok dengan telunjuknya. "Berisik sekali kamu anak kecil!"

Denok tambah berang mendengar ledekan yang Luki berikan padanya. "Aku bukan anak kecil!"

"Tapi kamu anak kecil!" Ledek Luki lagi, lalu pria itu mendorong dahi Denok dengan seenaknya. "Tolong bersikap sesuai umurmu ya, Nak."

"Kamu!" Geram Denok menggigit daging pipinya sendiri.

Tak lama kemudian, mereka sampai di apartemen Luki, apartemen itu berada di lantai dua puluh, unitnya besar dan terlalu berlebihan untuk lelaki matang seperti Luki. Denok jadi penasaran, dengan siapa Luki tinggal di sini.

"Saya nggak akan menawari apa-apa, kalau kamu mau minum, turun saja ke minimarket bawah," kata Luki tanpa hati.

Denok hanya bisa terdiam, kalau tahu Luki akan menyiksanya seperti ini kenapa dia harus dibawa dari jamuan teh tadi?

"Padahal, saya nyaman di rumah kamu tadi, kenapa kamu menjemput saya?" kali ini, Denok memberanikan diri.

Luki membuang jasnya sembarangan di atas lengan sofa dan duduk dengan kedua mata yang terpejam. "Saya nggak suka kamu ada di sana, bersama mereka, saya nggak suka kamu ambil tempat Kezia di keluarga saya."

"Kezia? Ah, pacarmu?"

"Ya,"

"Harusnya kamu yang perjuangkan dia! Jangan jadi menyalahkan saya, karena saya sudah memiliki tempat di hadapan keluarga kamu, tapi pacarmu kan belum punya tempat."

Denok tertawa dalam hati. Mampus, memangnya enak punya pacar yang tidak didukung oleh keluarga!

"Jaga bicara kamu!" serang Luki tiba-tiba membuka matanya dengan kilatan penuh emosi. "Jangan jadi kurang ajar karena saya baru saja memberikan kesempatan kamu untuk dekat dengan saya ya!"

"Wah..." Denok berdecak kagum mendengar percaya diri seorang Luki Amidjaja yang sangat tinggi. "Selain menyebalkan, kamu juga ternyata terlalu percaya diri untuk ukuran laki-laki, saya jelas nggak mau dekat sama kamu, kok! Saya ini tahu diri!"

"Baguslah..." jawab Luki dengan entengnya. "Kalau kamu sadar diri, nggak sulit bagi saya untuk mengusir kamu dari hubungan ini,"

"Silakan," tantang Denok dengan tenang, Denok dengan berani mengambil tempat duduk di hadapan Luki dan kini keduanya telah saling memberikan tatapan tajam yang memancarkan aura permusuhan. "Brengseknya kamu itu bukan apa-apa bagi saya. Saya tahu, bagi kamu saya hanya sekedar anak kecil yang nggak mengerti apa-apa, tapi Luki Amidjaja yang terhormat, saya nggak sehaus itu akan hubungan yang dinamakan perjodohan, kamu di mata saya juga bukan apa-apa selain tempat untuk memberikan keamanan pada nama keluarga saya. Dibandingkan itu semua, saya dan nama keluarga saya nggak ada hubungannya sama sekali, jika kamu pikir kamu punya power maka silakan kamu bantu keluarga saya, dan jika kamu memiliki power untuk mengendalikan saya, silakan kamu berlaku sebaik mungkin selayaknya pria."

Luki tak menyanggah ucapannya, Denok kembali berbicara. "Saya tahu, apa rasanya dipisahkan dari orang yang kita cintai, dan saran saya hanya satu, jangan lepas kendali, kencangkan sabuk pengaman kamu dan pasangan kamu, tunjukkan pada keluarga kamu bahwa kamu dan pasangan kamu itu pantas, dan cukup jangan seret saya. Mengerti?"

Setelah mengatakan semua uneg-unegnya, Denok berdiri mengambil kartu akses apartemen Luki dan pergi meninggalkan pria itu yang tercengang dan membisu karena ucapannya yang panjang.

Denok sudah memikirkannya sejak lama, dan dia tidak menyukai Luki Amidjaja. Jadi, kalau bagi Luki Denok akan merusak hubungannya, maka pikiran Luki salah. Denok, tidak mau memisahkan Luki dari cintanya.

***

a/n:

Sekali seumur hidup~

Cukup sekali jangan berubah~

p.s: capek menghadapi berbagai cobaan hidup. hidup di dunia oren kelihatannya fine-fine aja karena authornya nggak kasih rincian biaya hidup yang detail:')

20, November 2022.

Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro